Ikhlas – Part 1

Ikhlas – Part 1

Materi 59 – Tawadhu’ Kasih Sayang Terhadap Sesama
Materi 58 – Sikap Orang Tawadhu’ Terhadap Dunia
Materi 57 – Tawadhu’ Sifat ‘Ibadurrahman

Tulisan tentang “Ikhlas – Part 1” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafidzahullah.

Sebelumnya: Mempelajari Amalan Hati – Part 4

Ikhlas – Part 1

 بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita akan masuk dalam amalan hati yang pertama, yaitu ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Secara etimologi (bahasa), ikhlas diambil dari bahasa Arab dari kata خلوصا (murni). Dan Allah menggunakan kata خلوصا dalam beberapa ayat. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَلَا لِلَّـهِ الدِّينُ الْخَالِصُ…

Hanya bagi Allah lah agama yang murni.” (QS. Az-Zumar[39]: 3)

Kemudian juga dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ مِن بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِّلشَّارِبِينَ ﴿٦٦﴾

Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajar bagi kalian. Kami memberikan minum dari apa yang berada dalam perutnya berupa susu yang murni yang mudah untuk diminum oleh para peminumnya –yang Allah mensifati- susu tersebut keluar di antara kotoran dan darah.” (QS. An-Nahl[16]: 66)

Kita tahu namanya susu murni itu tidak ada tercampur dengan setetes darah pun dan tidak tercampur dengan setitik kotaran pun. Seandainya ada susu yang tercampur dengan setetes darah atau tercampur dengan setitik kotoran, maka tidak murni lagi. Ini gambaran secara sederhana tentang kata خلوصا, yaitu murni.

Kemudian juga Allahsebutkan contohnya dalam Surat Yusuf ayat 80, Allah berfirman:

فَلَمَّا اسْتَيْأَسُوا مِنْهُ خَلَصُوا نَجِيًّا

Yaitu tatkala saudara-saudara Yusuf ‘Alaihis Salam putus asa dari merayu Yusuf ‘Alaihis Salam untuk menukarkan adik mereka Benjamin dengan salah seorang dari mereka, kata Allah خَلَصُوا نَجِيًّا (mereka pun menyendiri sambil berunding berbisik-bisik di antara mereka). خَلَصُوا yaitu murni mereka saja, tidak ada orang lain yang ikut campur dalam pembicaraan mereka.

Dari sini kita tahu bahwasanya namanya خلوصا artinya murni.

Adapun ikhlas dari أخلصَ / يُخلص / إخلاصًا, artinya memurnikan. Yaitu secara sederhana maknanya seseorang memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak boleh niatnya tercampur dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana murninya susu yang tidak tercampur dengan setetes darah pun dan tidak tercampur dengan setitik kotoran pun. Demikian juga seseorang ketika beribadah kepada Allah niatnya ikhlas, murni karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak mengharapkan sedikitpun pujian dari manusia, tidak mengharapkan sedikitpun sanjungan dari manusia. Karena ketika dia beribadah dan ternyata dia berharap diakui, sanjung, dihormati, maka sesungguhnya niatnya tidak ikhlas lagi. Kalau niatnya tidak ikhlas lagi, maka tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ibadahnya.

Karenanya dalam satu hadits Qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ

“Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan syarikat (kalau bahasa kita: ‘Allah tidak ingin diduakan, Allah tidak ingin disamakan, tidak ingin disyarikatkan.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan ternyata dia mensekutukan Aku dengan selain Aku, maka -kata Allah- Aku akan meninggalkan dia dan kesyirikannya (yaitu Allah tidak butuh dengan syarikat).” (HR. Muslim 2985)

Dalam riwayat yang lain, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ

“Barangsiapa mengamalkan satu amalan ternyata dia mensekutukan Aku dengan selainKu, maka Aku berlepas diri dari darinya. Dan dia untuk sekutuKu.”

Jadi ini namanya keikhlasan, yaitu seseorang beribadah murni hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah tidak menerima sekutu. Jadi kalau seseorang beribadah 100% hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya dia beribadah 90% niatnya karena Allah dan ternyata 10% nya untuk disanjung, untuk diakui, untuk dihormati, maka apa kata Allah tadi?

تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku tinggalkan dia dengan sekutu yang dia angkat tersebut.”

Dalam riwayat yang lain tadi:

وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ

“Dia untuk sekutu yang dia sekutukan.”

Adapun Allah, Allahtidak menerima persekutuan.

Sebagian salaf mengatakan:

ﺍﻹﺧﻼﺹ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻠﻚ ﺷﺎﻫﺪﺍ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﻣﺠﺎﺯﻳﺎ ﺳﻮﺍﻩ

“Ikhlas yaitu engkau tidak mengharap dari amalanmu saksi selain Allah (yaitu yang penting jika Allah sudah melihatnya maka sudah selesai) dan engkau tidak berharap pemberi balasan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Oleh karenanya inilah syiar kaum mukminin yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾

Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami tidak butuh dari kalian balasan dan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan[76]: 9)

Kemudian, sebagian salaf juga mengatakan bahwa yang disebut dengan ikhlas adalah:

الاخلاص نسيان رؤية الخلق بدوام النظر الى الخالق

“Ikhlas adalah melupakan pandangan atau penilaian manusia dengan selalu memandang kepada Sang Pencipta.”

Jadi, ikhlas itu seseorang tidak mengharap apapun dari manusia, tidak mengharap dipandang, tidak mengharap diakui, tidak berharap dikomentari, dan dia bernar-benar mengharap dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah kira-kira definisi ikhlas. Yaitu secara istilah adalah seseorang memurnikan niatnya ketika beramal shalih hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan ini berlaku dalam seluruh ibadah. Dalam seluruh ibadah kita harus ikhlas. Ikhlas bukan hanya dalam sekedar ketika sedekah, bukan ketika shalat saja, dalam segala ibadah kita harus ikhlas. Contoh sederhananya ketika dalam menuntut ilmu, ini harus ikhlas, bukan untuk agar diakui oleh kawan-kawan, bukan untuk dipuji oleh ustadz atau guru, bukan supaya kalau nilai kita tinggi dalam ujian maka kita diakui panitia misalnya. Menuntut ilmu harus ikhlas, harus ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena menuntut ilmu adalah ibadah.

Contohnya berbakti kepada orang tua, ini harus ikhlas. Kita menyenangkan hati orangtua, tidak perlu kita cerita ke orang-orang bahwa saya berbakti kepada orang tua, saya yang mengobati orang tua, saya menghajikan orang tua saya, saya mengumrahkan orang tua saya, (mengatakan) saya yang… saya yang… saya yang… ini tidak perlu. Berbakti kepada orang tua adalah amalan yang sangat luar biasa, tidak perlu kita mengharapkan pujian dari manusia.

Kemudian juga misalnya masalah dakwah. Dakwah juga perlu keikhlasan. Allah berfirman dalam surat Yusuf 108:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٠٨﴾

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Inilah adalah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas ilmu…”

Jadi seorang berdakwah harus menyeru kepada Allah, bukan menyeru untuk yayasannya, bukan menyeru untuk dirinya, agar orang berkumpul sama dia, kalau ada ustadz lain yang rame dia jengkel, dia hasad, kalau ada grup lain banyak dia cemburu, tidak. Dia beribadah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk grupnya, bukan untuk yayasannya, bukan untuk pondoknya, bukan untuk majelis taklimnya, tidak. Dia berdakwah untuk Allah.

Jadi demikian para ikhwan dan akhwat, bahwasanya ikhlas harus kita usahakan dalam segala bentuk ibadah yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian terlebih dahulu, insyaAllah kita lanjutkan pada poin berikutnya.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

Perhatian: Ikhlas – Part 1

⚠️ Note: Kalau team UFA merevisi audionya, insyaAllah catatan ini juga akan direvisi sesuai dengan audio yang baru.

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: