Tulisan tentang “Materi 18 – Mari Melawan Riya’” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafidzahullah.
Sebelumnya: Materi 17 – Nasib Donatur Yang Riya’
Transkrip Materi 18 – Mari Melawan Riya’
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antara hal yang membantu kita untuk melawan riya’ adalah kita memikirkan bagaimana nasib orang yang beramal karena riya’ di dunia. Di antaranya orang yang riya’ di dunia, yaitu gelisah.
1. Gelisah
Dia akan gelisah di dunia ini. Karena tujuan dia adalah mencari pujian dan sanjungan masyarakat, dia akan gelisah sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal.
Sebelum beramal, dia akan berusaha mempersiapkan proses pencitraannya, berusaha gelisah apakah dengan cara begini orang akan memujinya atau takut kalau cara begini jangan-jangan dia malah dicela, dia sibuk memikirkan bagaimana komentar manusia, dan itu sudah dia pikirkan sebelum dia action, sebelum dia beramal shalih.
Kemudian ketika dia sedang beramal shalih, apalagi kalau di live, apalagi kalau dia siaran langsung, maka dia tahu mata-mata sedang memandangnya dan semua mata itu memiliki penilaian terhadap dirinya. Ketika dia menjadikan penilaian masyarakat sebagai pusat kebahagiaannya, maka ini akan membuat dia menjadi gelisah, dan itu adalah siksaan tersendiri sehingga dia gelisah dan khawatir orang menilai orang dengan tidak baik, sementara dia mencari pujian dari mereka.
Demikian juga setelah beramal shalih, dia pun menjadi gelisah menanti-nanti kapan dipuji oleh masyarakat atau kawan-kawannya. Kalau tidak ada yang kasih tanda like, maka dia gelisah, kalau followernya tidak bertambah, dia sedih. Sampai terkadang dia mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa hatinya tersayat-sayat ketika tidak ada yang memujinya.
Misalnya dia berkata: “Percuma saya kasih sedekah sama dia, dia tidak terima kasih sama saya.” Misalnya: “Percuma saya menolong Si Fulan, dia tidak menghargai pertolonganku.” Atau dia berkata: “Percuma saya berhaji dengan mengeluarkan uang puluhan juta atau haji plus sampai ratusan juta, toh masyarakat tidak menghormatiku, toh masyarakat tidak panggil aku dengan Pak Haji,” orang menulis namanya di kartu undangan tanpa tulisan “Haji” dia menjadi marah. Atau seperti seorang berkata: “Percuma saya memberi ceramah agama kepada mereka, ternyata toh mereka tidak menghormati saya, tidak menyanjung saya,” dan yang lainnya.
Ini membuat dia gelisah kalau ternyata dia tidak dipuji. Penungguannya menunggu pujian tersebut adalah sesuatu penderitaan tersendiri. Oleh karenanya sebagian orang terkadang ketika bikin status dan tidak ada yang puji, dia ulangi lagi statusnya. Tunggu tidak ada yang like, kalau tidak ada yang like, maka dia gelisah. Bolak-balik dia melihat komentar, ada yang like atau tidak, dan itu hanyalah kegelisahan yang ada pada dirinya.
Kalaupun ternyata ada yang memujinya, terkadang pujian tersebut tidak sesuai dengan harapan. Ternyata yang like sedikit, maka dia pun sedih. Ternyata orang yang dia bantu hanya mengatakan “syukron” sehingga dia kurang puas dengan pujian tersebut. Maunya orang yang dia bantu tadi mengatakan: “Syukrooon, masyaAllah, bantuanmu benar-benar pada tempatnya, masyaAllah saya sangat terbantu dengan bantuanmu, kau menyelamatkanku….” Dia ingin pujiannya setinggi langit, tapi ternyata orang yang dibantu tidak pandai memuji, hanya mengatakan “Syukron, Jazakallahu Khairan“, maka dia pun kecewa.
Kalaupun dia mendapatkan pujian yang tinggi sesuai yang dia harapkan, toh pujian tersebut hanya sebentar. Orang memuji berapa menit, sih? Mungkin memuji hanya dengan mengirim WhatsApp yang dibaca tidak sampai satu menit sudah selesai pujian tersebut. Atau telepon, selesai. Setelah itu dia gelisah, kapan lagi dia ingin dipuji seperti itu, kapan lagi dia ingin dipuji seperti itu, dan teruslah dia gelisah. Dan ini menunjukkan orang yang riya’, kasihan dia. Kebahagiannya di dunia dia letakkan kepada komentar netizen.
Berbeda dengan orang yang ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada yang puji atau tidak ada yang puji, maka tidak ada urusan bagi dia. Kalau ada yang puji dia maka dia berusaha memperbaiki hatinya, karena dia tahu bahwa dia beribadah hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan kita tahu sebagian orang shalih tidak suka dipuji karena dia khawatir niatnya yang sudah dia perjuangkan ikhlas bisa jadi berubah gara-gara pujian yang terkadang banyak dari pujian tersebut hanya dilakukan oleh para penjilat dan kemunafikan dan yang lainnya.
Seorang kalau ingin bahagia, maka dia ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan menjebak dirinya dalam riya’, karena dia akan terjebak dalam kegelisahan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
Selanjutnya: Materi 19 – Nasib Orang yang Riya’ di Dunia
Perhatian Materi 18 – Mari Melawan Riya’
⚠️ Note: Kalau team UFA merevisi audionya, insyaAllah catatan ini juga akan direvisi sesuai dengan audio yang baru.
Komentar