Dua Hak Orang Tua

Dua Hak Orang Tua

Materi 71 – Tawadhu’ Terhadap Anak Kecil
Kultum Singkat Tentang Orang Tua Pemadam Kebakaran
Cara Berbakti Kepada Orang Tua Yang Sudah Meninggal

Tulisan tentang “Dua Hak Orang Tua” ini adalah catatan yang kami tulis dari ceramah singkat Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi Lc. (semoga Allah menjaga beliau).

Sebelumnya: Dalil Tentang Berbakti Kepada Orang Tua

Kajian Tentang Dua Hak Orang Tua

Menit ke-21:40 Hak kedua orang tua kita sangat besar. Karena adanya kita di atas muka bumi ini, kita bisa makan, bisa minum, menikmati dunia, bisa jalan kesana bisa jalan kemari, mata kita bisa melihat dunia, itu sebab yang pertama karena orang tua. Wujudnya kita sekarang ini adalah karena orang tua setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu di kesempatan ini, di pelajaran ini, kita harus paham tentang hak orang tua. Ada dua hak yang disebutkan di sini, yaitu:

1. Menggauli kedua orang tua dengan baik

Kalau kedua orang tua kita kafir, tetap harus menggauli keduanya dengan baik dan mendoakan keduanya agar mendapatkan hidayah dan terus membimbing mereka ke jalan hidayah. Jangan ditinggalkan.

Oleh karena itu merupakan kesalahan besar ketika ada seorang anak masuk Islam kemudian gurunya memisahkan anak tersebut dari orang tuanya. Ini tidak benar.

Surat Luqman ayat yang ke-14 dan ke-15 adalah pedoman kita untuk berbakti kepada kedua orang tua walaupun orang tua kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ ﴿١٤﴾

Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan terus bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan berterima kasih kepada kedua orang tuamu, dan kepada-Ku lah kalian dikembalikan.” (QS. Luqman[31]: 14)

Lalu pada ayat ke-15, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾

Apabila kedua orang tua Anda memaksa Anda untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang Anda tidak mengetahui ilmu tentangnya, maka jangan taati keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik, dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada Aku lah kalian kembali, dan Aku kabarkan kalian dengan apa yang pernah kalian kerjakan.” (QS. Luqman[31]: 15)

Ayat yang ke-15 sangat tegas menjelaskan kepada kita agar tetap berbakti kepada kedua orang tua walaupun orang tuanya kafir. Ayat ini -sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya- turun kepada seorang sahabat yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau katakan:

“Ayat ini turun kepadaku. Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibuku berkata: ‘Wahai Sa’ad, apa yang aku lihat ini? Engkau telah berbuat hal yang baru. Tinggalkanlah agama Anda ini, kalau tidak saya tidak akan makan dan tidak akan minum sampai aku mati kemudian engkau dicela dengan sebab ini dan engkau akan dipanggil: ‘Wahai orang yang membunuh ibunya.’”

Di zaman Jahiliyah dulu, masih ada sifat-sifat yang masih baik. Maka Nabi bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak,” hal ini karena ada akhlak Jahiliyah yang masih baik. Di antaranya adalah dermawan, keberanian mereka, juga berbakti kepada ibu.

Sangat aib sekali di zaman itu seorang laki-laki yang merdeka buruk kepada kedua orang tuanya. Sehingga ibunya mengancam Sa’ad bin Abi Waqqash dengan ancaman ini. Tentu hal ini sangat berat sekali bagi Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dari sini kita juga tahu bahwa kebiasaan mogok makan, mogok minum, mogok kerja, mogok bicara, ini semua adalah sunnahnya orang kafir.

Sa’ad bin Abi Waqqash berkata:

لا تفعلي يا أمه ، فإني لا أدع ديني هذا لشيء

“Jangan lakukan itu ibuku, aku tidak mungkin meninggalkan agamaku karena sebab apapun.”

