Berikut pembahasan Arti Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Arti Minal ‘Aidin wal Faizin dan Hukum Mengucapkannya yang merupakan transkrip dari percakapan antara Ustadz Firanda Andirja (UF) dan Ustadz Ahmad Zainuddin (UA) Hafidzahumullahu Ta’ala.
Transkrip Arti Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Arti Minal ‘Aidin wal Faizin dan Hukum Mengucapkannya
UA: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, ustadz..
UF: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
UA: Kayaknya cincinnya baru, ustadz?
UF: Alhamdulillah, kan mau lebaran bentar lagi.
UA: Memang harus beli baru semua gitu, ustadz?
UF: Ya nggak harus, tapi kan hari lebaran adalah hari bersenang-senang yang dibolehkan dalam Islam, lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kelapangan-kelapangan bagi kaum Muslimin. Kita tahu dibolehkan pada hari lebaran untuk bermain duff (rebana) yang tidak dilakukan selain di hari-hari kegembiraan seperti ini. Oleh karenanya boleh saja masyarakat misalnya bergembira dengan membelikan baju baru buat anak-anak.
UA: Lalu ustadz, biasa kalau mau lebaran ini banyak istilah-istilah yang dipakai oleh kaum Muslimin. Seperti selamat Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faidzin.
UF: Iya, itu sih boleh-boleh saja. Kita tatkala lebaran, kembali asalnya ini adalah perkara adat-istiadat, asalnya kita tahniah (memberi ucapan selamat). Adapun bagaimana cara mengucap selamat, kembali kepada adat masing-masing. Memang dia tahu para Salaf dahulu tatkala hari lebaran mereka mengatakan:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
(Taqabbalallahu Minna wa Minkum)
“Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadah Antum selama bulan Ramadhan, semoga diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Lantas mereka berpelukan misalnya untuk menunjukkan kebahagiaan. Ini tahniah atau kata selamat yang indah. Akan tetapi tidak harus demikian. Intinya kita mengucapkan selamat seperti selamat Idul Fitri atau do’a-do’a yang lain. Seperti di Arab Saudi sering tersebar:
كل عام وأنتم بخير
(Kullu ‘Aamin wa Antum Bi Khair)
“Semoga engkau dalam kebaikan sepanjang tahun.” Ini adalah do’a.
Atau misalnya:
من العائدين والفائزين
(Minal ‘aidin wal faizin)
“Engkau termasuk orang-orang yang berhari raya semoga orang-orang yang menang (menang setelah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Ini adalah do’a. Sama dengan Taqabbalallahu Minna wa Minkum.
UA: Intinya boleh, ustadz?
UF: Intinya boleh saja.
UA: Bukan bid’ah ya?
UF: Oh, tidak.. Ini kembali ke masalah adat. Ini bukan suatu ritual khusus. Taniah itu masalah adat-istiadat, bebas selama tidak bertentangan dengan syariat. Maka kita boleh mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Ucapan “Selamat hari raya Idul Fitri” tidak ada dizaman Nabi, tapi bukan berarti lafadz ini bid’ah. Karena ini kembali kepada adat-istiadat. Juga boleh dengan kata-kata yang lain, dengan kata-kata yang intinya mengucapkan selamat. Apalagi dalam ucapan selamat tersebut mengandung do’a, maka itu yang diharapkan.
UA: Lalu ketika Idul Fitri itu sering ada kata halal bihalal.
UF: Halal bihalal.. Kita tahu ustadz, secara bahasa Arab entah itu apa artinya. Halal dengan halal. Seakan-akan halal dibayar dengan halal. Maksudnya apa? Kita pun tidak tahu. Tapi kalau kita kembali kepada tradisi masyarakat, yang dimaksud dengan halal bihalal yaitu masyarakat berkumpul setelah Idul Fitri atau hari keberapa mereka berkumpul, saling bertemu di antara mereka, saya rasa itu asalnya boleh-boleh saja, tidak mengapa kita berkumpul dengan keluarga. Hanya penamaannya saja yang bermasalah. Atau kemudian mengatakan “ini harus”, padahal ini adat-istiadat. Satu kampung berkumpul, ini perkara yang indah. Tatkala Idul Fitri mereka berkumpul, kitapun demikian ketika di الجامعة الإسلامية (pen: Universitas Islam Madinah). Kita ada acara makan bareng tatkala Idul Fitri. Itu namanya halal bihalal, hanya saja dalam versi kita tidak dinamakan dengan halal bihalal. Tapi hari-hari ukhuwah, persaudaraan. Maka kita kumpul seluruh thulab jami’ah, ada makan siang, makan kambing, disediakan oleh universitas waktu itu.
Jadi sebenarnya boleh-boleh saja selama dihindarkan perkara-perkara yang haram seperti ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan wanita), kalau terbagi laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, maka tentunya itu yang terbaik.
UA: Kalau pas lebaran pasti banyak “Mohon maaf lahir batin lahir batin.”
UF: Maksudnya lahirnya salah, batinnya salah, terus dia minta maaf atau seperti apa? Saya nggak paham maksudnya apa itu, ustadz? Mohon maaf lahir dan batin.
UA: Ya mungkin dia mempunyai banyak kesalahan, yang saya tanyakan apakah memang kalau seandainya Idul Fitri atau Idul Adha itu harus mohon maaf? Apalagi ditambah “lahir batin”?
UF: Oh, tidak.. Bahkan meyakini adalah kekeliruan. Namanya orang minta maaf itu kalau dia bersalah. Kalau seseorang tidak bersalah, tidak perlu minta maaf. Apalagi terkadang kita baru ketemu orang tersebut, “Mohon maaf lahir dan batin.” Belum pernah ketemu sudah minta maaf. Minta maaf kan kita merendahkan diri.
UA: Ini masuk ke ranah mengada-ada berarti, ustadz?
UF: Iya, kita minta, berarti kita meminta sesuatu yang seharusnya seorang tidak minta kalau tidak perlu. Tatkala kita minta maaf sementara kita tidak punya salah, maka tidak benar. Oleh karenanya orang yang kalau punya salah, segera dia minta maaf, jangan tunggu lebaran dulu. Keburu meninggal sebelum lebaran, dia tidak sempat minta maaf. Kapan dia bersalah, maka dia segera minta maaf.
UA: Yang ada hadits riwayat Bukhari itu, ustadz?
UF: Iya..
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa mempunyai dosa, segera dia minta dihalalkan sebelum datang hari kiamat yang tidak bermanfaat dinar dan dirham.” (HR. Bukhari)
Makanya kebiasaan masyarakat yang kemudian minta maaf ditunda sampai hari lebaran, ini keliru. Kecuali kalau memang pas kebetulan ketemu hari tersebut, sebelumnya tidak pernah ketemu, kemudian mungkin ada salah yang dahulu, kemudian memanfaatkan momen hari lebaran sebagai minta maaf, ini nggak jadi masalah. Adapun menunda gara-gara nunggu lebaran, maka ini kekeliruan.
UA: Satu lagi, ustadz. Kebiasaan kalau di beberapa keluarga Muslim itu, habis shalat Id mereka kumpul, bapak ibu kemudian datang anak pertama lalu sungkem. Di situ mohon maaf lahir batin, lahir batin tadi belum disinggung, ustadz?
UF: Saya tidak tahu maksudnya apa “lahir batin”? Mungkin itu istilah yang maksudnya seluruh kesalahan saya tolong dimaafkan.
UA: Tapi pada dasarnya itu semestinya dianjurkan ya, ustadz. Minta halal.
UF: Iya.. Minta halal.. Tapi jangan nunggu pas lebaran. Adapun misalnya tradisi masyarakat tatkala hari lebaran, kumpul keluarga kemudian sungkeman, itu tradisi dan nggak jadi masalah selama tidak melanggar.
UA: Kira-kira melanggar ngga, ustadz?
UF: Kalau ruku’, sampai sujud, ini tidak boleh. Tapi kalau misalnya datang ke ibu kemudian kita tunduk cium keningnya, kita cium tangannya, ini tidak jadi masalah. Tapi kalau sampai sujud, sampai menunduk-nunduk, ini yang tidak diperbolehkan.
UA: Jadi itu masuk tradisi ya, ustadz?
UF: Iya itu masuk tradisi yang dibolehkan. Asalnya tradisi kan boleh. Asalnya dalam segala urusan adalah perkara yang dibolehkan. Dia bukan ibadah ritual tertentu.
UA: Kayaknya kita harus mengucapkan selamat kepada para pemirsa sekalian.
UF: Oh, iya..
UA: Permisa sekalian yang semoga seluruh amal ibadah kita baik dalam bulan Ramadhan ataupun diselainnya semoga diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka saya ucapkan:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، من العائدين والفائزين
Selamat Idul Fitri 1435 Hijriyah.
UF: Demikian juga kepada para pemirsa sekalian, saya ucapkan:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan kita tatkala di bulan Ramadhan, menerima shalt kita, menerima puasa kita, menerima tangisan kita, menerima ruku’ dan sujud kita. Dan semoga kita semua dicatat sebagai penghuni surga di akhirat kelak. Allahumma Amin..
Video Pembahasan Arti Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Arti Minal ‘Aidin wal Faizin dan Hukum Mengucapkannya
Diambil dari channel youtube Masjid Imam Syafi’i Banjarmasin dengan judul asli Selamat Hari Raya Idul Fitr 1435 H – Ust. Firanda dan Ust. Ahmad Zainuddin.
Komentar