Khutbah Jumat: Menggapai Pintu-Pintu Rezeki

Khutbah Jumat: Menggapai Pintu-Pintu Rezeki

Perbandingan Waktu dengan Harta Dunia
Hadits Arbain ke-10 : Allah Maha Baik dan Hanya Menerima yang Baik
Materi 37 – ‘Ujub dengan Banyaknya Jumlah dan Harta

Tulisan tentang “Menggapai Pintu-Pintu Rezeki” adalah transkrip dari khutbah jumat yang disampaikan Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA. Hafizhahullahu Ta’ala.

Khutbah Jumat Tentang Menggapai Pintu-Pintu Rezeki

Khutbah Jumat Pertama

Hadirin jama’ah Jum’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Syukur alhamdulillah layak kita haturkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana Dia memberikan kita kemudahan untuk melakukan aneka aktifitas ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Dan kita berharap semoga ibadah yang kita laksanakan tersebut dapat Allah Subhanahu wa Ta’ala terima sebagai amal shalih.

Kita juga bersyukur atas limpahan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita sehingga Dia kumpulkan kita bersama komunitas muslim ahlussunnah wal jama’ah. Semoga kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala kumpulkan kita kembali di tempat yang penuh dengan kenikmatan abadi, yaitu surga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. (QS. Ali ‘Imran[3]: 106)

Tafsir yang Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sampaikan,

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ السنة والجماعة وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ اهل البدعة والفرق

“Kelak di hari kiamat, wajahnya ahlussunnah wal jama’ah akan Allah jadikan wajahnya putih berseri. Allah kumpulkan mereka bersama dengan komunitasnya sebagaimana ketika di dunia mereka berkumpul karena kesamaan aqidah.”

Hadirin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan di dalam surah An Nahl, bahwa siapa pun manusia yang muncul di muka bumi ini dalam kondisi dia tidak mengetahui apa pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl[16]: 78)

Keadaan kita, keadaan Imam An Nawawi, Imam Asy Syafii, Imam Ahmad, dan para ulama lainnya, ketika mereka dilahirkan dari rahim ibunya adalah sama-sama tidak tahu apapun dan tidak membawa ilmu apapun. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita mulai dari nol semua.

Demikian pula dalam masalah kekayaan dunia. Tidak ada manusia yang lahir dengan membawa harta. Semua dimulai dari nol. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada mereka.

Ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kelebihan dalam memahami ilmu syar’i, sehingga dia bisa menyampaikan tentang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ada yang Dia berikan kelebihan tentang masalah dunia, sehingga dia bisa beramal dengan harta yang dia miliki.

Syariat mengajarkan keseimbangan ini kepada kita agar terjadi kerja sama antara orang yang memiliki kelebihan dalam masalah ilmu syar’i dengan orang yang memiliki kelebihan dalam ilmu dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari,

النَّاسُ مَعَادِنُ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا

“Manusia itu ibarat barang tambang. Orang yang terbaik di antara mereka setelah mereka masuk islam adalah orang yang terbaik ketika mereka belum masuk Islam di masa jahiliyyah, apabila dia paham agama.” (HR. Bukhari No. 3383) [1]

Artinya, orang yang terbaik di antara mereka adalah orang yang memiliki potensi namun dengan satu ketentuan; إِذَا فَقِهُوا apabila dia paham agama.

Jama’ah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada sebagian hamba-Nya untuk bisa mendapatkan rezeki dengan cara yang mudah. Sehingga dia bisa mendapatkan harta melalui usaha yang dia miliki. Namun apa pun itu, semua pasti ada batasannya. Karena ketika harta itu tidak dibatasi, potensi terjadi pertengkaran dan pertikaian antar sesama hamba akan lebih dominan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.” (QS. Asy-Syura[42]: 27)

Dan kita bisa saksikan ilustrasi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terkait bagaimana cara Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan dengan setahap demi setahap dan sedikit demi sedikit sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.

Anda bisa bayangkan, seandainya hujan itu diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala layaknya air terjun, maka akan ada banyak sekali bangunan yang hancur dan harta yang rusak. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan setahap demi setahap karena itu merupakan bagian dari cara yang ideal untuk kehidupan makhluk-Nya di muka bumi.

Dari sini kita perlu memahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita kelapangan rezeki, memberikan kita kesempatan untuk bisa mengais rezeki. Namun perlu kita sadari bahwa hal itu ada batasnya. Dan batasan itu adalah sesuatu yang terbaik bagi umat manusia selanjutnya, apakah kita bisa bersyukur atau tidak.

Khutbah Jumat Kedua

Kaum muslimin Jama’ah Jum’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan,

Bagi seorang mukmin, yang terpenting bukanlah harta yang bisa dia kumpulkan. Bukanlah banyaknya uang yang bisa ia dapatkan. Tapi bagi seorang mukmin yang terpenting adalah sejauh mana harta yang dia miliki bisa memberikan manfaat bagi dirinya, keluarga, dan lingkungannya.

Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan agar setiap orang yang diberi kelapangan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menghiasi aktifitas mencari rezekinya dengan takwa. Dan menghiasi aktifitas dia dalam menggunakan rezeki juga dengan takwa.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ بَأْسَ باِلْغِنىَ لِمَنِ اتَّقَى

“Tidak masalah orang yang memiliki kekayaan bagi siapa yang bertakwa.” (HR. Ibnu Majah)

Karena ketika seorang hamba bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, harta yang dia miliki akan semakin mendatangkan kemanfaatan baik bagi dirinya, keluarga, maupun lingkungannya. Sehingga dia tidak hanya menjadi manusia yang hanya pintar mengumpulkan/ mengoleksi harta, namun dia menjadi hamba yang berusaha untuk menggunakan hartanya secara maksimal bagi kehidupannya.

Manusia terbaik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang hartanya paling efisien. Kita sebut demikian karena semua harta beliau termanfaatkan. Tidak ada yang tersimpan. Sehingga setiap beliau memiliki harta, selalu beliau manfaatkan untuk kepentingan diri beliau, keluarga, dan umat manusia. Beliau tidak menyimpannya.

Meskipun kita tidak bisa mengikuti sebagaimana kondisi beliau, namun setidaknya kita berusaha bagaimana menjadi seorang mukmin ketika berinteraksi dengan harta dia memiliki prinsip bahwa harta yang kita miliki bisa memberikan manfaat bagi kehidupan kita dan lingkungan.

Salah satu di antara cara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tunjukkan adalah perbanyak berteman dengan orang-orang shalih. Agar ketika harta kita menyiprat keluar, maka yang menerima adalah orang-orang shalih di sekitar kita.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

“Janganlah kalian bersahabat kecuali dengan orang beriman. Dan janganlah (ikut) memakan makananmu, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832, At-Tirmidzi no. 2395 dan Ahmad no. 11337, hadits hasan)

Apakah itu berarti kita dianjurkan untuk menjadi orang yang pelit? Sehingga saat memberikan harta hanya memilih orang yang bertakwa saja? Tentu makna hadits ini bukan demikian.

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ yaitu perbanyaklah berteman dengan orang-orang bertakwa. Jadikan manusia di sekelilingmu yang dekat adalah orang-orang yang shalih. Karena yang nantinya akan menerima harta kita adalah hanya orang-orang yang bertakwa.

Sehingga harta itu akan berubah wujud menjadi ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berubah wujud menjadi hafalan Al-Qur’an, tahajjud, kegiatan thalabul ilmi, dan ketaatan yang lainnya. Maka harta itu akan semakin berkah bagi umat manusia.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia menjadikan harta kita semakin berkah. Rezeki yang Dia limpahkan adalah rezeki yang semakin memberikan manfaat bagi diri kita dan keluarga serta umat manusia. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bisa mendapatkan pahala yang besar dari harta tersebut.

Referensi:
[1] https://sunnah.com/bukhari:3383
[2] https://muslim.or.id/42019-memilih-teman-pergaulan-saat-kuliah.html

Sumber Video Khutbah Jumat: ANB Channel

Mari turut menyebarkan “Khutbah Jum’at: Menggapai Pintu-Pintu Rezeki” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: