Hakikat Hijrah Artinya Meninggalkan Perkara-Perkara Yang Dilarang Oleh Allah ini adalah catatan yang kami tulis dari video kajian Islam “Hakikat Hijrah” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafidzahullah.
Mukaddimah Kajian Hakikat Hijrah
Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang hakikat dari pada hijrah. Kita sering mendengar dizaman ini: “Si Fulan sudah berhijrah” yaitu sebagaimana yang kita pahami bahwa dia telah meninggalkan masa jahiliyahnya, meninggalkan kebiasaan buruknya, meninggalkan kemaksiatan yang pernah dia lakukan menuju pada taubat dan meniti jalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga timbullah istilah hijrah. Dan ini adalah istilah syar’i.
Kita ingin tahu sebenarnya hakikat hijrah itu apa?
Keutamaan Hijrah
Sesungguhnya hijrah adalah ibadah yang sangat mulia. Oleh karenanya Allah dalam banyak ayat menyebutkan tentang keutamaan berhijrah.
1. Besarnya pahala hijrah
Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 218 Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ أُولَـٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّـهِ ۚ وَاللَّـهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٢١٨﴾
“Sesungguhnya orang yang beriman dan orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah mereka itulah orang-orang yang berharap rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]: 218)
Yang menjadi perhatian kita di sini, dalam Al-Qur’an sering Allah menggandengkan antara iman dengan hijrah dengan jihad, berarti ini tiga perkara yang sangat mulia. Hijrah digandengkan dengan iman dan juga digandengkan dengan jihad fisabilillah. Dan ayat-ayat seperti ini sangat banyak.
Demikian juga dalam surat Al-Hajj ayat 58, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّـهُ رِزْقًا حَسَنًا ۚ وَإِنَّ اللَّـهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ ﴿٥٨﴾
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian terbunuh atau meninggal dunia maka sungguh Allah akan berikan mereka rezeki yang indah (yaitu surga). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Hajj[22]: 58)
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda tentang beribadah:
الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Beribadah di masa fitnah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
Nabi mengiming-iming dengan pahala hijrah yang menunjukkan bahwasannya pahala hijrah itu besar.
2. Lebih utama menjadi imam
Kemudian juga di antaranya adalah orang yang lebih dahulu berhijrah lebih utama untuk menjadi imam. Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
“Yang jadi imam di antara kalian adalah orang yang paling mahir dalam qiraah.”
Kemudian Nabi mengatakan:
فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً …
“Kalau mereka sama dalam qiraah Al-Qur’an, maka yang lebih utama menjadi imam adalah yang duluan berhijrah.”
3. Menghapuskan dosa
Seperti dalam hadits yang masyhur dari ‘Amr bin Ash Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu, ‘Amr bin Ash ketika masuk Islam dia pun datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، ابْسُطْ يَدَكَ لِأُبَايِعَكَ
“Ya Rasulullah, bentangkan tanganmu, aku ingin membaiat engkau.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membentangkan tangannya untuk dibaiat oleh ‘Amr bin Ash Radhiyallahu ‘Anhu yang dahulunya adalah tokoh kaum musyrikin, juru bicaranya kaum musyrikin, pembesar orang-orang Quraisy dari kaum musyrikin yang dia banyak banyak melakukan kesalahan kepada kaum muslimin kemudian dia masuk Islam. Sehingga dia sadar dosa-dosanya banyak. Ketika Nabi membentangkan tangannya untuk dibaiat, maka ‘Amr bin Ash tidak jadi berbaiat kepada Nabi, dia tarik tangannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
مَا لَكَ يَا عَمْرُو ؟
“Kenapa kau tidak membaiat wahai ‘Amr bin Ash?”
Kata ‘Amr bin Ash:
أَرَدْتُ أَنْ أَشْتَرِطَ
“Ya Rasulullah, aku ingin baiat tapi aku punya syarat.”
Maka kemudian Nabi mempersilahkan syaratnya. Kata ‘Amr:
يُغْفَرَ لِي
“Aku berharap agar dosa-dosaku diampuni.”
Dia sadar dosa-dosanya dulu banyak dan dia ingin masuk Islam dengan syarat agar dosa-dosanya diampuni. Apa kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
أَمَا عَلِمْتَ يَا عَمْرُو أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ
“Tidakkah kau tahu wahai ‘Amr, sesungguhnya Islam menghancurkan dosa-dosa sebelumnya.”
وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا
“Dan sesungguhnya hijrah itu akan menghapuskan dosa-dosa sebelumnya.”
وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ
“Dan sesungguhnya haji itu akan menghapuskan dosa-dosa sebelumnya.”
Di sini perhatikan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggandengkan antara Islam dengan hijrah dengan haji. Karena ini tiga amalan yang luar biasa yang diantaranya menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.
Tentunya faidah-faidah hijrah sangat banyak, tapi kita sebutkan sebagian saja.
Apa itu hijrah dalam Islam?
Hijrah secara bahasa artinya الترك (meninggalkan). Seperti:
… وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا ﴿١٠﴾
“Tinggalkan mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil[73]: 10)
Hijrah secara istilah adalah meninggalkan suatu tempat ke tempat yang lain.
Macam-macam hijrah
1. Hijrah dengan anggota badan
Ini sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu berhijrah dari satu tempat menuju ke tempat yang lain. Hijrah ini terbagi mencari beberapa, diantaranya:
Hijrah dari negeri kufur atau area perang ke negeri Islam
Contohnya adalah hijrahnya sahabat dari Mekah ke Madinah
Hijrah dari negeri yang menindas kepada negeri yang aman meskipun dua-duanya negeri kufur
Contohnya adalah hijrahnya sahabat dari Mekah ke Habasyah. Kita tahu sebelum terjadi hijrah dari Mekah ke Madinah (Madinah negeri Islam, Mekah negeri perang dan negeri kufur), sebelumnya telah terjadi hijrah dua kali, yaitu hijrah ke Habasyah yang pertama dan hijrah ke Habasyah yang kedua. Kita tahu bahwasannya negeri habasyah adalah negeri kufur juga, negeri nashara. Di situ ada Raja Najasyi -yang waktu itu nashara kemudian di masuk Islam- tetapi kenapa sahabat disuruh oleh Nabi untuk berhijrah oleh Nabi ke Habasyah? Karena di situ adalah negeri yang aman. Sehingga para sahabat bisa bebas beribadah dan Raja Najasyi membiarkan mereka untuk ibadah.
Maka ini adalah menempuh kemudzaratan yang lebih ringan dengan meninggalkan kemudzaratan yang lebih besar. Kalau mereka di Mekah, mereka susah beribadah. Ketika mereka ke negeri Habasyah, meskipun jauh dari kampung, bahasa yang berbeda, mereka tidak berbicara dengan bahasa Arab, lokasi lebih miskin ketika itu, sedangkan Mekah adalah pusat perdagangan. Mereka ketika habis yang lebih miskin kota adalah Mekkah adalah Ummul Qur’an pusat kota pusat perdagangan. Maka mereka berpindah dari Mekah menuju ke negeri yang lebih miskin dalam rangka agar bisa beribadah lebih nyaman di negeri Habasyah.
Hijrah dari lokasi yang penuh bid’ah ke lokasi yang mengagungkan sunnah
Pembagian ini disebutkan oleh ulama Malikiyah seperti diriwayatkan oleh Ibnu Qashim, dia mendengar Imam Malik Rahimahullah berkata bahwasannya jangan kau tinggal di dalam lokasi yang di situ ada pencelaan terhadap sahabat.
Contoh seperti hijrahnya sebagian kaum muslimin dari negeri Syiah ke negeri sunnah. Karena setiap hari di sana dia mendengan misalnya para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mereka adalah dapat pejuang-pejuang Islam dicaci-maki, maka lebih baik dia meninggalkan tempat tersebut menuju ke tempat yang diagungkan sunnah dan dimuliakan para sahabat, Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu dimuliakan, Umar, Utsman dan yang lainnya. Maka ini adalah salah satu bentuk hijrah yang disebutkan oleh ulama Malikiyah.
Hijrah dari Lokasi maksiat ke lokasi taat
Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an:
…وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ﴿٦٨﴾
“…kalau engkau sedang melihat orang-orang sedang memperolok ayat-ayat Allah (diantaranya bermaksiat), maka tinggalkanlah mereka. Namun jika engkau dilupakan oleh setan, maka jangan duduk lagi bersama mereka setelah kau ingat janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang dzlaim.” (QS. Al-An’am[6]: 68)
Allah mengingkari orang-orang yang bersamaan dengan para pelaku maksiat, mereka tidak bisa mengingkari dan dibiarkan apalagi ikut serta bersama mereka, maka sebaiknya mereka berhijrah.
Contoh tentang hijrah ini adalah hijrahnya pembunuh 100 nyawa yang kisahnya Mansyur. Kisah ini adalah tentang seorang yang penuh dengan kemaksiatan bahkan dia sudah membunuh 99 orang, setelah itu kemudian tiba-tiba dia ingin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkadang demikian, seorang sudah bergelimang dengan kemaksiatan namun hati kecilnya ingin bertaubat. Maka diapun bertanya tentang siapa orang yang paling berilmu. Maka kemudian ditujukanlah kepada ahli ibadah namun tidak berilmu. Maka dia laporkan kepada ahli ibadah tersebut: “sesungguhnya saya sudah membunuh 99 nyawa, apakah mungkin saya diterima taubatnya?”
Maka kemudian orang ahli ibadah tadi karena tidak punya ilmu dia berfatwa dengan perasaan. Dia mengatakan: “Allah tidak akan menerima taubatmu.” Maka pembunuh 99 ini emosi maka dia penggal kepala ahli ibadah tadi, lengkaplah dia membunuh 100 orang. Ini dosa bukan dosa kecil, tapi dosa besar.
Maka dia masih terus ingin bertaubat. Dia tanya siapa orang yang paling alim di atas muka bumi? Ditunjukkan kepada seorang alim di atas muka bumi ini. Kemudian dia berkata: “Wahai Fulan, Saya telah membunuh 100 nyawa, apakah Allah masih bisa menerima taubatku?”
Orang berilmu ini menjelaskan: “Bisa, tapi pergilah engkau ke tempat lain dan tinggalkanlah kampungmu yang di situ melakukan kemaksiatan.” Maka dia disuruh untuk meninggalkan kampungnya yang dia pernah melakukan kemaksiatan, dia pernah melakukan pembunuhan atau hal-hal yang bisa membuat dia bernostalgia dan terpancing untuk melakukan maksiat kembali, maka disuruh tinggalkan untuk berhijrah ke tempat yang orang penuh dengan ketaatan agar dia bisa beribadah dengan orang-orang yang melaksanakan ketaatan tersebut.
Maka ini dalil bahwasanya boleh seorang berhijrah dari tempat yang disitu banyak kemaksiatan menuju tempat lokasi yang dia bisa aman nyaman untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hijrah karena meyelamatkan nyawa
Misalnya kita disitu terncam dengan pembunuhan. Bahkan ini terjadi di daerah kaum muslimin. Boleh seorang pergi meninggalkan suatu tempat dengan niat karena Allah dalam rangka menyelamatkan diri agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Contohnya adalah hijrahnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam. Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ…
“Nabi Musa pun pergi meninggalkan kota Mesir menuju kota Madyan dalam kondisi takut dan khawatir dia akan dikejar oleh Firaun dan bala tentaranya...” (QS. Al-Qashash[28]: 21)
Demikian juga hijrahnya Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Dimana dia mengatakan:
…إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّي…
“…Aku akan berhijrah kepada Rabbku…” (QS. Al-Ankabut[29]: 26)
Kenapa? Karena dia ingin dibunuh, ditangkap kemudian dibakar oleh kaumnya kemudian ayahnya pun mengatakan:
…لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ …
“…kalau kau tidak berhenti mendakwahiku wahai Ibrahim, aku akan merajam engkau...” (QS. Maryam[19]: 46)
Sehingga Ibrahim mengatakan إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّي yang dalam ayat yang lain mengatakan:
إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Aku akan pergi berhijrah menuju Rabbku.” (QS. Ash-Shaffat[37]: 99)
Daripada kemudian tinggal di tempat tersebut kemudian ternyata mendatangkan bahaya bagi dirinya.
2. Hijrah dengan hati atau hijrah batin
Kata Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala bahwa hijrah batin ini berkaitan dengan hati. Yaitu berhijrah:
- dari “ketaatan kepada setan” menuju ke “ketaatan kepada Allah”,
- dari tertawan hawa nafsu menuju kepada Allah,
- dari takut berharap dan tawakal kepada selain Allah kepada Allah.
Inilah yang disebut dengan hijrah batin atau hijrah dengan hati atau hijrah maknawi. Adapun dalil akan hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muslim yang sejati adalah orang-orang Islam yang lain selamat dari gangguan lisannya dan gangguan tangannya. Dan muhajir yang sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Bukhari)
Ini hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salalm dan kebanyakan istilah hijrah zaman sekarang adalah pasnya dengan hal ini. Karena orang yang berhijrah mungkin dulu pemain gitar, pemain musik dan yang lainnya. Maka dikatakan dia sudah berhijrah. Dulu mungkin suka dugem (dunia gemerlap), pelaku riba, mereka kemudian berhijrah. Inilah istilah hijrah. Dia sudah meninggalkan perkara-perkara yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka diantara bentuknya tadi kita sebutkan dari ketaatan kepada setan menuju ketaatan kepada Allah. Dari tertawan oleh hawa nafsu menuju kepada kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’la. Kemudian dari berharap atau tawakal kepada selain Allah menuju kepada takut dan berharap dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang disebut dengan hijrah batin.
Kaidah Penting Tentang Hijrah
1. Kedua jenis hijrah ini merupakan ibadah yang agung
Jangan disangka bahwasanya hijrah dengan jasad saja yang agung. Terkadang kita berhijrah dengan model pertama, terkadang kita berhijrah dengan model kedua, terkadang kita menggabungkan antara pertama dan kedua. Hijriah dengan badan dan hijriah juga sekalian dengan hati. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Dan orang yang hijrah yang sesungguhnya adalah yang meninggalkan apa yang Allah larang.”
Ini hijrah yang sesungguhnya kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu percuma kalau seseorang pindah badan dari negeri kufur ke negeri Islam ternyata dia tetap melanggar perintah Allah. Percuma dia berpindah dari lokasi maksiat ke lokasi taat tapi dia juga bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagian orang mungkin pindah dari satu kota kemudian pergi ke kota Madinah ternyata di Madinah menjadi kepala geng, menipu orang, tentu ini percuma.
Maka kita katakan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah yang meninggalkan apa yang Allah larang.
2. Harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah, bukan riya’ dan bukan ingin pengakuan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam haditsnya:
مَنْ تَرَكَ شَيْئًا عَوَّضَهُ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan ganti yang lebih baik.”
Perhatikan di sini Nabi mengatakan “siapa meninggalkan sesuatu karena Allah”. Jadi ketika kita berhijrah -misalnya kita meninggalkan musik-musik, mungkin minum khamr, mungkin berzina atau maksiat yang lainnya- kalau kita meninggalkan sesuatu harus karena Allah, bukan karena ingin pengakuan dari orang.
Misalnya saya meninggalkan praktik riba, bukan karena teman-teman saya semua sudah meninggalkan, saya tidak enak sendirian di sini, malu. Itu berarti saya meninggalkan riba bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Teman-teman saya semua sudah ngaji, tinggal saya yang belum, akhirnya saya tidak enak, itu berarti meninggalkan sesuatu bukan karena Allah tapi karena manusia. Atau saya meninggalkan morfin, khamr, rokok, musik, bukan karena Allah tapi karena ingin diakui. Saya meninggalkan rokok karena ini musim corona, kalau merokok bahaya, ini bukan hijrah namanya. Dia meninggalkan rokok karena selamat, bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Atau misalnya saya meninggalkan zina supaya tidak terkena Aids, ini berarti bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka syaratnya harus karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau tidak maka ibadah sebesar apapun tidak ada nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Contoh yang lain, hadits yang masyhur dalam hadits pertama dari Arba’in An-Nawawiyah, kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (mendapat pahala). Siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka dia dapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Semua amal shalih (sebesar apapun) kalau bukan karena Allah tidak ada pahalanya. Mau haji, umroh, mau sedekah, mau hijrah, kalau tidak karena Allah maka tidak ada pahalanya. Harus karena Allah. Maka saya ingatkan barangsiapa berhijrah maka dia harus berhijrah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Tujuannya agar bisa beribadah
Kaidah dalam Fathul Bari bahwa kenapa kita disyariatkan hijrah dengan fisik, diantaranya agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ternyata kita sulit untuk beribadah kepada Allah, maka kita harus berhijrah.
Namun kalau ternyata kita bisa beribadah -meskipun di negeri kafir- kepada Allah dengan nyaman tanpa ada intimidasi dan kita bisa menjalankan syariat Allah, maka tidak mengapa. Ada kaidah yang disebutkan oleh ulama Syafi’iyyah bahwasannya:
الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
“Hukum itu berputar bersama sebabnya”
Jadi kalau ternyata seseorang di negeri kafir bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak mengapa dia tinggal di situ dengan syarat dia bisa menjaga diri.
Saya bacakan perkataan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau berkata menyebutkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
كَانَ المُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ
“Kaum mukminin berhijrah karena mereka ingin menyelamatkan agamanya.”
Ini isyarat bahwasanya disyariatkannya hijrah dan sebabnya adalah:
وأن سببها خوف الفتنة
“Dan sebabnya adalah karena takut terkena fitnah, dimana agama mereka bisa buyar gara-gara bertahan di negeri yang penuh dengan kekufuran tersebut.”
والحكم يدور مع علته
“Maka hukum berjalan bersama dengan sebabnya.”
Lalu kata Ibnu Hajar Rahimahullah:
فمقتضاه أن من قدر على عبادة الله في أي موضع اتفق لم تجب عليه الهجرة منه
“Maka konsekuensinya barangsiapa yang mampu beribadah kepada Allah di tempat mana saja yang dia tempati, maka tidak wajib untuk hijrah dari tempat tersebut.”
وإلا وجبت
“Kalau tidak mampu beribadah, maka wajib.”
Dari sana, Al-Imam Al-Mawardi berkata:
إذا قدر على إظهار الدين في بلد من بلاد الكفر فقد صارت البلد به دار إسلام ، فالإقامة فيها أفضل من الرحلة منها لما يترجى من دخول غيره في الإسلام
“Kalau seorang tinggal di negeri kafir ternyata dia bisa menampakkan syiar Islam dan dia tidak diintimidasi, tidak dibunuh dan tidak dimacam-macamin, maka lebih baik dia tinggal di situ agar diharapkan orang lain bisa masuk Islam kedalamnya.”
Dan contoh nyata seperti kisah para sahabat yang berhijrah ke negeri Habasyah. Mereka hijrah ke negeri Habasyah yang padahal itu negeri kafir tapi mereka bisa beribadah kepada Allah di sana. Dan tentunya mereka berdakwah di sana. Diantara buktinya Raja Najasyi masuk Islam. Berarti para sahabat tinggal di sana mereka tidak berdiam saja, tapi mereka juga berdakwah dan mereka bisa beribadah dengan nyaman.
Oleh karenanya saya sering ditanya: “Ustadz, bagaimana hukum tinggal di negeri kafir?”
Saya bilang: Jawabnya bahwa hukum asal seorang jangan tinggal di sana kecuali mereka penduduk di sana. Kalau negeri kafir tersebut ternyata mengintimidasi, melarang menjalankan syariat (misalnya melarang jilbab, melarang shalat jumat, melarang shalat fardu dan yang lainnya), maka wajib untuk berhijrah. Jika tidak hijrah maka bisa jadi dia berdosa dan bahkan dosa besar. Allah berfirman mencela orang-orang yang mereka terdzalimi dan mereka tidak bisa beribadah namun mereka tidak mau berhijrah. Kata Allah:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ…
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat-malaikat maut dalam kondisi berbuat dzalim kepada diri mereka...”
… قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ …
“Dikatakan kepada mereka: ‘Bagaimana kalian, kenapa kalian tidak berhijrah?’”
…قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ …
“Kami dahulu dalam kondisi lemah di daerah kami” Sehingga mereka tidak bisa beribadah kepada Allah dengan baik kemudian mereka meninggal dunia.
…قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّـهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا…
“Bukankah bumi Allah luas? Kau bisa berhijrah ke tempat yang lain, kenapa harus bertahan di situ?”
… فَأُولَـٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ…
“Maka tempat kembali mereka adalah neraka jahannam.”
…وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴿٩٧﴾
“Itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا ﴿٩٨﴾
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang mereka tidak bisa berhijrah meninggalkan negeri mereka dan mereka tidak menemukan jalan untuk bisa berhijrah.”
فَأُولَـٰئِكَ عَسَى اللَّـهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ…
“Mereka itulah orang-orang yang semoga Allah mengampuni mereka…”
…وَكَانَ اللَّـهُ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿٩٩﴾
“…dan Allah maha pengampun dan maha pemaaf.”
Jadi kalau tinggal di satu negara kafir dan negara kafir tersebut mengintimidasi, tidak bisa shalat, tidak bisa menjalankan syariat, jilbab harus dibuka, siapa yang pakai jilbab kemudian dipenjara dibunuh dan yang lainnya, maka wajib untuk berhijrah kecuali tidak mampu. Kalau bisa untuk berhijrah namun tidak berhijrah, maka berdosa. Kalau tidak mampu kemudian bertahan maka tidak jadi masalah, Allah mengampuni.
Tetapi kalau ternyata negara kafir tersebut tidak mengintimidasi, seorang bisa menjalankan ibadah Islam dengan baik, maka tetap waspada. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang hidup di tengah-tengah orang musyrikin.” (HR. Abu Dawud)
Kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri dari orang seperti ini? Karena sulit menjalankan ibadah dengan baik di tengah-tengah negeri kaum musyrikin. Kecuali kondisinya sudah membaik seperti kita dengar di London atau di Inggris sudah ada beberapa tempat yang MasyaAllah Islam mulai berkembang, seperti sebagian daerah di Australia, misalnya. Tapi saya katakan hukum asalnya kita berusaha untuk tinggal di negeri Islam yang aman, nyaman, kita bisa beribadah. Karena kalau kita bisa mengerti agama, terkadang anak-anak kita tidak bisa mengerti agama. Dan ini saya menghadapi kenyataan ketika saya pergi ke negara-negara tersebut.
Sampai saya sering sampaikan kisah ada seorang ikhwan yang sudah ngaji kemudian anaknya sekolah di suatu sekolah di Eropa sana, anaknya SMA. Anaknya mengeluh kepada bapaknya, dia mengatakan: “Ayah, semua orang bully saya karena saya satu-satunya yang belum berzina.”
Dan ini repot seperti ini. Kalau kondisi seperti ini, parah, dimana kita mungkin bisa menjaga diri, kita mungkin bisa berdakwah, tapi kalau anak kita siapa yang menjamin keselamatannya, maka seorang berusaha untuk menyelamatkan agama dirinya dan agama anak-anaknya.
Contoh lagi, saya pernah pergi ke negara kafir yang lain. Ketika saya datang pada acara Ramadhan, kemudian kumpul di rumah kawan. Saya dapati anak-anak mereka ada yang tidak pakai jilbab, ada yang kemudian cukur rambutnya botak kemudian diatasnya tinggal sedikit seperti pohon kurma di atas kepalanya dan dia cuek-cuek aja, satunya tidak puasa karena yang lain juga tidak puasa. Sehingga dianggap remeh karena dia bergaul sama orang-orang kafir yang tidak mengenal adab dan tidak mengenal agama. Maka seorang waspada untuk tinggal di negara kafir.
Tapi seandainya misalnya, sebagian kawan MasyaAllah saya tahu mereka tinggal di negara kafir tapi mereka berdakwah, mereka bikin masjid, kemudian mereka bikin pengajian, banyak orang mulai masuk Islam, mudah-mudahan orang seperti ini lebih baik tinggal di sana sebagaimana perkataan Al-Mawardi Rahimahullahu Ta’ala. Diharapkan orang bisa masuk Islam dalam kondisi demikian.
Penutup Kajian Hakikat Hijrah
Inilah para pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang bisa saya sampaikan tentang masalah hakikat hijrah. Maka saya katakan kepada ikhwan-ikhwan yang berhijrah, ini adalah ibadah yang agung, pertahankan ibadah tersebut.
Kalau anda baru saja berhijrah, maka anda perlu pertahanan benteng yang kuat. Diantaranya membentuk komunitas yang baik. Seperti tadi kita ceritakan tentang kisah pembunuh 100 nyawa, maka disuruh untuk berpindah ke komunitas yang baru. Karena kalau orang baru berhijrah, setan sangat sedih melihat dia berhijrah. Maka setan akan menguntiti dia agar dia bisa kembali ke masa lalunya.
Maka segala perkara yang bisa membuat kita nostalgia dengan “sweet memory” atau “pahit memori” atau “hitam memori” dan yang lainnya, maka kita jauhi. Karena kita tidak tahu iman kita kapan sedang naik dan kapan sedang turun sementara setan menanti-nanti untuk mencari kelemahan kita untuk mengembalikan lagi kepada masa lalu yang buruk. Dan betapa banyak orang-orang sudah berhijrah akhirnya kembali lagi.
Maka saya ingatkan, seorang berhijrah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian cari komunitas, InsyaAllah dia meninggalkan komunitas lama, Allah akan memberikan komunitas yang lebih baik.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Ini saja yang bisa saya sampaikan kepada para pemirsa demikian juga para dokter yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Video Kajian Hakikat Hijrah
Sumber Video: Firanda Andirja – Hakikat Hijrah
Mari turut menyebarkan kajian Hakikat Hijrah ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Barakallahu fiikum..
Komentar