Berikut pembahasan Kultum Singkat Tentang Bersyukur Kepada Allah yang disampaikan Ustadz Abu Yahya Badrusalam Hafizahullahu Ta’ala.
Transkrip Kultum Singkat Tentang Bersyukur Kepada Allah
Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Lalu bagaimana kita bersyukur kepada Allah? Banyak orang berkata, “kita bersyukur” Lalu bagaimana tata cara merealisasikan syukur itu sendiri?
Tentunya merealisasikan syukur adalah sesuatu yang mudah, InsyaAllah. Akan tetapi kita butuh kepada sesuatu yang bisa memberikan pemahaman tentang hakikat daripada syukur itu sendiri.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersyukur. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Nuh sebagai:
عَبْدًا شَكُورًا
“Hamba yang banyak bersyukur” (QS. Al-Isra[17]: 3)
Sungguh ini menunjukkan bahwasanya kategori hamba yang bersyukur adalah merupakan perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu bagaimanakah kita bersyukur ya akhi?
Ketahuilah, sesungguhnya seseorang disebut bersyukur apabila ia telah memenuhi tiga syarat:
Pertama, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hatinya bahwasanya itu adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda Allah Ta’ala berfirman:
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ : مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ : مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Masuk diwaktu pagi ini di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir kepadaKu. Adapun orang yang mengatakan, ‘kami dihujani dengan karunia Allah dan rahmatNya, dia adalah orang yang beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang berkata, ‘kami dihujani dengan bintang ini dan itu’ Maka ia adalah orang yang kafir kepadaKu dan ia beriman kepada bintang-bintang.”
Saudaraku, lihat, hamba ini menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah. Berarti orang yang menisbatkan nikmat kepada Allah dan mengakui dengan hatinya bahwasannya nikmat itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka berarti ia telah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka dari itu, saudaraku..
Ini adalah merupakan syarat yang pertama dikatakan seorang hamba bersyukur kepada Allah. Yaitu pengakuan dengan hati bahwasannya nikmat itu semuanya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah hamba yang bersyukur.
Kemudian yang kedua, saudaraku, hamba yang bersyukur adalah yaitu yang mengucapkan dengan lisannya. Dia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memuji Allah dan berucap Alhamdulillah. Maka ia telah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena saudaraku, Allah sangat suka dan sangat cinta untuk dipuji. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنْ اللَّهِ
“Tidak ada siapapun yang paling suka untuk dipuji melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Allah cinta kepada hamba-hambaNya yang suka memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, saudaraku, orang yang senantiasa memuji adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya seorang hamba apabila telah makan lalu ia mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan kepadaku makanan ini dan memberikan rizki kepada ku makanan ini dengan tanpa ada daya dan upaya kecuali melainkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Maka kata beliau, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Subhanallah, saudaraku, berarti hamba ini adalah hamba yang bersyukur kepada Allah. Hamba ini, ia mengetahui bahwasanya nikmat itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua kenikmatan yang kita rasakan itu dari Allah, maka Pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan musibah yang menimpa kita hendaknya kita memuji Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ» ، وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ»
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila ditimpa kenikmatan, beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua kebaikan menjadi sempurna.” dan apabila beliau ditimpa oleh Allah musibah, beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan.” (HR. Ibnu Majah)
Subhanallah,
Adapun yang (ketiga), saudaraku, maka sesungguhnya orang yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang menggunakan kenikmatan ini dalam rangka beribadah kepada Allah, menggunakan kenikmatan itu untuk beramal shalih, menggunakan kenikmatan yang Allah berikan kepada dia berupa nikmat sehat dan nikmat berbagai macam nikmat berupa harta, kemudian ia gunakan untuk dijalan Allah, ia infakkan hartanya dijalan Allah, ia jadikan kesehatannya untuk beribadah kepada Allah. Berapa banyak orang yang tertipu oleh kesehatan dan waktu luang? Berapa banyak orang yang tidak menggunakan kesehatan dan waktu luangnya? Pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Ibnu Majah)
Ketika kenikmatan sehat itu, saudaraku, digunakan sebaik-baiknya, ia berusaha untuk mentaati Allah ketika ia sehatnya, maka ia telah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saudaraku, sesungguhnya ini adalah merupakan hakikat syukur. Yaitu:
Pertama, mengakui dengan hati, bahwa ini adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ia nisbatkan nikmat itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun kemudian ia menisbatkan nikmat kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itulah kufur kepada Allah. Disebutkan dalam ayat Allah Ta’ala berfirman ketika menyebutkan tentang si Qorun yang ia berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash[28]: 78)
Qarun menisbatkan nikmat kepada dirinya. Ia mengatakan bahwa aku diberikan harta yang banyak seperti ini akibat daripada kecerdasanku, daripada kepintaranku. Subhanallah, si Qarun telah kufur nikmat. Ia menisbatkan nikmat itu kepada dirinya. Andaikan dia menisbatkan nikmat itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu dia akan menjadi orang-orang yang bersyukur.
Akan tetapi saudaraku, seorang hamba tentunya mengakui bahwasanya nikmat itu dari Allah. Oleh karena itu saudaraku, termasuk kufur nikmat ketika ia menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pujilah Allah yang telah memberikan nikmat kepada kita. Berapa banyak nikmat apabila kita hitung kita tidak akan bisa menghitungnya.
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا
“Kalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah kamu tidak akan bisa menghitungnya.” (QS. An-Nahl[16]: 18)
Manfaat Bersyukur
Saudaraku, seorang hamba ketika bersyukur kepada Allah, Allah akan tambahkan lagi. Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim[14]: 7)
KIetika kita bersyukur kepada Allah, mensyukuri nikmat yang begitu banyak yang memberikan kepada kita, Allah akan tambahkan tambahkan dan tambahkan lagi, Subhanallah. Diberikan keberkahan dalam kalimat kita.
Kenikmatan Menjadi Malapetaka
Maka dari itu ya akhi, janganlah sampai kenikmatan yang Allah berikan kepada kita berubah menjadi malapetaka. Bagaimana bisa? Kenikmatan itu berubah menjadi malapetaka, kapan? Ketika kenikmatan itu menipu diri kita. Kita menganggap seakan-akan kenikmatan itu tanda Allah sayang kepada kita. Sehingga ketika Allah berikan kenikmatan seakan-akan itu adalah merupakan tanda kasih sayang Allah kepada kita. Padahal belum tentu, saudaraku. Dengarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (diulur oleh Allah) dari Allah.”(HR. Ahmad)
Lalu Rasulullah membawakan firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Ketika mereka telah melupakan apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami bukakan pintu-pintu segala sesuatu; sehingga apabila ia telah gembira merasa senang dengan apa yang Allah berikan kepada dia, sekonyong-konyong adzab kami menimpa dia, ternyata dia pun termasuk orang-orang yang bersedih hati.” (QS. Al-An’am[6]: 44)
Subhanallah, saudaraku, lihatlah! Orang ini diberikan kenikmatan oleh Allah akibat maksiatnya. Ternyata itu tanda bahwa ia di istidraj (diulur oleh Allah supaya bertambah kesesatannya). Ini sesuatu yang sangat menakutkan sebagai seorang Mukmin. Ternyata nikmat itu berubah menjadi malapetaka. Nikmat itu akibat daripada ia tidak mensyukurinya. Ia gunakan nikmat itu untuk berbuat maksiat kepada Allah.
Maka, saudaraku, ketika seorang hamba diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kenikmatan, kemudian ia mengintropeksi dirinya, ia memeriksa dirinya, apakah kenikmatan ini akibat ketaatan dia? Ketika kenikmatan menghampiri kita dan kita ingat Alhamdulillah selama ini kita berbuat ketaatan, maka pujilah Allah. Itu adalah sebagai sebuah keberkahan yang Allah berikan kepada hamba.
Tapi ketika nikmat itu menghampiri kita setelah kita berbuat maksiat, Subhanallah.. Ini yang menakutkan diri kita, ini yang membuat kita khawatir, jangan-jangan ini istidraj.
Subhanallah, saudaraku, Imam Ahmad bin Hambal pernah disampaikan kepada beliau, “Apa itu wahai Imam Ahmad, orang-orang memuji engkau Imam Ahmad” Tapi apakah kata Imam Ahmad bin Hambal?
Beliau berkata, “Aku khawatir ini istidraj dari Allah agar aku tambah sesat.”
Subhanallah, rupanya Imam Ahmad bin Hambal merasa khawatir apabila nikmat itu berupa pujian manusia, berupa apapun yang Allah berikan kepada kita ternyata itu menjadi sebuah istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Makanya, saudaraku, kita diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wajib kita syukuri. Dan kita pun juga hendaknya ketika diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, intropeksi diri. Jangan sampai ternyata nikmat itu akibat maksiat-maksiat yang Allah berikan kepada kita.
Parameter Kasih Sayang Allah
Saudaraku, janganlah engkau jadikan kenikmatan itu parameter seseorang diberikan oleh Allah kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.” (QS. Al-Fajr[89]: 15)
Allah memberikan kenikmatan kepada dia, ia berkata, “Rabbku memuliakanku.” Seakan-akan kemuliaan itu ia ambil sebagai parameter bahwasannya seseorang itu diberikan nikmat oleh Allah berarti ia mulia. Kalau begitu, orang-orang kafir yang kaya raya itu pun termasuk orang-orang yang dimuliakan oleh Allah? Ini tidak mungkin, saudaraku.
Parameter seorang Mukmin tiada lain adalah keimanan dan ketakwaan. Maka dari itu ya akhi, nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita berupa nikmat kesehatan, nikmat waktu luang, nikmat harta benda, nikmat diberikan kemudahan kita untuk memakan makanan-makanan yang lezat, gunakanlah itu semuanya untuk mentaati Allah. Sehingga kenikmatan itu tidak berubah menjadi malapetaka untuk hidup kita.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga kenikmatan-kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada kita menjadi sebuah keberkahan dalam hidup kita. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, saudaraku, agar kita termasuk seorang hamba yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentunya diantara rasa syukur kita adalah dengan cara mempelajari agama Allah, dengan cara menuntut ilmu Allah, lalu kita mengamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Maka kemudian kita berusaha untuk istiqamah diatas jalan yang haq. Kemudian kita senantiasa berdo’a kepada Allah:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai yang membolak-balikan hati, kokohkan hati kami diatas agamaMu.”
Maka itulah, saudaraku, Hamba yang bersyukur, hamba yang berbahagia. Setelah diberikan kenikmatan oleh Allah di dunia, Allah pun memberikan kenikmatan di akhirat. Itu sesuatu yang tentunya kita harapkan.
Ini saja yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan yang saya sampaikan bermanfaat.
Sumber Kultum Singkat Tentang Bersyukur Kepada Allah
Kultum Singkat Tentang Bersyukur Kepada Allah
📚 Kultum Singkat Tentang Bersyukur
🔉 Pemateri: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
📹 Sumber Video: Yufid TV – Ceramah Singkat: Cara Bersyukur yang Benar Agar Rezeki Semakin Melimpah
Mari turut menyebarkan link kajian Kultum Singkat Tentang Bersyukur Kepada Allah di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Pencarian: Transkrip Kultum Singkat Tentang Bersyukur, contoh Kultum Singkat Tentang Bersyukur, Kultum Singkat Tentang bersyukur untuk pelajar, teks Kultum Singkat Tentang bersyukur,
Komentar