Khutbah Jumat: Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat

Khutbah Jumat: Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat

Penjelasan Ibadah Khauf, Raja’, Tawakal, Ar-Raghbah, Ar-Rahbah, Al-Khusyu’
Ketika Doa Tidak Terkabul
Khutbah Jumat: Ilmu Agama dan Ilmu Dunia

Berikut ini transkrip khutbah jumat tentang “Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat” yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat: Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat

Khutbah Jumat Pertama

Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan,

Pertama, kita layak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hidayah dan kemudahan yang Dia berikan kepada kita. Sehingga kita bisa melaksanakan ibadah shalat Jum’at di kesempatan siang hari ini dalam kondisi serba baik. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima semua ibadah kita sebagai amal shalih yang ada hasilnya kelak pada hari kiamat.

Konsekuensi Kalimat Syahadat

Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan,

Kita memahami adanya dua kalimat syahadat. Isinya adalah dua pasangan ikrar atas keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ikrar atas status Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai utusan-Nya.

Kita mengucapkan أشهد أن لا إله إلا الله bentuknya adalah ikrar untuk menyatakan bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan selain-Nya tidak berhak disembah.

Dan kita mengucapkan وأشهد أن محمدا رسول الله kita bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai ikrar bahwa dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita harus mengikuti petunjuk beliau, utusan-Nya, panutan kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Karena tidak mungkin seorang hamba bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan baik tanpa bimbingan dari utusan-Nya. Jika manusia dalam beribadah dibebaskan untuk melakukannya sesuai dengan cara mereka sendiri-sendiri, berarti sebenarnya mereka tidak butuh Nabi.

Adanya Nabi sebagai konsekuensi bahwa mereka perlu penjelasan tentang bagaimana cara beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar.

Karena itulah, menaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sama dengan menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab menaati utusan sama dengan menaati yang mengutus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa'[4]: 80)

Bimbingan Untuk Manusia

Dan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita diperintahkan untuk mengikuti sesuai dengan petunjuk yang Dia turunkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raf[7]: 3)

Sehingga dengan bimbingan inilah manusia ketika beribadah akan menghasilkan pahala yang maksimal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terima.

Sebaliknya, ketika orang itu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi tanpa didasari panduan, tentu potensi kerusakannya lebih besar dibanding potensi kebaikannya.

Karena itu para ulama mengatakan, “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu, maka potensi mudharatnya lebih dominan dibandingkan dengan potensi manfaatnya.”

Salah satunya adalah orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau melakukan perbuatan yang dia sangka bahwasanya itu adalah bagian dari ketaatan kepada-Nya, tapi justru sebaliknya. Justru menjadi penyebab orang lain berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ada orang yang melakukan perbuatan yang dia sangka itu sebagai ketaatan dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun hakikatnya itu adalah perbuatan yang memicu perbuatan maksiat kepada-Nya.

Sikap Tanpa Ilmu

Salah satu contohnya adalah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al An’am, yaitu sikap sebagian orang yang mencela tuhan-tuhan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keyakinan bahwasanya ini adalah salah satu bentuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Namun ternyata sikap semacam ini memicu orang musyrikin untuk mencela Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am[6]: 108)

Sehingga ada sebuah perbuatan yang bisa jadi dianggap oleh pelakunya sebagai amalan yang bisa mendatangkan pahala. Namun ketika itu dilakukan dengan cara yang salah, justru hasilnya adalah sebaliknya. Bukannya mendatangkan pahala malah mendatangkan dosa dan perbuatan maksiat.

Saya akan membacakan keterangan yang Ibnu Aqil ucapkan dalam kitabnya Al Funuun. Peringatan yang beliau sampaikan; ada perbuatan yang menurut orang yang bodoh agama dianggap sebagai amal shalih, namun bagi para ulama hal tersebut adalah tindakan maksiat. Menurut orang yang tidak paham agama itu dianggap sebagai ibadah, namun bagi para ahli ilmu itu adalah tindakan durhaka.

Ibnu Aqil menyebutkan, “Betapa banyak adanya ucapan dan perbuatan yang menurut masyarakat awam yang tidak paham agama dianggap sebagai bentuk ketaatan, namun bagi para ulama itu adalah perbuatan maksiat dan semakin menjauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satu contohnya adalah ada orang yang mengeraskan bacaan Al-Qur’an di tengah kesibukan manusia di dalam pasar sehingga tidak ada satupun orang yang mempedulikannya. Dan itu pada hakikatnya adalah pelecehan terhadap Al-Qur’an.”

Mungkin bisa jadi bagi orang ini yang membaca Al-Qur’an di tengah keramaian, di pasar, di tengah kesibukan aktifitas masyarakat, dia berharap pahala dengan ibadah membaca Al-Qur’an tersebut. Tapi bagi para ulama, hal tersebut adalah bentuk pelecehan terhadap Al-Qur’an, karena dia membaca di tengah orang-orang yang tidak mau mendengarkan Al-Qur’an.

Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf[7]: 204)

Adab Dengan Al-Qur’an

Kasus yang sama juga pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Para sahabat melakukan qiyamullail di masjid Nabawi. Ada orang yang shalat sendirian, ada yang berjamaah lima orang, dan mereka semua membaca Al-Qur’an dengan saling mengeraskan suara. Mereka berlomba-lomba mengeraskan bacaan Al-Qur’an ketika sedang shalat.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dan beliau memberikan peringatan kepada mereka,

أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rabb kalian. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca Al-Qur’an” atau beliau mengatakan, “atau dalam shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 1332)[1]

Bisa jadi maksud dari orang ini mengeraskan bacaan adalah agar bisa lebih serius, tidak mengantuk, atau pun membangunkan orang yang tidur. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.

Dalam sebuah perjalanan, ketika melewati tempat yang menanjak kita dianjurkan membaca takbir الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر. Dan ketika melewati tempat yang menurun, mengucapkan tasbih سبحان الله, سبحان الله, سبحان الله. Praktik semacam ini para sahabat lakukan. Di tengah praktik tersebut, para sahabat mengucapkannya dengan suara yang keras. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari)

Jamaah yang Allah muliakan,

Jadi terkadang ada sebuah perbuatan yang mereka anggap sebagai sebuah ketaatan, namun sebenarnya dalam pandangan syariat kita pada hakikatnya merupakan sebuah kemaksiatan.

Karena itulah, iringi setiap amal shalih yang kita lakukan dengan ilmu dan panduan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian sebagai khutbah yang pertama, semoga bermanfaat.

Khutbah Jumat Kedua

Adab Beribadah

Kaum muslimin yang Allah muliakan,

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan adab ketika seseorang beribadah agar ibadah yang dia lakukan tidak sampai mengganggu orang lain. Salah satunya adalah ketika shalat. Kita memahami bahwasanya jalan di depan orang yang sedang shalat merupakan dosa besar. Seperti apa ukuran dosa besarnya?

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan,

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun (atau minimal 40 hari) itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)[3]

Siapakah di antara kita yang mau mendapat bayaran dengan uang sebesar 5 atau 10 juta rupiah tapi dengan syarat harus berdiri diam selama 40 hari? Saya yakin tidak ada satu pun orang yang mau karena kita tidak kuat untuk berdiri selama 40 hari.

Jangankan 40 hari. Petugas keamanan yang dia berdiri selama 8 jam saja pun harus ada istirahatnya. Apa lagi selama 40 hari.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan gambaran, andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui betapa besar ancamannya, niscaya dia akan memilih untuk berdiri selama 40 hari dari pada harus melewati orang tersebut karena saking besar dan menakutkannya ancaman itu.

Perhatikan Sekelilingmu

Maka dari itu, ketika Anda selesai mengerjakan shalat wajib lalu ingin meninggalkan masjid, perhatikanlah jangan sampai melewati orang yang sedang shalat. Lewati saja orang yang sedang berdzikir karena melewati orang yang sedang duduk berdizikir atau membaca Al-Qur’an itu boleh menurut ijma’ kaum muslimin. Namun melewati orang yang sedang shalat apapun posisinya, baik dia sedang rukuk, i’tidak, apa lagi ketika sujud, hukumnya haram berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan selanjutnya, mengingat akan hal ini, maka jangan sampai kita menjadi penyebab orang lain lewat di depan kita yang sedang shalat. Bentuknya bagaimana? Shalatlah di depan pintu atau di depan sesuatu yang tidak mungkin orang melewati depan kita. Hindari tempat-tempat yang sensitif untuk orang lain lewati sehingga menyebabkan orang lain berbuat maksiat karena kesalahan yang kita lakukan.

Masih banyak ruangan dan tempat yang bisa kita gunakan untuk shalat sehingga tidak harus secara sengaja mengambil tempat yang seharusnya tempat tersebut adalah tempat untuk orang lewat. Maka Anda bisa posisikan shalat Anda di tempat yang aman.

Dan perlu untuk diperhatikan, bahwa orang yang sedang shalat lalu ada orang lain yang lewat di depannya kemudian dia membiarkannya saja, maka pahala shalatnya berkurang sejumlah orang yang melewatinya. Semakin banyak yang melewatinya, maka bisa jadi ia kehilangan banyak pahala.

Oleh karena itu, ketika ada orang lain yang lewat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kita menahannya sebagai bentuk ta’awun ‘alal birri wattaqwa, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa agar orang itu tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.

Ibadah Yang Sifatnya Pribadi

Demikian pula ketika seorang hamba sedang melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni membaca Al-Qur’an di masjid. Maka Anda tidak perlu menggunakan suara yang keras karena ruang dengar tersebut milik umum. Siapa pun memiliki hak untuk mendapatkan ketenangan. Sehingga kalau di masjid, orang yang sedang shalat itu butuh tenang.

Secara logika, orang beribadah ketika membaca Al-Qur’an merupakan ibadah yang sifatnya pribadi. Anda membaca Al-Qur’an untuk diri sendiri. Berbeda dengan khutbah. Khutbah itu memang penyampaianya untuk umum. Maka untuk membaca Al-Qur’an bisakah Anda gunakan suara yang pelan dan tidak perlu menggunakan pengeras suara? Karena ini adalah waktunya orang untuk mengerjakan shalat sunnah dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Itulah salah satu bentuk pengamalan dari apa yang tadi kita sampaikan. Ada orang yang menganggap bahwasanya itu adalah bagian dari ketaatan, namun bagi para ulama bisa jadi itu adalah perbuatan kemaksiatan.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bimbingan agar setiap amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan panduan dan panutan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikan.

Dan kita berharap semoga amal ibadah kita Allah Subhanahu wa Ta’ala terima yang ada hasilnya kelak di akhirat.

Video Khutbah Jumat: Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat

Video: ANB Channel

Mari turut menyebarkan link download kajian “Dikira Taat Tapi Hakikatnya Maksiat” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

 

Referensi:

[1] https://muslim.or.id/54649-hukum-mengeraskan-suara-ketika-membaca-al-quran.html
[2] https://konsultasisyariah.com/7834-tata-cara-berdoa.html
[3] https://muslim.or.id/18356-sutrah-shalat-4-hukum-lewat-di-depan-orang-yang-sedang-shalat.html

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: