Berikut ceramah singkat pembahasan “Ikut Syari’at Kenapa Melarat?” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullahu ta’ala.
Cambuk Hati : Ikut Syari’at Kenapa Melarat?
Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan, zaman dahulu ada beberapa orang Arab yang mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Setelah mereka pulang ke kampungnya, mereka akan memperhatikan apakah setelah masuk Islam, penghasilan mereka akan bertambah ataukah justru sebaliknya akan berkurang. Jika setelah masuk Islam mereka lebih sering mendapatkan hujan, panen mereka bertambah, ternak semakin banyak, kemudian banyak anak laki-laki yang lahir, maka mereka akan berkomentar, “Agama kita yang baru ini sangat bagus, teruslah beristiqomah untuk berpegang kepadanya.”
Sebaliknya, ketika mereka pulang justru mengalami musim paceklik, jarang hujan, ternak tidak menghasilkan banyak anak, maka mereka akan berkomentar; “Agama kita yang baru ini tidak ada sisi baiknya.”
Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut orang semacam ini di dalam Al Qur’an sebagai manusia yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di pinggiran. Menganggap Islam jika menguntungkan. Mereka mau taat jika dapat nikmat. Mau mengikuti syari’at hanya untuk mencari enaknya saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّـهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (pinggiran -tidak dengan keyakinan- ); maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” QS. Al Hajj : 11
Tentu saja kita tidak ingin seperti mereka. Namun coba kita akan lihat kenyataannya di lapangan. Terutama untuk kasus yang dialami oleh mereka yang masa lalunya berkecimpung dalam dunia kerja yang terlarang; perbankan, asuransi, atau semua unit kerja yang masih berhubungan dengan riba’. Mereka mengatakan, “Saya sudah berusaha meninggalkan yang haram. Mengapa rezeki saya masih seret? Saya sudah meninggalkan pekerjaan riba’, asuransi, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum memberi pengganti pekerjaan yang layak? Katanya dengan ikut ekonomi syari’at, rezeki akan semakin bertambah dan berkah. Mana buktinya?”
Kita bisa bandingkan cara berpikir yang seperti ini dengan cara berpikirnya orang Badui yang tadi disinggung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an. Mereka ikut Islam, dengan prinsip : Islam harus menguntungkan secara duniawi. Dia berpikir mengikuti aturan ekonomi syari’at haruslah menguntungkan. Ketika benar dia mendapatkan untung setelah meninggalkan riba’, dia akan semakin yakin bahwa ekonomi syari’at itu benar. Sebaliknya, ketika kenyataan tidak seperti yang dia bayangkan, dia kecewa lalu dia kembali kepada aktifitas bisnis (pekerjaan) yang rentan dengan dunia yang haram.
Seharusnya kita berpikir sebaliknya. Ketika Anda mengikuti aturan ekonomi syari’at, Anda harus siap dengan segala konsekuensi pahit yang akan Anda jumpai dalam aturan itu. Karena kita bisa memastikan ada beberapa aturan yang akan berbenturan dengan kepentingan kita selama kita berbisnis/ bekerja. Karena itu jangan sampai kita menilai kebenaran syari’at hanya berdasarkan standar dunia. Seharusnya kita berpikir mengikuti ekonomi syari’at bukan untuk mencari dunia. Tujuan utama kita mengikuti ekonomi syari’at adalah nanti kita bisa selamat di akhirat.
Komentar