Tentu berat sekali bagi Sa’ad bin Abi Waqqash memilih antara dua pilihan ini, yaitu antara berbakti kepada ibunya dengan agama yang dia peluk yang dia tahu ini haq dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dikisahkan oleh beliau bahwa selama tiga hari tiga malam ibunya tidak makan. Dihari pertama tidak makan tidak minum. Kemudian pagi harinya ibunya kepayahan. Dihari kedua juga tidak makan dan tidak minum. Dihari ketiga tidak makan tidak minum sampai berat sekali. Ketika itu maka Sa’ad bin Abi Waqqash mendatangi ibunya dan berkata:

يا أمه ، تعلمين والله لو كانت لك مائة نفس فخرجت نفسا نفسا ، ما تركت ديني هذا لشيء ، فإن شئت فكلي ، وإن شئت لا تأكلي

“Wahai ibuku, engkau tahu, Demi Allah seandainya engkau memiliki seratus nyawa kemudian keluar satu persatu dari tubuhmu, niscaya aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku karena apapun. Kalau engkau mau, makanlah. Kalau engkau tidak mau, maka boleh tidak makan.”

Ibunya ketika melihat kesungguhan Sa’ad bin Abi Waqqash, akhirnya ibunya makan.

Ini adalah pelajaran yang luar biasa. Bagaimana bakti Sa’ad bin Abi Waqqash kepada ibunya walaupun ibunya kafir.

Dan inilah pelajaran yang sangat besar yang kita bisa ambil dari para sahabat Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah berfirman:

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

“Kalau kedua orang tua Anda memaksa Anda untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang Anda tidak memiliki ilmu tentangnya, jangan taati keduanya.”

Tetapi kata Allah:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Tetapi pergauli keduanya dengan baik.”

Contoh tentang bagaimana orang-orang yang baik itu berbakti kepada kedua orang tua ini sangat banyak sekali. Di Al-Qur’an, di sunnah dan pelajaran kaum Salaf. Para Nabi adalah contoh yang paling baik. Seperti yang saya katakan, Nabi-Nabi itu di antara sifat mereka yang paling menonjol adalah berbakti kepada kedua orang tua.

Nabi Ibrahim misalnya. Bagaimana beliau berbicara dengan lemah-lembut kepada bapaknya, yaitu Azar. Hal ini Allah sebutkan dalam surat Maryam ayat 41-47. Bahkan panggilannya saja sangat indah, yakni: ..يَا أَبَتِ Ini adalah kalimat yang sangat sopan.

Allah berfirman kepadan Nabi Muhammad:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ﴿٤١﴾

Kisahkanlah (Wahai Muhammad) tentang Ibrahim di dalam Al-Qur’an, sesungguhnya Ibrahim itu Nabi yang sidiq dan seorang Nabi yang benar.”

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا ﴿٤٢﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا ﴿٤٣﴾ يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَـٰنِ عَصِيًّا ﴿٤٤﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَـٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا ﴿٤٥﴾

Ingatlah ketika Nabi Ibrahim berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, kenapa Anda menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat dan sama sekali tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun kepada Anda. Wahai bapakku, telah datang kepadaku sebuah ilmu yang tidak datang kepada Anda. Ikutilah aku, niscaya aku akan bimbing engkau kepada jalan yang lurus. Wahai bapakku, jangan menyembah setan, sesungguhnya setan itu sangat durhaka sama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku sangat khawatir engkau ditimpa adzab oleh Allah sehingga engkau menjadi temannya setan.’” (QS. Maryam[19]: 42-45)

Tapi kita lihat bagaimana jawaban dari bapaknya, kata bapaknya:

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا ﴿٤٦﴾

Apakah Anda ini benci terhadap sesembahan-sesembahanku Wahai Ibrahim? Kalau engkau tidak diam, niscaya aku akan rajam kamu dan tinggalkan aku beberapa lama.” (QS. Maryam[19]: 47)

Apakah Ibrahim marah? Jawabannya tidak. Justru Ibrahim mengeluarkan ucapan yang luar biasa.

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا ﴿٤٧﴾

Ibrahim berkata: ‘Keselamatan atasmu, aku akan mintakan ampun untukmu dari Rabbku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.’” (QS. Maryam[19]: 47)

Ini ketika belum datang larangan bahwa tidak boleh minta ampun kepada bapaknya yang kafir.

Kisah Abu Hurairah bersama ibunya

Suatu saat Abu Hurairah berkata:

أَدْعُو أُمِّي إِلَى الإِسْلاَمِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الإِسْلاَمِ فَتَأْبَى عَلَىَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Aku pernah berdakwah mengajak ibuku masuk Islam dan dia musyrik. Suatu hari aku mengajak/mendakwahinya untuk masuk Islam, ternyata dia mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, memperdengarkan ucapan yang aku tidak sukai. Aku pun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan menangis. Dan aku berkata: ‘Ya Rasulallah, aku mendakwahi ibuku untuk masuk Islam, dia enggan dan pada hari ini aku mendakwahinya dan ternyata dia menyebut tentang kau dengan sesuatu yang aku tidak suka. Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah berikan hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.’”

Di sini Abu Hurairah minta kepada Rasul agar mendoakan ibunya untuk masuk Islam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.”

فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّي خَشْفَ قَدَمَىَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ‏.‏ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ – فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتِ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Maka aku pun keluar dengan senang dengan doanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk ibuku. Ketika aku datang ke rumah, ternyata pintunya terbuka sedikit dan ibuku mendengar langkah kakiku.’ Dari dalam rumah ibunya berkata: ‘Tunggu di tempatmu Wahai Abu Hurairah.’ Kata Abu Hurairah: ‘Aku mendengar gemericiknya air. Ternyata ibunya mandi, memakai pakaian, kemudian memakai kerudung.’” Pintunya dibuka oleh ibunya kemudian berkata: ‘Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan RasulNya.’

Ketika mengetahui ibunya bersyahadat masuk Islam, Abu Hurairah langsung kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia menangis karena saking bahagianya. Abu Hurairah berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدِ اسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Wahai Rasulullah, ada kabar gembira, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerima dan mengabulkan doa Anda dan Allah telah memberi hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyanjungnya dan berkata dengan perkataan yang baik. (HR. Muslim)

Subhanallah. Kita bisa mengambil pelajaran dari hadits yang mulia ini bagaimana baktinya Abu Hurairah kepada ibunya walaupun ibunya kafir.

Lihatlah, ketika seseorang mendakwahi ibunya dengan lemah lembut, meskipun ibunya mencela kekasihnya Abu Hurairah. Kedua-duanya dicintai oleh Abu Hurairah. Di sini juga kita mengetahui keutamaan doa. Jangan sampai kita lupa dengan doa. Abu Hurairah tidak menyia-nyiakan berjumpa dengan Rasul untuk minta doa dan Rasul berdoa kepada Allah agar memberikan hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.

Ini menunjukkan tentang bakti anak kepada ibunya yang sangat besar.

Imam Bukhari menulis sebuah hadits di dalam shahihnya, juga Imam Muslim dalam shahihnya. Dari Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma, dia pernah berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وهي مُشْرِكَةٌ في عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

“Ibuku datang menemuiku dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia musyrik. Maka akupun minta fatwa dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, ibuku datang menemuiku dan dia merindukan agar aku berbakti dan berbuat baik kepadanya, apakah boleh saya menyambungnya?”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Iya, sambunglah ibumu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini pun menunjukkan bolehnya bahkan dianjurkan berbakti kepada kedua orang tua walaupun kafir. Boleh bersilaturahim kepada kedua orang tua walaupun mereka masih musyrik.
Asma’ meminta fatwa dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kata Rasulullah: “Sambunglah ibumu,” hal ini berbeda dengan fatwanya sebagian takfiriyyin yang ketika ada orang masuk Islam maka tidak boleh kumpul lagi dengan ibu dan bapaknya. Tentu ini tidak benar.

Boleh kita bersilaturahim dengan bapak atau ibu yang masih kafir. Bahkan dengan itu mudah-mudahan mereka masuk Islam.

2. Berbakti baik mereka masih hidup ataupun sudah meninggal

Baca di sini: Berbakti baik mereka masih hidup ataupun sudah meninggal

Video Dalil Tentang Dua Hak Orang Tua

Sumber video: Hak dalam Islam: Hak-Hak Orang Tua (Bagian ke-1) – (Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc.)

Demikian catatan “Dua Hak Orang Tua”. Mari turut menyebarkan catatan kajian ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: