7 Orang Yang Dinaungi Allah

7 Orang Yang Dinaungi Allah

Muhadhoroh Kubro Ke 3 – Bekal Menuju Akhirat
Khutbah Jumat Tentang Fitnah Dunia
Materi Kultum Singkat Yang Menarik: Perjalanan Menuju Kampung Akhirat

Kajian tentang 7 Orang Yang Dinaungi Allah ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr.

Kajian 7 Orang Yang Dinaungi Allah

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَ عَنْ أبِي هُرَ يْرَةَ رَ ضِيَي االلهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ الله فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ِظلَّ ِإلاَّ ِظلَّهُ : ِإمَامٌُ عَا ِدلٌ، وَشَا بٌّ نَشَأ ِفي عِبَا دَةِ اللهِ تعلى، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ، اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ، وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ اِمْرَأةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَ جَمَالٍ، فَقَاَلَ: إِنِّي َأخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَهٍ، فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ (متفق عليه)

“Ada tujuh golongan yang Allah Azza wa Jalla akan naungi mereka pada hari kiamat, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya; imam yang adil, pemuda yang tumbuh diatas ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, seorang laki-laki yang hatinya selalu bergantung di masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah (berkumpul karena Allah, juga berpisah karena Allah), seorang lelaki yang dipanggil oleh seorang wanita cantik dan mempunyai kedudukan, untuk melakukan perbuatan keji kemudian ia mengatakan; “sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah yang ia sembunyikan sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan yang terakhir adalah seseorang yang berdzikir -mengingat Allah subhanallahu wa ta’ala- dalam keadaan sendiri kemudian kedua air matanya mengalir.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini adalah hadits yang menunjukkan tentang tujuh orang yang akan dinaungi oleh Allah subhanallahu wa ta’ala dengan naunganNya pada hari ketika tidak ada naungan pada hari tersebut. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dinaungi pada hari tersebut.

Hadits ini adalah hadits yang sangat mulia. Hadits yang penuh berkah, yang menganjurkan kita semua untuk mendapatkan sifat-sifat tersebut, yang akan mengakibatkan seseorang mendapat naungan pada hari kiamat. Dan ketika seorang muslim mengingat-ingat kondisi yang mengerikan pada hari tersebut, ketika matahari mendekat dari kepala-kepala para makhluk sampai jaraknya hanya satu mil dan di tempat itu tidak ada pohon-pohon, tidak ada tempat-tempat yang bisa dijadikan tempat bernaung kecuali naungan yang disebutkan dalam hadits ini. Yang akan dinaungi adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Dan apabila seorang muslim menghadirkan atau mengingat keadaan tersebut, dia akan tergerak untuk mengetahui apa saja sifat-sifat yang dapat menyebabkan seseorang mendapatkan naungan pada hari tersebut.

Penyebutan angka tujuh disini adalah anjuran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menghafal sifat-sifat dan amalan-amalan tersebut. Dan agar kita mengetahuinya dengan baik, dan berusaha utuk melaksanakan sifat-sifat tersebut.

Yang mutlak pada hadits ini tidak lain ditafsirkan dan diikat dengan hadits-hadits yang datang secara muqoyyat, yaitu menyebutkan bahwasanya yang dimaksud di hadits-hadits tersebut adalah naungan ‘arsy-nya Allah Azza wa Jalla. Dan yang wajib bagi seorang muslim ketika mendengar hadits-hadits yang berkaitan dengan perkara-perkara akhirat dan perkara-perkara yang ghaib, hendaklah ia menerimanya dengan penuh keimanan dan mengimani hadits-hadits tersebut sesuai dengan yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berusaha untuk memasukkan akalnya yang pendek atau berusaha untuk menolak nash-nash tersebut atau meragukan nash-nash tersebut, atau menggunakan cara-cara lain yang bathil yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Dan ada hadits-hadits lain yang menyebutkan tentang amalan-amalan atau sifat-sifat yang membuat atau menjadikan seseorang akan dinaungi pada hari kiamat. Maka perlu kita ketahui bahwasanya penyebab seseorang mendapatkan naungan pada hari kiamat tidak terbatas pada tujuh golongan yang disebutkan dalam hadits ini. Hadits inipun juga tidak membatasi tujuh golongan saja yang dinaungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Karena sebagian para ulama menuliskan kitab-kitab khusus. Mereka menggabungkan dalil-dalil dan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sifat-sifat yang menjadikan seorang hamba akan dilindungi oleh Allah di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya.

Rincian hadits:

Pertama, Pemimpin yang adil

Pemimpin yang adil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai sifat yang tujuh ini dengan imam yang adil. Pemimpin yang adil, yaitu yang memimpin rakyatnya dengan keadilan. Jauh dari kedzoliman, jauh dari kecurangan, bertakwa kepada Allah subhanallahu wa ta’ala dalam memimpin rakyatnya, dan bermuamalah kepada mereka dengan muamalah yang adil. Yang dimaksud dengan adil disini adalah menegakkan syariat Allah Azza wa Jalla. Menerapkan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dari hududnya juga berbuat adil kepada orang yang didzolimi. Memberikan hak-hak kepada para pemiliknya.

Maka barangsiapa dari para pemimpin pada hari kiamat nanti yang melakukan hal-hal tersebut, merekalah yang akan dinaungi oleh Allah subhanallahu wa ta’ala pada hari yang tidak ada naungan pada hari tersebut.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan pemimpin yang adil daripada yang lain, karena manfaat dari pemimpin yang adil adalah manfaat yang menyeluruh yang dirasakan oleh seluruh rakyat jika Allah subhanahu wa ta’ala memberikannya taufik untuk berbuat adil.

Kedua, Seorang pemuda yang tumbuh diatas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 

Seorang pemuda yang tumbuh diatas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sejak kecil ia beribadah, memperhatikan ibadahnya, selalu melaksanakan ketaatan. Jauh dari mengikuti hawa nafsunya. Jauh dari sifat-sifat pemuda yang biasanya suka berbuat ngawur. Jauh dari semua sifat-sifat tersebut. Dan sangat sedikit para pemuda yang mendapatkan taufik untuk hal tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits yang dalam sanadnya ada perbincangan, yaitu dilemahkan oleh sebagian ulama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memliki shabwah (keinginan untuk mengikuti hawa nafsu.” (H.R. Ahmad dan Ath Thabrani)

Mungkin ini adalah perkara yang sangat berat, yaitu seorang pemuda yang tumbuh diatas ketaatan. Jauh dari keinginan untuk mengikuti hawa nafsunya, senantiasa konsisten menjaga perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Maka barangsiapa yang keadaannya demikian, Allah subhanahu wa ta’ala akan menaunginya di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya. Oleh karena itu, anak-anak yang masih kecil, hendaklah memahami makna ini. Berusaha mengetahui, dan berusaha untuk mengamalkannya agar ia tumbuh diatas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tentunya ini butuh kesungguhan yang berat. Allah berfirman;

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang (bersungguh-sungguh) berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al ‘Ankabut : 69)

Ketiga, Seorang laki-laki yang hatinya bergantung di masjid

Seorang laki-laki yang hatinya bergantung di masjid. Yaitu, ia yang sangat mencintai masjid-masjid, rumah-rumah Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila ia keluar darinya, dan apabila ia selesai melaksanakan sholat, ia rindu untuk kembali ke masjid tersebut untuk melaksanakan sholat yang lain karena besarnya kedudukan masjid di hatinya. Juga karena apa yang ia dapatkan ketika ia berada di masjid. Ia merasa bahagia dan merasa tenang. Masjid adalah penyejuk mata bagi orang-orang yang beriman.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ (36) رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (37)

“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat),” (Q.S. An Nur : 36 – 37)

Maka barangsiapa yang hatinya bergantung di rumah-rumah Allah subhanahu wa ta’ala, sangat mencintai masjid-masjid, selalu menjaga sholat lima waktu di masjid, berusaha untuk selalu duduk di masjid, tinggal di masjid, maka ia akan menjadi salah satu dari tujuh golongan yang akan diberi naungan pada hari dimana tidak ada naungan selain naunganNya.

Dan bukanlah yang dimaksud hati seseorang yang bergantung di masjid yaitu ia terus tinggal di masjid, tidak pernah keluar darinya. Akan tetapi yang dimaksud adalah ia tetap keluar untuk mengerjakan urusan-urusannya, melaksanakan pekerjaannya dari perdagangan jika ia seorang pedagang, bekerja jika ia seorang pegawai. Namun demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak menyibukkan ia dari masjid dan menunggu waktu sholat. Ia selalu rindu untuk kembali ke masjid.

Diantara tanda orang yang hatinya bergantung di masjid yaitu ia selalu bersegera untuk mendatangi sholat ketika ia mendengat adzan. Karena manusia ketika mendengar adzan ada dua kelompok;

  1. Apabila mendengar adzan ia senang, bahagia, dan segera meninggalkan yang ada di tangannya. Tentu keadaannya demikian karena hatinya bergantung di masjid.
  2. Apabila mendengar adzan ia bingung dan merasa bahwasanya ada satu perkara yang akan menghalangi dirinya dari pekerjaannya hingga iapung terlambat. Ia akan sibuk dengan pekerjaannya, bahkan bisa jadi ketika sholat selesai dilaksanakan, namun ia tetap sibuk dengan pekerjaannya karena hatinya tergantung dengan amalannya dan pekerjaannya.

Hadits ini juga memberikan kita faidah yang sangat penting, yaitu kesholihan seorang hamba kembali kepada hatinya. Dan kepada sesuatu yang ia condong kepadanya. Dan manusia selalu mengikuti hatinya sebagaimana sabda Rasulullan shallallahu ‘alaihi wa sallam;

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, yang apabila daging tersebut baik, maka akan baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila daging tersebut rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuhnya.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Keempat, Dua orang yang saling mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala

Dua orang yang saling mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat-sifat yang telah disebutkan selalu disebutkan satu orang, namun saling mencintai ini dibutuhkan dua orang. Antara dua orang. Karena yang satu mencintai yang lainnya. Dan kecintaan mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini adalah tali keimanaan yang paling kuat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;

إِنَّ أَوْثَقَ عُرَى الْإِيمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ، وَتُبْغِضَ فِي اللهِ

“Sesungguhnya tali keimanan yang paling kuat adalah saling mencintai karena Allah, dan saling membenci karena Allah.” (H.R. Ahmad)

Dalam hadits qudsi, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadits shahih dalam kitab sunannya:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلاَلِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ.

Muadz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta di bawah keagungan-Ku untuk mereka mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya yang membuat para Nabi dan orang yang mati syahid.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, ia memberi karena Allah dan tidak memberi juga karena Allah, maka sungguh imannya telah sempurna.” (HR. Abu Dawud)

Kecintaan mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala dibangun diatas keimanan, diatas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Keridhoan-Nya dan ukhuwah imaniyah adalah sekuat-kuatnya tali keimanan. Dan itulah yang akan kekal di dunia dan di akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;

اَلْاَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْدٍ عَدُوٌّ اِلَّاالْمُتَّقِيْنَ

“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” ( QS. Az Zukhruf : 67 )

Semua tali, semua hubungan, akan terputus kecuali hubungan karena Allah. Kecuali persaudaraan yang dibangun karena kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ukhuwah fillah (saling mencintai karena Allah) ada beberapa konsekuensi yang telah dijelaskan di dalam alqur’an dan wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi tersebut yang diantaranya disebutkan Allah dalam firmanNya;

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan yang lainnya, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasiq) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzolim.

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah bnyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hujurat : 10 – 12)

عن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim, dll)

Menit ke-26:21 Hal. 138

20191104 – Syaikh Abdurrazaq – Kafiyatul Mutaabbid

##Pembahasan hadits berlanjut pada sesi selanjutnya.

Sumber video Kajian 7 Orang Yang Dinaungi Allah

Narasumber : Syaikh Prof. Dr. Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al Badr
Penerjemah : Ustadz Iqbal Gunawan, MA.
Kitab Syarah Muta’abbid wa Tuhfatu al Mutazahhid
Tema : Tujuh Golongan yang Mendapat Naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang Kajian ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya.
Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: