Khutbah Jumat Ramadhan – Ibadahnya Pemalas | Ustadz Ammi Nur Baits

Khutbah Jumat Ramadhan – Ibadahnya Pemalas | Ustadz Ammi Nur Baits

Penjelasan Ibadah Khauf, Raja’, Tawakal, Ar-Raghbah, Ar-Rahbah, Al-Khusyu’
Penjelasan Ibadah Khasyyah, Inabah, Isti’anah, Isti’adzah
Khutbah Jumat: 5 Falsafah Ibadah

Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “Ibadahnya Pemalas” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat Pertama: Ibadahnya Pemalas

Syukur Alhamdulillah atas segala kemudahan yang Allah berikan kepada kita untuk melaksanakan berbagai rangkaian ibadah sepanjang bulan Ramadhan. Di musim beramal ini, banyak kaum muslimin yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam melaksanakan amal shalih, yang mungkin kebiasaan itu tidak pernah dilakukan di bulan-bulan lainnya. Ada yang setiap hari membaca dua atau tiga juz, ada yang membaca satu juz, dan ada pula yang melaksanakan shalat malam 11 rakaat setiap malam, serta berbagai ibadah lainnya.

Namun, di saat banyak kaum muslimin sedang giat dalam ketaatan kepada Allah, ada sebagian di antara mereka yang merasa sangat berat untuk beribadah. Mungkin ada yang tidak mampu membaca Al-Qur’an, merasa berat untuk memperbanyak tilawah, sulit melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat, atau merasa sulit menjalankan ibadah lainnya. Bahkan, ada mahasiswa yang tidak sahur karena tidur hingga Subuh, dan berbagai kondisi lainnya.

Kita perlu menyadari bahwa ketika seorang hamba mampu beribadah kepada Allah, itu semata-mata karena taufik dan pertolongan dari-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.“(QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Para ulama mengatakan, seorang hamba tidak mungkin bisa beribadah kepada Allah jika tidak ditolong oleh-Nya. Maka, ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba adalah kemuliaan yang Allah berikan, dengan memberinya hidayah dan kemampuan fisik untuk taat kepada-Nya. Hakikatnya, setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebaliknya, kita bisa memahami bahwa jika ada di antara hamba yang merasa berat untuk melakukan ketaatan, seperti berat membaca Al-Qur’an, berat beribadah, atau berat untuk melakukan qiyamul lail, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala belum berkenan menjadikan dia bersama orang-orang shalih yang terus maju dalam ketaatan kepada-Nya. Isyarat ini disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah At-Taubah ayat 46, ketika kaum muslimin bersiap berangkat berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sementara di tengah mereka ada orang-orang munafik yang tetap tinggal di Madinah.

Orang-orang munafik ini turut mendengar motivasi untuk berjihad, namun mereka satu demi satu meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Mengapa mereka minta izin dan tidak ikut jihad? Jawabannya dijelaskan dalam Al-Qur’an, karena Allah tidak suka mereka terlibat dalam perjuangan itu. Allah tidak menghendaki mereka ikut serta dalam barisan kaum muslimin yang beribadah kepada-Nya dan berjihad di jalan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَٰكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ

“Dan jika mereka benar-benar ingin berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Akan tetapi, Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka), ‘Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal.'” (QS. At-Taubah [9]: 46)

Dari ayat ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa jika seseorang sungguh-sungguh ingin beribadah, seharusnya mereka mempersiapkan diri sebelumnya. Misalnya, jika ingin memaksimalkan membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan, dia seharusnya melatih diri selama 11 bulan sebelumnya. Jika merasa kurang terbiasa membaca Al-Qur’an, dia harus berlatih. Jika menyadari bahwa qiyamul lail di bulan Ramadhan adalah ibadah yang sangat bernilai, seharusnya dia mempersiapkan diri dengan baik.

Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka mereka keluar dari Madinah untuk ikut jihad. Bisa jadi, di antara kita ada yang tidak diberi anugerah oleh Allah untuk rajin membaca Al-Qur’an atau beribadah sepanjang bulan Ramadhan. Rasanya malas, ingin tidur saja, atau hanya ingin bermain game. Bisa jadi, Allah tidak suka kepada kita sehingga Dia membuat kita malas beribadah. Akibatnya, kita tidak bersama barisan kaum muslimin yang sedang melakukan ketaatan kepada Allah di bulan Ramadhan. Ini berarti kita bukan termasuk orang yang dimuliakan oleh Allah dengan anugerah ibadah di saat musim ketaatan.

Dan di antara sifat orang munafik, seperti yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah pemalas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa [4]: 142)

Orang-orang ini, ketika shalat Tarawih panjang sedikit, banyak berkomentar. Ketika qiyamul lail panjang sedikit, mereka juga mengeluh. Bisa jadi, di dalam hatinya sudah ada bibit penyakit yang membuat mereka malas beribadah.

Sebaliknya, ada di antara hamba Allah yang diberi anugerah untuk bisa melakukan ketaatan lebih. Namun, sayangnya, masih banyak di antara kita, termasuk teman-teman mahasiswa, yang menganggap Ramadhan hanya sebagai bulan untuk membuang-buang waktu. Sampai ada istilah “ngabuburit” dalam rangka untuk menghabiskan waktu. Padahal, bulan Ramadhan adalah waktu yang istimewa, tanpa ada istilah waktu yang sia-sia. Ini adalah waktu emas di mana ketaatan yang dilakukan bernilai sangat besar.

Sangat disayangkan, seolah-olah Ramadhan dianggap sebagai waktu kosong sehingga orang bebas bermain, jalan-jalan, ngadem di mall, atau melakukan kegiatan lainnya yang justru menambah dosa, bukan meningkatkan kualitas puasanya. Maka, kita harus menyadari, jika ini adalah kondisi kita, bisa jadi Allah tidak suka kepada kita. Allah tidak memberi hidayah, sehingga kita tidak dapat ikut terlibat dalam ketaatan bersama kaum muslimin.

Ingatlah, taufik ada di tangan Allah. Seorang hamba yang mampu beribadah kepada-Nya, itu murni karena hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Anda belum mendapatkannya, bisa jadi karena Allah tidak suka kepada kita atau karena kita termasuk orang yang malas. Sebagaimana firman-Nya:

وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ

“Maka duduklah kamu bersama orang-orang yang malas itu.” (QS. At-Taubah [9]: 46)

Demikianlah khutbah pertama ini. Semoga bermanfaat.

Khutbah Jumat Kedua: Ibadahnya Pemalas

Sebaliknya, barangkali di antara kita ada yang sedang merencanakan perbuatan maksiat di malam hari, sendirian di dalam kos, dengan internet yang lancar. Lalu kita membuka segala sesuatu yang bisa diakses. Kita tahu, internet bisa membuat seseorang menjadi baik atau sebaliknya, menjadi jahat. Namun, tiba-tiba ada kendala. Anda kesulitan membukanya, data terputus, atau lampu mati, dan akhirnya Anda putus asa untuk mengakses sesuatu yang ingin Anda lihat. Bisa jadi, ketika Anda dihalangi dari berbuat maksiat, itu karena Anda adalah manusia yang berharga di sisi Allah. Sebaliknya, ada sebagian orang yang merencanakan maksiat dalam situasi yang sama, tetapi justru dimudahkan. Mereka lancar mengakses kemaksiatan, dengan mudah melihat hal-hal yang kotor. Karena bisa jadi, mereka adalah orang yang hina sehingga dibiarkan oleh Allah terjerumus dalam kehinaan.

Hal ini dipahami oleh para ulama terdahulu, sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullah ketika beliau ditanya tentang sebagian orang yang mudah berbuat maksiat karena fasilitasnya lengkap. Sebagian orang lain, ketika ingin berbuat maksiat, justru mengalami kesulitan dan akhirnya gagal karena banyak kendala. Hasan Al-Bashri menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang hina di sisi Allah. Karena kehinaan mereka, Allah membiarkan mereka berbuat maksiat. Seandainya mereka adalah orang yang mulia di sisi Allah, niscaya Allah akan melindungi mereka dari perbuatan maksiat.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Dzammul Hawa. Para ulama memahami sinkronisasi antara ketaatan dan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika seseorang diberi kemudahan untuk mengakses kemaksiatan, jangan mengira bahwa itu adalah kelonggaran dari Allah atau tanda kebaikan. Sebaliknya, bisa jadi itu karena kita adalah makhluk yang hina di hadapan Allah. Sehingga kita malas melakukan ketaatan, tetapi begitu mudah ketika hendak mengakses kemaksiatan.

Jamaah yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mari kita berusaha untuk bermuhasabah. Allah menghisab lahir dan batin. Bisa jadi, ketika kita tidak mampu melakukan ketaatan, itu karena ada masalah dalam batin kita. Demikian pula, ketika kita dimudahkan dalam berbuat maksiat, mungkin ada banyak masalah dalam batin kita.

Perbaikilah keadaan ini dengan memperbanyak doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memohon taufik dan hidayah dari-Nya, serta sering meminta ampun kepada-Nya. Semoga dengan doa dan taubat, Allah mengampuni perbuatan maksiat kita dan mengembalikan derajat kita sebagai manusia yang baik. Semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk selalu berbuat taat kepada-Nya.

Video Khutbah Jumat: Ibadahnya Pemalas

Sumber Video: ANB Channel

Mari turut menyebarkan link download kajian “Ibadahnya Pemalas” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: