Cambuk Hati : Bahagia Ketika Sakit
Mungkin Anda sering mendengar kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, pepatah yang terkenal di masyarakat kita. Sebagaimana gading, tidak ada manusia yang tidak pernah sakit. Saya, Anda, dia, mereka, siapa pun dia pasti pernah merasakan sakit. Karena itu sebenarnya bukanlah sakit yang menjadi masalah besar bagi kita. Namun yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa menjadi hamba yang baik ketika sakit. Karena sakit itu pasti, sementara bagaimana cara melakukan yang terbaik ketika sakit, itu kembali kepada pilihan kita. Kita bisa mendapatkan banyak pahala ketika sakit. Sebaliknya, sakit yang kita alami bisa menjadi sebab munculnya dosa.
Mari kita ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
اِنَّ اللّهَ اذا اَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِضَا وَمَنْ سَخِطَ فله السَّخَطُ
“Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka (dengan musibah). Barangsiapa yang ridha (dengan musibah itu) maka Allah akan ridha kepadanya. Sebaliknya siapa yang marah (tidak suka dengan musibah itu), maka dia akan mendapatkan murka dari Allah.” HR. At Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah No. 4031
Mari kita perhatikan hadits di atas. Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan musibah sebagai sebab ujian bagi manusia. Karena itu sesungguhnya ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hambaNya, hakikatnya didasari kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambaNya. Karena seorang hamba akan bisa mendapatkan derajat yang lebih tinggi ketika mereka mendapatkan ujian, dan mampu bersabar terhadap ujian tersebut. Sebaliknya, ketika dia tidak bersabar, dia akan mendapat balasan yang sebaliknya.
Namun ada dua sikap manusia yang berbeda ketika mereka mendapatkan musibah. Ada yang memahami musibah itu dengan baik, sehingga dia bisa ridha terhadap ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan. Bagaimana caranya? Dia berkeyakinan bahwa ujian itu adalah sumber pahala baginya. Sehingga sama sekali dia tidak merasa dizhalimi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau merasa telah dihina oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di saat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keridhaan dan pahala yang besar baginya karena dia husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya, ada orang yang menyikapi musibah itu dengan cara yang salah. Dia menganggap sakit ini adalah kezhaliman, ketidak-adilan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa dia sakit sementara orang lain tidak sakit. Mereka tidak bisa mendapatkan kenikmatan, atau mengapa dia tidak bisa mendapatkan kenikmatan hidup, sementara tetangganya bisa mendapatkan banyak kenikmatan. Dia marah, dia tidak sabar dengan musibah yang dialaminya. Dia su’uzhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai hukumannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala justru murka kepadanya.
Saudaraku yang budiman,
Satu pertanyaan yang patut kita renungkan bersama. Ketika orang itu marah, atau jengkel dengan musibah yang dia derita, apakah dengan marahnya itu akan bisa menghilangkan musibahnya? Atau misalnya kita berada pada kondisi orang sakit. Ketika orang sakit itu merasa marah, atau jengkel dengan musibah sakitnya, apakah dengan itu dia bisa dengan cepat mendapat kesembuhan? Kita sangat yakin bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang marah ketika sakit, tidak ridha dengan sakit yang dideritanya, akan semakin memperparah sakitnya. Kenapa? Dia sakit dua kali. Dia sakit badannya, dan juga sakit batinnya. Sakit lahir dan batin.
Mari kita simak bagaimana kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit, sahabat Abu Said al Khudri radhiyallahu ‘anhu pernah mengunjungi beliau yang kala itu sedang sakit. Ketika Abu Said al Khudri meletakkan tangannya di badan beliau, ternyata Abu Said merasakan panas yang luar biasa. Abu Said berpikir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit parah, hingga badannya sepanas ini.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;
اِنَّ كَذَالِكَ يُشَدَّدُ علينا البَلَاء ويُضَاعَفُ لَنَا الأجْرُ
“Sesungguhnya kami para Nabi diberi ujian yang sangat berat, tujuannya agar kami mendapatkan pahala yang dilipat gandakan.”
Mendengar ini pun Abu Said al Khudri bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya di dunia ini?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْأَنْبِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ، لَقَدْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُبْتَلَى بِالْفَقْرِ حَتَّى مَا يَجِدُ إِلَّا الْعَبَاءَةَ يَحْتَويهَا فَيَلْبَسُهَا، وَيُبْتَلَى بِالْقُمَّلِ حَتَّى يَقْتُلَهُ، وَلَأَحَدُهُمْ كَانَ أَشَدَّ فَرَحًا بِالْبَلَاءِ مِنْكُمْ بِالْعَطَاءِ
“Ujian yang paling berat adalah para Nabi dan orang-orang shalih. Sungguh di antara mereka ada yang diuji dengan kemiskinan sampai harta yang tertinggal hanya pakaian yang dia pakai. Ada juga yang diuji dengan kutu di badan dan rambutnya sampai kutu itu membunuhnya. Sungguh, para Nabi dan orang-orang shalih itu mereka lebih berbangga dan berbahagia dengan ujian yang mereka derita melebihi kebanggaan kalian ketika kalian mendapatkan rezeki.” (HR. Abu Ya’la dalam al-Musnad 1045, al-baihaqi dalam Sunan al-Kubro (3/372), Hakim dalam al-Mustadrak 119)
Seperti itulah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang shalih. Mereka bisa berbahagia ketika sakit, bahkan lebih bahagia dibandingkan dengan manusia biasa ketika mendapatkan kenikmatan. Mereka lebih gembira dengan ujian yang dideritanya melebihi kebahagiaan orang yang baru saja mendapat harta. Karena mereka meyakini bahwa sakit adalah sumber pahala baginya.
Kita bisa simak kisah yang lain. Ketika sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pada usia tua beliau, beliau pernah datang ke Makkah dalam kondisi matanya sudah buta. Melihat kedatangan beliau, masyarakat kemudian berdatangan dan menyambutnya karena beliau seorang sahabat Nabi, seorang ulama. Dan mereka meyakini bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash adalah orang yang do’anya sangat mustajab seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka satu demi satu orang minta dido’akan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, sampai ada pemuda yang datang yang bernama Abdullah bin Sa’id. Beliau memperkenalkan diri kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, kemudian Abdullah bin Sa’id bertanya keheranan, “Wahai Pamanku, Anda mendo’akan banyak orang karena do’amu itu mustajab, namun mengapa Anda tidak berdo’a meminta kebaikan untuk diri Anda sendiri sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan penglihatan Anda? Mendengar ucapan ini, Sa’ad bin Abi Waqqash tersenyum kemudian beliau berkata, “Wahai anakku, aku menerima takdir Allah yang Allah berikan kepadaku itu lebih indah dibandingkan mataku.”
Beliau lebih bangga bisa bersabar menerima takdir daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala kembalikan penglihatannya. Itulah perasaan orang-orang shalih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para sahabatnya. Mereka bangga dengan sakitnya dan musibahnya yang mereka derita.
In syaa Allah kita pun bisa melakukannya. Berbahagia ketika mendapatkan musibah. Berbahagia ketika sakit. Tinggal saatnya kita sekarang mulai melatihnya. Semoga bermanfaat.
Komentar