“Belajar Adab dan Akhlak Islami dari Ulama Salaf” ini merupakan catatan kajian dari ceramah singkat yang disampaikan oleh Ustadz Muhamad Nuzul Dzikri Hafizhahullahu Ta’ala
Belajar Adab dan Akhlak Islami dari Ulama Salaf
Memuliakan Tamu
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika ada tamu datang, layani. Ingat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan untuk memberi makan. Tapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: فَلْيُكْرِمْ, muliakan. Jadi kalau ada tamu, buatlah bagaimana agar dia merasa menjadi orang yang mulia di rumah kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan: فَلْيُطْعِِمْهُ, beri dia makan, lalu suruh dia pulang. Tidak.
Kalau Anda yakin beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari kiamat, maka muuliakan tamu Anda. Maka simbol pemuliaan tamu adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ . إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ .فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaamun”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan”.” (QS. Az-Zariyat[51]: 24-27)
Ternyata tamu-tamu ini tidak diundang. Dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak tahu siapa mereka. Bayangkan, ini Nabi. Yang Nabi lebih sibuk daripada Ustadz. Jadi di sela-sela kesibukannya, ada tamu yang tidak diundang datang dan beliau tidak mengenal mereka. Tapi begitu para tamu itu datang, beliau yang menyambut pertama kali. Bukan pembantunya yang disuruh untuk membukakan pintu. Beliau yang menyambutnya.
Oleh karena itu, kata para ulama tafsir, ketika tamu-tamu ini memberi salam, yang menjawab salam adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam: قَالَ سَلَامٌ. Kata Nabi Ibrahim, “Wa’alaykumussalaam.” Kalau pembantunya yang membukakan pintu, yang menjawab adalah pembantunya. Tapi ini tidak. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menjawab salam.
Secara tersirat, kalau dalam ilmu ushul mafhum, secara dalil adalah mafhum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menyambut di pintu depan. Mungkin bukan pintu gerbang, tapi pintu utama. Lalu beliau mengajak mereka berbicara satu per satu, “Mohon maaf, Pak. Namanya siapa, bagaimana kabar Bapak.” Lalu tamu yang kedua pun demikian.
Kemudian beliau masuk ke rumah dan beliau memberi عِجْلٍ سَمِينٍ, anak sapi yang gemuk. Allahu Akbar. Ini tamu yang beliau tidak mengenalnya. Yang tidak membuat janji. Begitu mereka datang, langsung menyembelih satu ekor sapi. Kita boro-boro sapi. Buntut sapi saja masih mikir. Iya, sop buntut mahal. Itu buntutnya saja masih mikir-mikir. Subhanallah.
Kaitan Akhlak dan Aqidah
Hadirin yang rahimakumullah,
Lihat bagaimana kaitannya akhlak dengan aqidah. Karena yakin ini adalah tolak ukur. Ini salah satu pertaruhan untuk aqidah kita. Apakah benar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apakah yakin bahwa harta yang kita keluarkan untuk tamu kita akan diganti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apalagi kalau tamu kita shalih. Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud No. 4832)
Maknanya adalah penekanan. Bahwa kalau ada orang yang bertakwa, berilah makan kepadanya. Karena itu mengandung berkah dan pahalanya besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantinya. Akhlak itu penting, hadirin sekalian. Ini yang menentukan apakah iman kita kepada asma wa shifat, iman kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas teoritis atau benar-benar sebuah keyakinan yang menancap di dalam hati.
Mencegah Sifat Munafik
Yang berikutnya, hadirin yang rahimakumullah,
Akhlak yang mulia apabila digabungkan dengan ilmu yang benar, akan mencegah diri kita dari sifat munafik. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
خصلتان لا تجتمعان في منافق : حسن سمت ، و لا فقه في الدين
“Ada dua sifat yang tidak akan pernah tergabung dalam hati orang munafik: perilaku luhur (akhlak mulia) dan pemahaman dalam agama.” HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Salim dan ulama yang lainnya.
Mungkin ada salah satunya sifat ini di dalam diri orang munafik, tapi tidak mungkin dua-duanya. Kalau dua sifat ini sudah bersatu, maka dia adalah orang mukmin. Bukan munafik. Karena dua sifat ini tidak mungkin berkumpul di dalam diri orang munafik. Kalau dua sifat ini dapat kita satukan, maka kita terhindar dari sifat kemunafikan.
Pemahaman terbalik, mafhum mukhalafah atau dalilul khithab dalam ilmu ushul fiqh, kalau dua sifat ini tidak ada atau hanya ada salah satunya maka kita masih berpeluang menjadi orang munafik. Walaupun buku-buku aqidah sudah banyak kita lahap, dan ilmu fikih sudah khatam. Tapi kalau kita tidak bisa menyatukan dua sifat ini, kita masih berpeluang menjadi orang munafik. Maka hati-hatilah dalam masalah ini.
Semangat Belajar Akhlak
Hadirin rahimakumullah,
Para ulama kita benar-benar semangat belajar akhlak. Sebagaimana yang diceritakan oleh para ahli sejarah. Seperti yang disampaikan oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar. Di majelis Imam Ahmad, yang datang itu kurang lebih 5.000 orang. Namun yang mencatan hanya 500-an orang. Lalu mengapa yang 4.500 orang itu tidak mencatat? Kata riwayat tersebut, orang yang sebanyak 4.500 itu sibuk mempelajari akhlak dan adabnya Imam Ahmad. Sehingga tidak sempat mencatat. Jadi mereka datang ke kajian bukan cari ilmunya karena mereka sudah menguasai ilmunya.
Sebagaimana Al Imam Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, dan Al Imam Ibnu Muflih menyampaikan hal ini dalam kitab Adabu Asy Syar’iyyah,
كنا نأتي الرجل ما نريدُ علمه
“Kami suka datang ke kajian seorang syaikh dan kami tidak menginginkan ilmunya.”
Ilmunya sudah paham. Bahkan bisa jadi mereka lebih pintar dari pada yang mengisi kajian tersebut.
إلا أن نتعلم من هذيهِ وسَمّته
“Kami datang hanya untuk mempelajari akhlak dan adab syaikh tersebut.”
Dan Al Imam Ali bin Madini melakukan ini, ulama besar salah satu guru dari Imam Bukhari. Dan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa salah satu yang membuat Imam Bukhari begitu luar biasa adalah karena beliau memiliki guru yang bernama Ali bin Madini. Imam Ali bin Madini dan beberapa ulama yang lain itu hadir di majelisnya Yahya Bin Sa’id Al Qaththan.
ما يريدون أن يسمعوا شيئاً
“Mereka tidak ingin mendengar hadits.”
Karena hadits-hadits tersebut sudah ada di dalam kepala mereka. Bukan seperti kita, di luar kepala. Lupa semua.
إلا أن ينظروا إلى هذيه وسمته
“Mereka datang hanya untuk mempelajari akhlak dan adabnya Yahya Bin Sa’id Al Qaththan.”
Menghadiri Majelis secara Langsung
Allahu Akbar. Bahkan Ibnu Mubarak itu sampai perlu safar ke Basrah hanya untuk mempelajari akhlaknya Ibnul ‘Aun. Pernah ada yang bertanya kepada Ibnu Mubarak, “Mau ke mana?” “Ke Basrah” jawab beliau. “Mau apa di Basrah, memangnya ada siapa di sana?”. Kata beliau, “Ada Ibnu ‘Aun.”
أخذ من أخلاقه، آخذ من آدابه
“Aku ingin mempelajari akhlak dan adabnya.” (disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifatu Ash Shafwa)
Oleh karena itu, para ulama tidak ingin isi kajiannya karena isi kajiannya sudah paham. Tapi mereka mempelajari bagaimana menyampaikan materi secara santun, bagaimana merespon jama’ah yang mungkin kurang beradab, jika bertanya kurang berakhlak. Jadi bagaimana cara menyikapinya, itu yang mereka pelajari ketika mereka datang ke majelis-majelis ulama yang lain. Dan itu menunjukkan ketawadhuan mereka.
Mereka ingin khusus belajar dalam masalah ini. Bahkan Ibnul Mubarak mengatakan,
طلبت الآدب ثلاثين سنة
“Aku belajar adab secara khusus selama 30 tahun.”
Itu para ulama. Makanya mereka berakhlak semuanya. Karena memang khusus belajar adab. Seperti tadi, mereka datang ke majelis khusus belajar adab. Bukan secara secara teori/ retorika, tetapi praktek langsung, “Bagaimana menyampaikan materi secara berakhlak, secara hikmah.” Ini penting.
Saya pernah mengikuti kajian via video yang diasuh oleh Syaikh Abdul Aziz Ar Rayyis, salah satu masyaikh di Riyadh yang cukup tegas, begitu beliau baru membaca “innalhamdalillah” di sebuah kajian beliau, langsung ada yang interupsi. Langsung ada yang mengangkat tangan untuk memotong pembicaraan. Bayangkan ustadz Antum baru mulai membaca “innalhamdalillah” langsung ada yang mengangkat tangan dan bertanya, kira-kira sopan atau tidak? Tentu tidak sopan.
Tapi beliau menyambut dan mendengarkan pertanyaan orang tersebut. Ternyata orang ini tidak puas lalu membantah. Bayangkan, Syaikh sudah memberi waktu malah membantah. Beliau menjawabnya, lalu orang tersebut membantah lagi. Begitu terus. Akhirnya beliau mengatakan, “Bagaimana jika selepas kajian kita bicara berdua dan kita mulai dulu kajian ini?”
Bukannya duduk, orang itu malah ngeloyor pergi. Dia malah pergi. Lalu Syaikh memanggil orang itu dan berkata, “Wahai Fulan, jangan pergi. Kehadiranmu di majelisku ini membahagiakanku. Dan kepergianmu menyedihkanku.”
Subhanallah. Kalau Tuan Guru Antum berbuat demikian terhadap Antum, bagaimana? Mungkin sampai subuh nggak pulang-pulang saking terharunya. Nah, hal-hal seperti itu tidak ada di bangku kuliah maupun di dalam buku. Hal seperti itu harus melihat langsung. Jadi ini yang penting dan perlu kita camkan bersama-sama akan pentingnya datang ke majelis ulama.
Dan ini juga menunjukkan kepada kita tentang pentingnya datang ke majelis ilmu secara langsung. Tidak mencukupkan hanya dengan radio, televisi, dan yang sejenisnya. Walaupun radio dan televisi adalah media yang sangat bermanfaat, tapi akan berbeda antara datang langsung dengan dengan yang hanya dengar di radio atau di televisi. Di antaranya itu tadi, Antum bisa mempelajari akhlak dan adab dari ustadz Antum. Antum bisa melihat perangai dan sikapnya setelah turun dari kursi kajiannya. Dan itu tidak kalah penting. Betapa banyak orang yang mendapatkan hidayah dalam masalah ini.
Oleh karena itu, hadirin yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekali lagi, ilmu yang benar secara teori harus dipadukan dengan akhlak yang mulia.
Video Kajian Belajar Adab dan Akhlak Islami dari Ulama Salaf
Sumber video: Yufid.TV
Silahkan dibagikan, semoga bermanfaat dan menjadi pembuka pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Komentar