Makna Laa Taghdhab

Makna Laa Taghdhab

Tulisan tentang “Makna Laa Taghdhab” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafizhahumullahu Ta’ala.

Sebelumnya: Hadits Menahan Marah

Makna Laa Taghdhab

Marah Terhadap Anak

Kemudian juga, sikap suka marah ini hendaknya dijauhi tatkala seorang ayah atau seorang ibu bermuamalah dengan anak-anaknya. Sebagian orang, bapak, atau sebagian ibu jika anak-anak mereka melakukan perbuatan yang keliru atau perbuatan yang tidak disukai oleh mereka, maka mereka pun langsung memukul anak-anak mereka. Terkadang memukulnya dengan sangat kuat dan keras sampai bisa-bisa mematahkan tulang. Atau sampai mengeluarkan darah dari sang anak. Subhanallah. Padahal itu adalah anak mereka sendiri. Atau bisa membuat mata sang anak terluka mau pun matanya menjadi buta karena pukulan yang sangat keras dari sang ibu atau sang ayah.

Ada seorang sahabat dari Syaikh pernah pergi ke rumah sakit. Kemudian dia pun mengantre. Tiba-tiba dia melihat ada seorang anak kecil yang umurnya lima atau empat tahun yang tangannya lemah seakan-akan terlepas tangannya dari bahunya.  Maka dia pun sedih melihat anak itu. Lalu dia mendatangi seseorang yang bersama anak itu yang dia adalah ayah dari anak tersebut. Dia bertanya kepada ayahnya apa yang telah terjadi, “Mengapa anak antum sampai seperti ini? Tangannya sampai mau terlepas.” Kemudian sang ayah mengatakan, “Allahul musta’an. Ini semua gara-gara marah. Anak saya tidur, lalu saya membangunkan dia namun dia tidak kunjung bangun. Akhirnya aku menarik tangannya. Karena terlampau kerasnya aku menariknya dengan penuh kemarahan, maka tangannya pun lepas.” Subhanallah.

Akibat Kasar Terhadap Anak

Para pendengar rahimakumullah,

Jika seorang ayah atau ibu tidak mampu bermuamalah dengan anaknya dengan sikap yang lembut dan baik, mereka bermuamalah dengan sikap yang kasar dan penuh kemarahan, maka anak-anak itu ketika sudah besar dan dewasa akan dendam terhadap orang tua mereka. Mereka akan ingat bagaimana kekasaran orang tua mereka terhadap mereka. Dan mereka tidak akan melaksanakan birrul walidain karena orang tuanya dahulu kasar kepada mereka. Mereka akan terus mengingat hal itu.

Tidak ada orang yang senang dengan orang yang kasar dan keras. Siapa pun kita, kalau duduk dengan orang yang kasar dan keras, kita tidak akan tenang dan betah dengannya. Kita gelisah kalau duduk bersama orang yang kasar. Bagaimana anak kita yang hidup bersama kita orang tuanya yang kasar? Bagaimana dia mau merasa tenang selama bertahun-tahun bersama ayah ibunya yang seperti itu?

Salah Kaprah Keberanian

Di sisi sebagian orang-orang awam, orang jahil, dan orang yang tidak mengerti, mereka menamakan sikap yang timbul akibat marah itu dengan kejantanan dan keberanian. Seakan-akan orang yang bisa melampiaskan kemarahannya itu adalah pahlawan/ jagoan. Mereka memberi nama-nama pelampiasan marah tersebut dengan laqab-laqab (gelar) yang bagus dan baik. Seperti jagoan, pemberani, atau pun hebat. Akhirnya orang tersebut tatkala marah, dia melampiaskan kemarahannya dengan berbuat kezaliman. Tatkala dia berbuat kezaliman, dalam dirinya dia menyebut dirinya sebagai jagoan atau pahlawan. Ketahuilah, semua ini adalah tipuan syaithan untuk menjerumuskan kaum muslimin dalam kemarahan dan kezaliman.

Ketahuilah para pendengar sekalian rahimakumullah,

Tatkala seseorang marah, syaithan itu sudah bersama dia. Syaithan sedang mengintai dia. Syaithan akan memperbesar marahnya dan menjerumuskan dia ke dalam perbuatan yang lebih parah; kezaliman, jinayah, atau kriminal. Karena syaithan tahu bahwa itu adalah kesempatan terbaik untuk menjerumuskan seseorang dalam perbuatan-perbuatan tersebut karena kemarahannya.

Perkataan Para As Salafush Shalih

Sekarang kita akan menyebutkan beberapa perkataan dari assalafushshalih. Yang pertama dari Ja’far bin Muhammad rahimahullah. Dia mengatakan,

الغضب مفتاح كل شر

“Marah merupakan kunci dari semua keburukan.”

Dikatakan juga kepada Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullahu ta’ala,

يا عبد الله بن المبارك, اجمع لنا حسن الخلق في الكلمة فقد ترك  الغضب.

“Wahai Abdullah bin Mubarak, tolong kumpulkan kepada kami akhlak yang baik dalam satu kalimat.” Kata beliau, “Hendaknya engkau meninggalkan kemarahan.”

Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu ta’ala,

قد أفلح من اُصِمَ من الهوى والغضب والطمع.

“Sungguh beruntung orang yang terjaga dari hawa nafsunya, kemarahannya, dan dari rasa tamaknya (keserakahan).”

Di antara masalah yang dikatakan dalam kemarahan yaitu bahwa musuhnya akal itu adalah kemarahan. Kemudian juga Syaikh katakan bahwasanya segala kerusakan itu ada pada kemarahan.

Syaikh menjelaskan di antara perkataan mereka para ulama yang paling indah dan paling baik yang pernah beliau temukan, yaitu bahwasanya awal dari kemarahan merupakan kegilaan dan akhir dari kemarahan adalah rasa penyesalan. Karena orang yang marah tatkala sedang berada di puncak amarahnya, maka dia seperti orang yang gila; sifat, perkataan, dan perbuatannya. Kemudian jika orang yang sedang marah ini hilang marahnya, lalu seseorang menceritakan kepadanya bahwa ketika marah dia begini dan begitu, maka dia tidak akan ridha. Karena sikap-sikap yang timbul tatkala dia sedang marah adalah sikapnya orang gila.

Kemudian Syaikh menyebutkan bahwa akhir dari rasa marah adalah penyesalan. Namun tidak ada faidah dari penyesalan tersebut. Dengan demikian, dalam penjelasan yang telah lalu kita mengetahui bahwasanya wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat penting dan sangat agung. Wasiat yang terlihat sepele namun sangat agung, yakni لَا تَغْضَبْ “Janganlah engkau marah.”

Makna Laa Taghdhab

Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, “Apa makna dari wasiat tersebut?”

Para ulama menjelaskan makna dari perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam لَا تَغْضَبْ “Janganlah engkau marah.” itu mengandung dua perkara;

1. Akhlak Yang Mulia

Perkara yang pertama yaitu perintah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari perkataan لَا تَغْضَبْ “Janganlah engkau marah”. Maksudnya adalah agar orang-orang melakukan sebab-sebab yang bisa menghilangkan kemarahan. Kemudian membiasakan dirinya untuk berada di atas akhlak yang mulia berupa kesabaran, sikap bijak, sabar dengan gangguan manusia baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Maka jika seorang manusia diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa berakhlak mulia dengan rasa sabar, bersikap bijak, dan sabar dengan gangguan manusia, ketika timbul salah satu sebab yang bisa membuat hatinya bergejolak/ marah, dia akan bisa menahan diri dengan akhlaknya yang baik. Dan dia bisa menerima gangguan tersebut dengan kesabarannya dan sikap bijak.

Kita mengetahui bahwasanya di dalam kaidah, perintah terhadap sesuatu maknanya adalah memerintahkan perkara tersebut dan juga memerintahkan perkara yang lain yang perkara tersebut tidak sempurna kecuali dengan perkara yang lain. Demikian juga larangan terhadap sesuatu adalah perintah untuk menjalankan lawannya.

Contohnya ada pada hadits yang sedang kita bahas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk marah. Maksudnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk melaksanakan lawan dari rasa marah, yaitu sabar, sikap bijak, dan akhlak yang mulia. Seseorang tidak mungkin bisa melaksanakan sikap sabar kecuali dia berakhlak mulia.

2. Jangan Melampiaskan Marah

Adapun perkara yang kedua dari perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam لَا تَغْضَبْ “Janganlah engkau marah” artinya jangan kau lampiaskan amarahmu. Tatkala seseorang sedang marah, maka dia ingin melampiaskan marahnya. Dan dia sebenarnya mampu untuk melampiaskan marahnya. Akan tetapi kalau kita melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam لَا تَغْضَبْ “Janganlah engkau marah” maka kita berusaha untuk menahan diri.

Kita tahan diri kita agar tidak melampiaskan kemarahan hingga akhirnya tidak mengeluarkan perkataan-perkataan yang buruk atau melakukan tindakan-tindakan buruk yang merupakan tanda orang yang sedang marah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا مَا غَضِبُوا۟ هُمْ يَغْفِرُونَ

“dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura[42]: 37)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

ليسَ الشديدُ بالصّرعَةِ، إنما الشديدُ الذي يملكُ نفسهُ عند الغضب

“Orang yang kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan lawannya ketika bergulat. Akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika sedang marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

MP3 Makna Laa Taghdhab

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Makna Laa Taghdhab” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Selanjutnya: Mengatasi Penyakit Marah

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: