Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19

Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19

Kajian tentang Bagaimana Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19 ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafidzahullah.

Mukaddimah Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19

Segala puji bagi Allah, kita senantiasa panjatkan atas segala karunia yang Allah berikan kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga kepada keluarganya serta seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman kelak.

Para pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita bisa bersua kembali dalam rangka untuk mempelajari sebagian permasalahan fiqih berkaitan dengan bulan Ramadhan dalam kondisi kita yang sekarang ini yaitu di tengah wabah covid-19 atau wabah corona. Dan acaran ini terselenggarakan dengan DKM Masjid Darussalam di Kota Wisata.

Para pemirsa yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentunya dalam kondisi apapun kita bersabar dan berusaha untuk tetap bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena orang yang bisa menggabungkan antara sabar dan syukur adalah orang yang terpuji. Dalam banyak ayat Allah mengatakan:

…إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ ﴿٣١﴾

“Sesungguhnya yang pada demikian itu ada tanda-tanda kebesaran bagi orang yang senantiasa bersabar dan senantiasa bersyukur.” (QS. Luqman[31]: 31)

Kita tahu bahwasanya wabah ini (covid-19) memang perkara yang tidak menyenangkan. Tapi kalau kita lihat kondisi kita, kondisi kita masih jauh lebih baik dari pada kondisi yang lain. Lihat negara-negara lain, kondisi mereka sangat parah, sebagian di daerah mereka mayat sudah tidak bisa tertampungkan lagi, bahkan tergeletak di jalan begitu saja berhari-hari tidak dikubur sampai mengeluarkan bau yang membusuk. Alhamdulillah kita belum mengalami kondisi seperti itu dan semoga kita tidak mengalami kondisi seperti itu.

Kemudian kalau kita menilik kembali tentang sejarah wabah yang pernah menimpa kaum muslimin di abad-abad terdahulu, kita baca sejarah, Subhanallah dalam sebagian masa ada di antara kaum muslimin yang mereka ditimpa dengan wabah sampai ribuan yang meninggal dalam sehari. Kemudian mayat begitu banyak sehingga mereka harus mengangkat mayat dengan papan-papan, dengan pintu mereka cabut untuk mengangkat mayat-mayat tersebut. Kemudian sampai mayat tidak bisa dikuburkan sehingga mereka tidur berdampingan dengan mayat-mayat tersebut. Mengerikan. Sampai mereka ditimpa dengan kelaparan yang luar biasa. Di antara mereka ada yang akhirnya harus memakan anjing dan yang lainnya. Ada di antara mereka yang akhirnya menggali kuburan kemudian memanggang untuk memakan, dan yang lainnya. Alhamdulillah kita tidak sampai kondisi demikian.

Oleh karenanya senantiasa kita merenungkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ.

(Muttafaq ‘Alaihi)

Senantiasa lihat kebawah, jangan lihat ke atas. Kalau kita senantiasa lihat kebawah yang lebih parah daripada kita, kita akan senantiasa mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Pemirsa yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antara bentuk syukur kita kepada Allah Alhamdulillah kita berusaha untuk memperbaiki ibadah kita menjelang bulan Ramadhan. Tidak terasa lagi mungkin minggu depan mudah-mudahan kita diberi umur, diberi kesempatan untuk bisa bertemu dengan bulan Ramadhan agar Allah memberikan kita ampunan dan ganjaran sebanyak-banyaknya. Tentu orang yang persiapan bertemu dengan bulan tersebut tidak sama dengan orang yang tidak persiapan. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan banyak janji-janji yang indah dalam ibadah di bulan Ramadhan.

Namun pada kesempatan yang berbahagia ini, yang ingin kita bahas adalah pertanyaan-pertanyaan yang masuk yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan fiqih seputar bulan Ramadhan. Saya akan membahas beberapa permasalahan yang mudah-mudahan bisa menjawab banyak pertanyaan yang sering ditanyakan oleh audiens, ditanyakan oleh kaum muslimin. Tentu tidak semuanya tapi saya akan sampaikan beberapa permasalahan-permasalahan penting atau pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan.

Permasalahan-Permasalahan Fiqih Seputar Ramadhan Dimasa Wabah

1. Bolehkan mengalihkan dana masjid untuk memberi makan kepada fakir miskin?

Bolehkah donasi yang sudah kita kumpulkan -terkadang buat- kepentingan masjid/dana ifthar/untuk keperluan membeli sound system masjid atau apalah, dana sudah kita kumpulkan sekarang kita ingin Salurkan dalam rangka untuk memberi makan kepada fakir miskin. Terutama dimusim yang susah, disaat-saat tersebarnya wabah, banyak orang yang susah.

Yang kita tahu bahwasanya memberi makan dizaman sulit itu pahalanya besar. Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ ﴿١٥﴾ أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ ﴿١٦﴾

Allah menyebutkan diantara keutamaan beramal shalih adalah memberi makan kepada fakir miskin dalam kondisi lagi kelaparan. Kita memberi makan kepada orang-orang susah di hari-hari biasa pahalanya besar. Apalagi di saat saat kelaparan.

أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ ﴿١٦﴾

Atau kemiskinan sangat miskin.” (QS. Al-Balad[90]: 16)

Oleh karena ulama mengatakan bahwasanya ganjaran/pahala bisa bertambah dari kondisi orang kita bantu. Kalau dia semakin sulit, dia semakin membutuhkan bantuan tersebut kemudian kita berikan, maka kita dapat pahala yang besar. Demikian juga dari kondisi kita. Beda tatkala lagi duit banyak kita menyumbang, kita dapat pahala. Tapi ketika kita juga susah, kita tidak tahu pasti bulan depan masih bisa makan atau tidak tapi kita sisihkan sebagian apa yang Allah berikan kepada kita untuk orang susah, maka disitu juga pahala kita bertambah.

Jadi dalam kondisi sekarang ini memang benar pahala sedekah bertambah dari dua sisi. Dari sisi kitanya yang juga belum jelas tentang keuangan kita, ditinjau juga dari sisi orang yang kita bantu yang sekarang lagi sulit-sulitnya mereka.

Namun tatkala kita sudah mengumpulkan donasi, tidak boleh sembarangan kita mengalihkan dana tersebut untuk memberikannya kepada fakir miskin. Karena orang yang meletakkan uang bagi kita, secara fiqih dia seperti kondisinya muwakkil dan kitalah wakilnya. Sehingga apa yang dia letakkan kepada kita/uang yang dititipkan kepada kita adalah amanah, maka tidak boleh kita menggunakannya diluar dari kehendak muwakkil/para donatur tersebut. Kalau dia bilang uang ini untuk A, maka tidak boleh kita alihkan untuk B, tidak boleh sama sekali.

Jadi dibahas oleh para ulama dalam buku-buku fiqih dalam masalah wakaf. Kalau Pewaqif waktu menyerahkan uang kemudian dia (menghendaki) tujuan tertentu, maka Nadzirnya (yang mengurusi wakaf tersebut) tidak boleh mengalihkannya kepada tujuan yang tidak diinginkan oleh pewakif tersebut. Ini mirip dengan apa yang kita bahas sekarang.

Jenis-jenis dana yang sudah dikumpulkan

9:24 Wallahu a’lam bishshawab.. Bahwasannya kalau dana yang kita kumpulkan (kita penggalangan dana lewat televisi atau radio atau lewat medsos dan yang lainnya) maka tidak keluar dari tiga jenis ini:

1. Infak atau sedekah umum.

Kalau ini kondisinya, misalnya orang kumpulkan dana di masjid, sedekah umum, maka bebas, bisa kita alihkan ke sumbangan yang lain. Misalnya uang dalam kas keuangan banyak, maka silahkan kita gunakan untuk membantu orang-orang susah, membeli makanan sembako bagi mereka, tidak ada masalah.

2. Tidak bersifat umum namun biasanya digunakan untuk keperluan tertentu dan itu diketahui oleh donatur.

Misalnya ada orang menyumbang uang ke masjid dan mereka tahu bahwasannya di masjid itu uangnya bukan hanya untuk membangun masjid tapi untuk keperluan masjid secara umum. Kemudian juga misalnya untuk pengurus masjid, misalnya juga untuk kalau ada acara pengajian disediakan makanan untuk acara pengajian, atau misalnya  kerja bakti dari dana masjid, ini semua orang tahu bahwa dana masjid untuk itu, bukan hanya untuk urusan masjid. Hal-hal yang sudah diketahui.

Maka kalau sudah kita tahu bahwasannya ini untuk keperluan A, B, C dan D, maka uang yang kita sudah kumpulkan tidak boleh keluar daripada ini meskipun tidak disebutkan tatkala kita mengumpulkan dana. Dan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang disebut dengan al-ma’rufu ‘urfan kal masyruthi syarthan. Yaitu suatu perkara yang sudah sama diketahui secara ‘urf, meskipun tidak tertulis, meskipun tidak tercatat, tapi sama-sama kita sudah ketahui seakan-akan itu itu syarat tertulis.

Contoh sederhana misalnya kalau kita beli barang di toko, biasanya secara ‘urf (tradisi) diantar barang tersebut. Maka meskipun dalam jual beli tidak tertulis harus diantar, maka pihak penjual harus mengantarnya. Ini namanya secara ‘urf sudah diketahui penjual akan mengantar. Maka meskipun tidak tertulis, itu adalah syarat yang sudah diketahui bersama.

Nah, sama. Kata sebagian ulama bahwasannya kalau dana kita kumpulkan dan para donatur sudah tahu biasanya dan ini digunakan untuk ini, untuk ini, untuk ini, maka tidak mengapa kita alihkan untuk keperluan A, B, C dan D tersebut. Tapi tidak boleh keluar dari keperluan ini.

3. Untuk keperluan khusus

Kalau kita menggalang dana untuk keperluan khusus, maka tidak boleh keluar dari keperluan ini. Hati-hati kepada para pengumpul dana (baik lewat medsos atau lewat kotak masjid dan yang lainnya).

Kalau kita sudah kumpulkan dana untuk pembangunan masjid, maka tidak boleh kecuali untuk pembangunan masjid. Tidak boleh kita alihkan untuk fakir miskin. Kalau mau untuk fakir miskin, pakai uang yang lain.

Misalnya ini pengumpulan dana untuk beli ambulan, maka harus beli ambulan. Karena kita mengumpulkan dana, kita sebagai wakil, kita amanah. Tidak boleh kita gunakan uang tersebut diluar.

Timbul pertanyaan, seandainya ternyata keperluan sudah terpenuhi sementara dana masih ada. Dan ini banyak terjadi. Contoh sederhana, sebagian orang mengumpulkan dana buat penanggulangan bencana. Ternyata bencananya sudah selesai, orang sudah selamat, kemudian sudah terpenuhi, namun masih ada sisanya, apa yang harus dilakukan? Ini jadi masalah.

Misalnya juga seseorang mengumpulkan dana untuk membeli sound system di masjid. Ternyata sound systemnya sudah dibeli, dia sudah tutup (donasinya), tapi dana masih datang/masih masuk. Apa yang harus dia lakukan?

Maka cara pertama, dia harus kembalikan kepada donatur. Kalau tidak mungkin, maka dia minta tolong untuk membuat pengumuman bahwasannya dana yang dikumpulkan akan diahlihkan kepada ini (misalnya). Kalau para donatur mengizinkan, maka silahkan dialihkan. Tapi kalau ternyata hal tersebut tidak mungkin dilakukan, uang tidak mungkin dikembalikan, minta izin juga tidak mungkin dilakukan, maka uang tersebut hanya boleh digunakan yang semisalnya karena darurat. Ini penjelasan para ulama (Ibnu Taimiyah dan yang lainnya).  Maka dia harus mencari masjid lain untuk memberikan memberikan sound system kepada masjid-masjid yang lain. Karena dia tahu donatur itu ingin beli sound system untuk masjid A. Tapi karena masjid A sudah punya sound system mau diapain lagi? Mau ditunggu uangnya dan tidak digunakan sampai sound system rusak yang bisa jadi 10 tahun lagi? Maka dengan kondisi demikian, maka dialihkan kepada masjid lain yang kebutuhannya semisal/serupa. Kalau ternyata kebutuhan serupa semua sudah tidak ada, maka dia berijtihad untuk mencari manfaat yang lebih baik untuk kaum muslimin.

Tapi maksud saya:

Tidak gampang-gampang seorang mengumpulkan dana kemudian dialihkan untuk memberikan sembako dan yang lainnya kecuali diizinkan oleh donatur. Karena fungsi dia adalah wakil yang hanya memegang amanah, tidak boleh dialihkan kecuali sesuai dengan izin dari pihak donatur.

Jadi saya ditanya apakah dana yang dikumpulkan untuk ifthar boleh kita bagikan sekarang kepada orang-orang miskin dan yang lainnya? Jawabannya tidak boleh kecuali sudah minta izin kepada pada donatur tersebut. Kalau mereka setuju, Alhamdulillah. Tapi kalau itu tidak mungkin dilakukan, maka tidak boleh dialihkan kepada keperluan yang lain.

2. Hukum mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum mencapai haulnya

16:42 Bagaimana, sebelum mencapai haul, kita boleh mengeluarkan zakat atau tidak?

Zakat mall (harta), zakat hewan ternak, zakat tijarah (perdagangan), syarat wajib untuk mengeluarkannya adalah jka memenuhi dua hal:

  1. Sudah mencapai nishob
  2. Sudah mencapai haul 1 tahun

Ini sudah dibahas dalam masalah zakat. Misalnya zakat emas dan perak atau zakat duit kalau kita mau kembalikan kepada emas mungkin sekitar (saya ngga tau sekarang harga emas berapa) 40 juta atau 50 juta misalnya. Nah, kalau kita sudah memiliki nishob ini, kita baru wajib bayar zakat kalau nishob ini tertahan sampai setahun. Tapi kalau ternyata baru lima bulan uangnya berkurang, maka kita tidak wajib bayar zakat. Jadi kita hanya wajib bayar zakat kalau terpenuhi dua ini. Pertama, nishobnya sudah tercapai kemudian nishob ini bertahan sampai selama setahun.

Ternyata kita ingin bayar zakat sebelum nishob. Nishob baru tiga bulan tapi kita ingin bayar zakat. Bagaimana hukumnya?

Maka ada khilaf diantara kalangan para ulama tentang hal ini. Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwasannya boleh membayar zakat dengan syarat sudah mencapai nishob karena -mereka mengatakan- dia sudah mempunyai sebab kewajiban. Kalau sudah mencapai sebab kewajiban, maka boleh seseorang membayar zakat. Dan dalilnya kisah Al-Abbas bin Abdul Muththalib yang dimana dia membayar zakat untuk bahkan dua tahun sebelumnya. Jadi dia bayar zakat untuk dua tahun lebih cepat dan ini dibolehkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Permasalahan seperti ini ada yang semisalnya, disebut oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Qawaid Ibnu Rajab kaidah yang ke-4 disebutkan: Misalnya tentang masalah haji, bahwasanya seorang yang melakukan umrah tamattu’ kemudian haji, dia kapan wajib untuk potong kambing? Yaitu kalau dia sudah menggabungkan antara ihram tamattu’ dengan ihram haji. Sebelum itu tidak wajib. Tetapi jika dia sudah awal berihram dengan ihram umrah tamattu’, dia sudah melakukan sebab, meskipun dia belum berihram dengan ihram haji -kata para ulama- dia sudah sudah boleh potong kambing -menurut sebagian pendapat- atau kalau dia tidak mampu dia boleh berpuasa sebagai pengganti hadyu meskipun dia belum berihram dengan ihram haji.

Tapi intinya pembahasan ini adalah pendapat jumhur ulama dan dalilnya ada. Oleh karenanya pendapat ini penting di saat zaman sekarang orang-orang dalam kondisi sulit kemudian jika seseorang ingin segera membayarkan zakatnya, maka tidak mengapa. Bahkan para ulama mengatakan boleh untuk zakat dua tahun dia bayar sekarang, tidak masalah.

Adapun kalau misalnya dia baru punya uang lima juta kemudian ingin bayar zakat, tidak boleh karena karena dia belum mencapai nishob. Jadi harus sudah sampai nishob dulu baru boleh bayar zakat meskipun belum haul. Kata Al-Khattabi (dalam Ma’alim as-Sunan) bahwa ini kemudahan dari Allah. Allah tidak langsung mewajibkan dia untuk bayar zakat begitu dia mencapai nishob. Ditunggu nishobnya bertahan sampai setahun. Itu Allah kasih kemudahan. Nah, kalau dia ingin menggugurkan kemudahan tersebut, dia ingin membayar sekarang, boleh-boleh saja, itu hak dia. Ini berbicara secara logika.

3. Membayar Zakat Fitrah Diawal Bulan Ramadhan

24:20 Para ulama menjelaskan bahwasanya membayar zakat fitrah yang afdhal adalah tatkala di pagi hari di hari lebaran kemudian kita berikan kepada orang-orang atau dimalam lebaran juga kita boleh kasih kepada orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin.

Dan mereka juga mengatakan boleh membayar zakat fitrah sehari atau dua hari sebelumnya. Hal ini berdasarkan perbuatan Ibnu Umar Radhiyaallahu Ta’ala ‘Anhuma sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Adalah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma adalah beliau memberikan zakat kepada orang-orang yang menerima zakat dan mereka membayarkan zakat fitrah yaitu sehari atau dua hari sebelum Idul Fitr.” (Shahih Al-Bukhari)

Jadi di sini perawi mengatakan “dan mereka memberikan zakat fitri sehari atau dua hari sebelum idul fitr.”

Perkataan “Dan mereka” kata sebagian ulama seperti Ibnu Qudamah Rahimahullahu Ta’ala dalam kitabnya Al-Mughni, menunjukkan bahwasanya ini para sahabat yang melakukannya (bukan cuma Ibnu Umar). Karena lafadznya “mereka”. Mereka dizaman Ibnu Umar adalah para sahabat.

Jadi para sahabat membayar zakat fitrah sehari atau dua hari sebelumnya. Ini nggak ada masalah. Yang timbul masalah, bagaimana kalau membayar zakat fitrah sebelum daripada itu (misalnya diawal Ramadhan)?

Ini ada khilaf dikalangan para ulama. Saya ingin jelaskan khilaf agar kita berlapang dada. Kalau ada yang berpendapat, tidak kita tolak. Cuma kita berusaha mencari mana yang lebih kuat.

Membayar zakat fitrah diawal Ramadhan, maka menurut Mazhab Syafi’i dan Hanafi boleh. Menurut mazhab Maliki dan Hambali tidak boleh.

Dalil Madzhab Syafi’i dan Hanafi

Apa dalil Mazhab Syafi’i dan Hanafi kok boleh membayar zakat fithr di hari pertama bulan Ramadhan? Dalil mereka dua:

Pertama, karena zakat fitr wajib karena dua sebab; puasa dan fithr (berbuka). Nah, kalau satu sebab sudah terjadi maka boleh bayar zakat. Mereka menqiyaskan seperti zakat mall. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa zakat mall sebabnya adalah nishob dan haul. Kalau nishob telah dipenuhi, maka meskipun kewajiban harus bayarnya nanti tatkala haul sudah sampai, namun tatkala nishob dipenuhi maka boleh bayar meskipun haul. Kata mereka juga demikian zakat fithr yang sebabnya puasa dan berbuka. Jadi kalau orang sudah puasa di hari pertama (tanggal 1 Ramadhan), malamnya dia sudah boleh bayar zakat. Karena dia sudah berpuasa yang merupakan sebab pertama. Adapun malam 1 Ramadhan dia belum boleh, karena dia belum berpuasa.

Kedua, atsar Ibnu umar. Kata mereke, karena Ibnu Umar boleh untuk membayar zakat sehari dan dua hari sebelum Idul Fitri, maka kalau sehari dua hari boleh, kalau begitu 5 hari juga boleh, 10 hari sebelumnya juga boleh, 15 hari sebelumnya juga boleh, satu bulan sebelumnya juga boleh. Mereka berdalil dengan atsar Ibnu Umar.

Dalil Madzhab Maliki dan Hambali

Namun –wallahu a’lam bishshawab– pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Maliki dan Hambali bahwasannya tidak boleh kecuali hanya sekedar sehari atau dua hari sebelumnya. Karena -kata mereka- sebab zakat fithr adalah berbuka, bukan puasa. Makanya dinamakan dengan zakat fithr, bukan zakat shaum. Maka sebabnya berbuka. Kalau belum ada berbuka, belum boleh bayar.

Oleh karenanya tidak bisa diqiyaskan dengan zakat mall. Karena zakat mall sebabnya nishob. Kalau nishob sudha ada, boleh bayar. Adapun atsar dari Ibnu Umar, maka dalam rangka harta tersebut bisa bertahan kepada orang fakir miskin nanti tatkala mereka berbuka di hari lebaran. Dan -kata mereka- tujuan zakat fithr adalah agar orang-orang miskin dihari lebaran mereka dalam kondisi tidak mencari-cari makan. Itu tujuan dari zakat al-fithr.

طُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Adalah makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)

Artinya ketika orang-orang hari raya, mereka tidak kelaparan. Tapi kalau kita bayar 1 Ramadhan, bisa jadi pas hari raya mereka tidak punya. Maka -wallahu a’lam- saya lebih condong kepada pendapat Maliki dan Hambali. Dan kita tahu bahwasannya sebagian ulama di Indonesia berfatwa dengan boleh membayar zakat fithr di 1 Ramadhan, kita menghormati fatwa tersebut karena itu Madzhab Syafi’i dan Hanafi, tetapi:

Saya lebih condong kepada madzhab Hambali karena tujuan zakat fitrah adalah agar orang-orang miskin pada hari raya mereka tidak kelaparan sehingga kita kasih mereka beras pada hari tersebut sehingga mereka bisa masak, mereka bisa makan pada hari tersebut. Jadi boleh kita bayar sehari sebelumnya atau dua hari sebelumnya.

4. Bolehkah meninggalkan pausa jika positif covid-19

32:56 Bolehkan meninggalkan puasa jika positif covid-19, demikian juga bolehkah para petugas kesehatan yang merawat, baik dokter ataupun perawat, bolehkah mereka juga tidak berpuasa karena khawatir kalau mereka lelah kemudian sistem imun tubuh lemah akhirnya mereka terkena penyakit yang berbahaya bagi nyawa mereka?

Untuk menjawab dua hal ini, kita tahu bahwasannya orang yang sakit boleh tidak berpuasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ..

Barangsiapa yang diantara kalian sakit atau sedang bersafar, maka dia berbuka dan dia ganti di hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah[2]: 184)

Ini nash yang tegas bahwasanya orang yang sakit boleh berbuka dan tidak berpuasa kemudian dia ganti dihari-hari yang lain.

Oleh karenanya jika seseorang sudah dinyatakan oleh dokter positif covid, kemudian gejala-gejalanya nampak, kemudian dia dalam kondisi bersin-bersin, kemudian dalam kondisi batuk-batuk, demam, maka dia sakit, dia boleh berbuka, jangan paksa dirinya untuk berpuasa. Allah berkata:

يُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ

Allah menginginkan kemudahan, Allah tidak menginginkan kesulitan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Allah tidak ingin kamu puasa untuk meninggal dunia. Oleh karenanya kalau sakit silakan berbuka. Jangankan sakit, safar saja yang seorang mungkin kuat untuk tetap berpuasa kondisi kuat, boleh berbuka. Allah tidak ingin kesulitan. Anda safar silahkan berbuka. Terkadang kita kuat menghadapi kesulitan itu, tapi Allah berikan kemudahan. Silahkan ambil rukhsah (keringanan), maka berbuka dalam kondisi safar.

Demikian juga sakit, meskipun kita sakit tidak sampai mau mati, sakit demam itu namanya sakit, maka boleh berbuka, jangan memaksakan bahwasannya saya masih kuat.

Oleh karenanya para ulama mengatakan, sorang boleh tidak berpuasa tatkala sakit karena dua hal; Pertama, khawatir sakitnya tambah parah. Kedua, khawatir sakitnya lama baru sembuh. Dua hal ini menyebabkan seseorang boleh berbuka.

Dia kalau berpuasa, sakitnya bisa jadi tambah parah. Maka jangan berpuasa. Atau kedua, kalau dia berpuasa bisa jadi sakitnya tidak tambah parah tetapi kesembuhannya tertunda (harusnya seminggu jadi sebulan), maka dia boleh tidak berpuasa. Jangan memaksakan diri. Ini bukan masalah kuat-kuatan, Allah ingin berikan keringanan, kenapa kau cari kesulitan?

OTG (Orang Tanpa Gejala)

Lalu bagaimana kalau orang sudah dinyatakan positif tapi dia tanpa gejala. Orang bilang carrier atau OTG (orang tanpa gejala). Diperiksa positif, tapi dia sehat-sehat saja. Dia sudah lapor dirinya positif dan hasilnya sudah ada, namun dia sehat-sehat saja. Apakah dia wajib berpuasa ataukah boleh dia untuk tidak berpuasa? Maka ini saya katakan kembalikan kepada dokter yang menanganinya. Kalau dokter mangatakan anda kuat, silahkan berpuasa dan tidak boleh tidak berpuasa. Tapi kalau dokter mengatakan jangan berpuasa, karena sistem imun bisa lemah kapan saja dan kamu butuh perhatian, butuh obat, butuh yang lainnya, meskipun dalam kondisi sehat maka jangan berpuasa. Jangan spefikulasi dengan nyawanya. Alhamdulillah Allah kasih keringanan. Jangan kemudian nekat. Ini bukan masalah nekat-nekata. Allah kasih keringanan, kenapa kamu tidak ambil?

Oleh karenanya meskipun orang sudah positif atau OTG (orang tanpa gejala), tidak ada gejala apapun, tapi kalau dokter menyatakan secara medis tidak masalah berpuasa, maka puasa. Tapi kalau dokter mengatakan kalau kau berpuasa sistem imunmu bakalan turun, khawatir begini begini, yasudah tidak usah berpuasa. Allah kasih udzur, Alhamdulillah tidak ada masalah.

ODP (Orang Dalam Pengawasan)

Kemudian bagaimana kalau ODP (orang dalam pengawasan). ODP ada dua, ada ODP yang memiliki gejala ringan, cuma bersin-bersin, tapi tidak ada gejala kuat menunjukkan dia covid. Orang seperti meskipun gejala ringan kalau dia dikatakan sakit dan dia khawatir, dia boleh tidak berpuasa. Tapi kalau ODP tanpa gejala yang pernah main ke tempat zona merah. Orang dari -misalnya- Kebumen main ke Jakarta, dia ODP. Karena dia pernah main ke zona merah di Jakarta. Atau orang yang pernah tinggal di zona merah, di Jakarta. Maka kita semua yang tinggal di Jakarta ini ODP. Apalagi kalau kita pergi ke kampung orang, ODP Plus.

Nah, kalau ODP maksudnya adalah orang yang hanya tinggal di zona merah atau pernah mengunjungi zona merah tapi ternyata kondisinya dia fit, maka dia wajib puasa. Seperti kita sekarang. Jangan mengatakan kita harus jaga kondisi supaya fit, maka kita nggak usah puasa dalam rangka… tidak. Kita dalam kondisi fit, tidak ada masalah, kecuali kalau ada gejala, itu lain cerita.

Adapun sekarang kita dalam kondisi fit meskipun digolongkan sebagai ODP, maka kita harus wajib berpuasa. Kalau kita bilang semua ODP boleh tidak berpuasa, satu Jakarta daerah merah ini boleh tidak berpuasa dan itu tidak tidak benar.

Ini berkaitan dengan orang yang sakit atau diduga sakit atau dalam pantauan.

Petugas medis apakah dia boleh meninggalkan puasa?

40:00 Bagaimana dengan petugas medis, petugas medis apakah dia boleh meninggalkan puasa? Kalau dia sakit, pokoknya semua yang sudah masuk dalam kategori sakit boleh tidak puasa. Yang jadi masalah petugas medis yang sehat, namun dia khawatir kalau dia puasa dia tidak kuat menahan virus yang masuk.

Kita tahu Subhanallah, betapa banyak petugas medis yang sudah memakai APD kemudian sudah pakai seragam lengkap untuk menangani pasien ternyata tembus juga virusnya. Sebagian diantara mereka ada yang meninggal dunia. Semoga Allah mencatat mereka sebagai orang-orang yang mati syahid dan diberikan ganjaran besar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena mereka telah berjuang untuk menangani kasus covid-19 ini. Kita harus benar-benar menghargai mereka bahkan mendoakan mereka karena perjuangan mereka.

Nah, pertanyaannya bagaimana petugas medis (baik dokter maupun perawat) yang sehat? Kemudian bolehkan dia tidak berpuasa karena dia khawatir. Karena dia tiap hari menangani pasien corona dan corona sangat mungkin mengenai mereka. Apakah dia boleh tidak berpuasa? Maka saya katakan ini kembali kepada dokter. Ini masalah dokter. Dokter kalau mengatakan sebaiknya jangan berpuasa karena khawatir begini dan begitu, maka tidak papa tidak puasa. Kembali kepada para pakar yang menangani hal ini. Kalau para dokter tahu bahwasanya kondisi dia kalau dia berpuasa bakalan sangat mudah terkena virus, maka jangan dia berpuasa. Masing-masing orang tahu tentang dirinya dan dia boleh bertanya kepada dokter yang pakar akan hal ini.

Maksud saya tidak usah spekulasi saya kuat, tidak harus demikian. Allah berikan kemudahan, kalau itu dibolehkan dalam syariat maka kita kerjakan.

Saya bacakan perkataan Ibnu Qudamah tentang hal ini, tatkala Ibnu Qudamah berbicara tentang orang yang boleh berbuka puasa. Orang yang sakit, jelas. Bagaimana tentang orang yang sehat? Kata Ibnu Qudamah Rahimahullah (salah seorang ulama besar di madzhab Hambali). Beliau berkata:

Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19

Pembahasan selanjutnya adalah:

5. Terkait shalat tarawih

6. Shalat Ied di rumah

ٍSimak pembahasan selanjutnya pada menit ke-42:12 dan download pdf ringkasannya melalui tautan ini.

Video Kajian Menghadapi Ramadhan Dengan Kondisi Covid-19

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: