Konsultasi Syari’ah : Hukum Nikah Siri
Pertanyaan :
Bagaimana hukum nikah siri dalam tinjauan syari’at?
Jawaban :
Istilah nikah siri di tempat kita ada beberapa pemahaman. Kita akan urutkan beberapa pemahaman tentang nikah siri. Dan berikut kita akan sebutkan kaitan hukumnya.
1. Nikah tanpa wali
Nikah siri yang dipahami sebagai nikah tanpa wali dan tidak ada saksi. Sehingga dilakukan secara rahasia. Tidak ada wali yang sah dari pihak wanita. Dan ini yang sempat semarak kemarin ada kasus orang yang kemudian melelang sebagian wanita. Sebenarnya ini mirip dengan human trafficking (jual beli manusia).
Nikah semacam ini hukumnya batal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengatakan;
لا نكاح الا بولي
“Tidak ada nikah kecuali melalui wali yang sah.” (HR. Abu Daud 2085, Ibnu Majah 1881, at Tirmidzi 1101)
Kemudian dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;
أيما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها باطل.
“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya bathil (batal), maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil.” HR. Ahmad
Karena itulah pernikahan siri dalam arti nikah tanpa wali yang sah -tidak menghadirkan wali ayahnya yang sah- maka nikah semacam ini adalah nikah yang bathil. Dan karena statusnya bathil, maka nikah ini tidak sah. Sehingga hubungan yang terjadi ketika itu adalah hubungan zina.
2. Nikah tanpa saksi
Nikah siri dipahami sebagai nikah tanpa saksi. Maksudnya bagaimana? Dia menikah ada wali yang sah tapi tidak ada saksi. Yang tahu hanya seorang lelaki dan perempuan. Tidak memenuhi kriteria saksi dalam pernikahan. Dan kriteria saksi yang sah dalam pernikahan adalah minimal dua orang laki-laki. Sehingga ketika hanya diketahui oleh seorang lelaki atau seorang wanita, maka ini tidak diperbolehkan. Dan saksi itu adalah selain pelaku. Karena itulah, saksi di luar pengantin laki-laki, wali dari pihak wanita, dan pengantin wanita. Sehingga mereka adalah orang selain tiga orang ini.
Pernikahan tanpa saksi semacam ini adalah pernikahan yang batal. Sebagaimana pendapat ulama empat madzhab, baik di kalangan hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, dan hambaliy.
Dan ada satu riwayat dari ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, beliau pernah mendapatkan informasi ada orang yang menikah namun yang menyaksikan pernikahannya hanya dua orang; seorang lelaki dan seorang wanita. Kemudian ‘Umar mengatakan, “Aku menghukumi nikah ini adalah nikah yang batal. Andaikan aku hadir ketika itu, aku akan merajam mereka.”
Ini menunjukkan bahwasanya pernikahan ini adalah pernikahan yang tidak sah. Sehingga ketika hal itu nekat dilakukan, maka ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu menilai sebagai perbuatan zina.
3. Nikah tanpa diumumkan
Nikah siri dalam arti tidak diumumkan atau tidak diwalimahkan. Dia ada wali yang sah, ada saksi yang sah, namun tidak ada walimah (tidak disebarkan kepada masyarakat). Maka apakah nikah semacam ini adalah nikah yang sah?
Jumhur ulama mengatakan nikah semacam ini adalah sah. Yang saya maksud jumhur di sini adalah hanafiyyah, syafi’iyyah, dan hambaliy. Sementara menurut malikiyyah, nikah semacam ini tidak sah karena tidak ada isyhar. Dan isyhar atau mengumumkan pernikahan, dalam malikiyyah harus dilakukan, tidak boleh tidak. Sementara menurut jumhur, tidak harus. Dan wallahu a’lam, in syaa Allah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Akan tetapi meskipun kita memilih pendapat jumhur, kita tetap tekankan bagi kaum muslimin untuk melakukan i’lan nikah, yaitu mengumumkan nikah. Dan yang dimaksud i’lan nikah kalau menurut pendapat jumhur ulama yang itu hukumnya wajib -misalnya-, isyhar yang itu hukumnya wajib, adalah isyhar dalam arti ada saksi di sana. Ada dua orang saksi laki-laki yang memenuhi persyaratan untuk menjadi saksi dalam akad pernikahan.
Akan tetapi menurut pendapat malikiyyah, tidak cukup hanya sebatas saksi. Harus ada pengumuman, bisa dalam bentuk walimah, atau dia sebarkan kepada masyarakat bahwasanya kami menikah.
4. Nikah tanpa lapor ke KUA
Nikah siri dalam arti nikah yang tidak dilaporkan ke KUA (lembaga resmi negara). Apakah nikah semacam ini adalah nikah yang sah? Memang bukan termasuk bagian dari persyaratan sah nikah bila harus dilegalkan secara negara. Karena negara dalam hal ini sifatnya hanya untuk kepentingan administratif, dan dalam rangka merapikan atau membuat kondisi masyarakat agar lebih rapi dalam masalah akad nikah semacam ini. Karena itulah bukan syarat dalam akad nikah; harus disaksikan oleh negara. Sehingga tidak harus ada KUA di sana. Memang betul demikian.
Hanya saja, kita tetap menekankan, bahwa dalam pernikahan sebisa mungkin dicatat di KUA. Apa susahnya orang ketika menikah harus mendatangi KUA? Dan apa susahnya untuk menghadirkan lembaga resmi dari negara?
Terlebih lagi akan lebih banyak mudharat yang akan dialami oleh salah satu di antara kedua belah pihak atau termasuk keturunannya ketika dia tidak mempunyai catatan sipil di KUA. Maka tetap kita tekankan bagi umat muslimin, menikahlah secara legal.
Pernikahan itu bukanlah sesuatu yang tabu. Pernikahan adalah sesuatu yang resmi dan baik. Karena itu silahkan diumumkan, dan dilegalkan secara negara.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa pernikahan itu dengan mitsaqan ghalizha.
…وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan para wanita itu mengambil perjanjian yang sangat kuat dari kalian.” QS. An Nisaa’ : 21
Makanya perjanjian semacam ini jangan dibuat remeh, tapi ini dibuat dengan perjanjian yang sangat kuat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebut mitsaqan ghalizha.
Karena itulah untuk semakin memperkuat perjanjian tadi, kita laporkan ke KUA -lembaga resmi negara-. Agar nanti ada surat yang resmi, dan nanti ketika ada keturunan, mudah bagi keturunan untuk mendapatkan akta, bisa mendapatkan kartu keluarga, dan seterusnya.
Kita juga menekankan kepada kaum muslimin agar ketika menikah mengadakan walimah semampunya. Walimah itu tidak harus mewah, yang penting mengundang orang di sekitar yang mempunyai kepentingan dengan kita, misalnya tetangga atau keluarga, dan kawan-kawan. Tidak harus banyak, yang penting mereka mempunyai kepentingan dengan kita. Yang saya maksud mempunyai kepentingan adalah kalau misalnya kita bergandengan dengan seorang wanita, tidak menimbulkan su’uzhan. Karena kita telah memberitahu kepada mereka bahwa kita telah menikah.
Tapi kalau orang yang tidak memiliki kepentingan misalnya tetangga jauh dan teman jauh. Tahu dan tidak tahunya mereka tentang pernikahan kita tidak berpengaruh apa-apa, maka mungkin Anda tidak harus mengundangnya.
Ini mungkin solusi yang bisa diberikan bagi mereka yang mungkin menghadapi kesulitan dalam masalah dana walimah.
Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘Anhu, ketika beliau ditanya oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang bekas minyak wangi di pakaiannya. ‘Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Saya baru saja menikahi seorang wanita anshar dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
بارك الله لك أولم ولو باشاة
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahimu dan lakukanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing.” HR. Tirmidzi 1094 dan An Nasa’i 3372
Dan perintah di sini menurut jumhur ulama adalah perintah yang sifatnya anjuran (tidak wajib). Karena itu kita tekankan kepada kaum muslimin yang menikah hendaknya mengadakan walimah.
Wallahu a’lam.
Komentar