Permisalan Jiwa (Bag. 2)

Permisalan Jiwa (Bag. 2)

[Transkrip dari menit 27:18 detik]

 

Disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala, kata beliau :
“Jiwa itu adalah seperti gunung yang besar dimana ketika kita berjalan menuju Allah maka kita harus melewati gunung tersebut, tidak ada jalan yang lain dan harus melewati gunung tersebut. Kalau kita ingin sampai kepada Allah maka kita harus mendaki gunung tersebut, namun dalam mendaki ini tidaklah mudah.

– kadang-kadang ada tanah yang terjal, harus digali.

Terkadang juga ada orang yang dimudahkan, tetapi ada juga orang yang kesulitan, dan dia akan menjadi mudah karena memang dimudahkan Allah. Dan digunung tersebut terdapat rintangan-rintangan, rintangan tersebut ada yang berupa keburukan ada juga yang berupa keindahan (ada pohon-pohon yang bagus, ada bunga-bungaan, ada rerumputan hijau) begitu juga ada duri, ada juga perampok yang menghadang orang yang melewati jalan tersebut, terlebih ketika dimalam hari, (itu semakin berbahaya).

Ada memang yang sedang dalam pendakiannya dia melihat pepohonan, bunga-bungaan, rerumputan yang hijau, akhirnya dia betah disitu padahal dia belum sampai kepada puncaknya, akhirnya dia tidak sampai kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Begitu pula ada rintangan yang lain, yang akan merintangi seseorang ditengah perjalanan, yaitu adanya perampok, terlebih dimalam hari.

– Biasanya para perampok atau begal itu beraksi dimalam hari.

“Maka, (kata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah) :
“Seandainya mereka yang sedang menempuh jalan yang menuju Allah itu tidak memiliki perbekalan iman kemudian dia tidak memiliki lampu keyakinan,

– Tidak membawa lampu keyakinan.

”akhirnya dia akan memutuskan untuk kembali.”

– Jadi dia akan turun, menyerah, tidak mau mendaki gunung tersebut, sehingga dirinya tidak sampai kepada Allah Subhanahu wata’ala.

– Kemudian tidak sampai disitu.

Imam ibnul Qayyim rahimahullah : “Dipuncak gunung itu juga ada setan yang dia mengingatkan kepada manusia agar tidak mendaki gunung.”

– Jadi dia (masih) di bisiki oleh setan agar tidak mendaki gunung.
– Ini perumpamaan, seandainya kita sedang mendaki gunung tiba-tiba ada setan menyeru, entah setan itu dari golongan jin, mungkin juga setan dari golongan manusia, (mengatakan) : kamu jangan naik kesana, dia mengatakan : disitu bahaya dan semisalnya, naik ke sana capek dan sebagainya.

Imam ibnul Qayyim rahimahullah:
“Dan (setan itu) menakut-nakutinya, maka bercampurlah disitu antara beratnya mendaki gunung dengan apa yang dilakukan setan berupa menakut-nakuti orang yang mendaki gunung itu. Ditambah lagi tekad dari orang yang mendaki gunung itu rendah/lemah, niatnya juga lemah, tidak punya azam (tekad) yang kuat, akhirnya perkara ini menyebabkan dia mundur memutuskan sudah sampai disini saja,

– Dia tidak sampai ke atas.

Maka, tentu orang yang akan sampai itu adalah orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Semakin tinggi dia menempuh perjalanan digunung tersebut maka seruan itu semakin kuat agar dia berhenti, begitu pula setan itu senang menakut-nakuti dia.

Tapi kalau dia tidak memperdulikan seruan itu dia tetap berjalan walau pun berat tetap dia bertekad harus sampai ke puncak, maka akan mudahlah perjalannya, akan hilang semua rintangan-rintangan yang ada di jalan, sehingga dia dapat melihat jalan itu sepertinya luas, yang sempit sepertinya luas, aman.

Maka, ketika seorang hamba dia ingin mendapatkan kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan, maka dia harus memiliki azam (tekad) yang kuat.”

– jika kita ingin sampai pada jiwa yang suci, maka kita harus punya azam yang kuat, karena setan ini selalu mengajak kepada maksiat, dan jiwa ini senang kepada perkara-perkara maksiat, maka kita harus memperkuat tekad, kalau tidak maka kita tidak akan sampai kepada kesucian jiwa.

Imam ibnul Qayyim rahimahullah :
“Kita harus sabar sebentar begitu pula hati kita harus tsabat (kokoh) dan keutamaan itu ada ditangan Allah Subhanahu wata’ala, Allah akan memberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki, dan Allah-lah yang memiliki keutamaan yang Agung.

Maka, contoh ini menjelaskan kepada kita kondisi jiwa, bahwasanya jiwa itu, jiwa kita harus bersungguh-sungguh mengendalikannya, bersungguh-sungguh untuk mengobatinya, dengan belajar, harus sabar.”

– kalau kita mau memperturutkan hawa nafsu kita, maka kita tidak akan mau belajar-belajar, santai-santai, lalai dari mendidik jiwa dan kita tidak akan sampai kepada pensucian jiwa. (Ust. Arwi Fauzi Asri hafizhahullahu)

39:08

Faedah Kajian Kitab Tazkiyatun Nufus, karya Syakh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Mukhsin al-Badr hafizhahullahu (Kaedah ke 10)

Pemateri: Ust. Arwi Fauzi Asri hafizhahullahu

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: