Materi 41 – Tawakal sebagai Pengumpul Iman

Materi 41 – Tawakal sebagai Pengumpul Iman

Untaian Mutiara Nasihat: Amalan Agar Terhindar dari Azab Kubur
Materi 45 – Tawakal untuk Perdamaian, Ibadah, dan Menghadapi Musibah
Materi 10 – Faedah Ikhlas 8 dan 9

Tulisan tentang “Materi 41 – Tawakal sebagai Pengumpul Iman” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.

Sebelumnya: Materi 40 – Keutamaan dan Urgensi Tawakal kepada Allah

Materi 41 – Tawakal sebagai Pengumpul Iman

Di antara urgensinya tawakal adalah:

2. Tawakal pengumpul keimanan

Artinya seseorang tidak mungkin bisa bertawakal kecuali jika imannya kuat. Oleh karenanya Ibnu Abbas rahimahullahu ta’ala berkata:

التَّوَكُّلُ عَلَى اللَّهِ جِمَاعُ الْإِيمَانِ

“Tawakal kepada Allah adalah pengumpul keimanan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Dan juga lafal yang sama diriwayatkan dari muridnya, yaitu Sa’id bin Jubair Rahimahullahu Ta’ala. Yaitu: “Tawakal kepada Allah adalah pengumpul segala keimanan.”

Hal ini karena seseorang tidak mungkin bertawakal kecuali imannya dia kuat. Yaitu di antara buktinya dia tidak bisa tawakal kecuali dia bisa mengumpulkan tiga macam tauhid; tauhid rububiyah, tauhid al-asma’ wa shifat, dan tauhid al-uluhiyah.

Tauhid rububiyah, yaitu dia meyakini bahwasanya segala perkara di alam semesta ini yang mengatur hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki maka pasti terjadi, dan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kehendaki tidak terjadi.

إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Jika Allah menghendaki sesuatu, Allah hanya mengatakan ‘jadi’ maka jadilah.” (QS. Yasin[36]: 82)

Dia hanya bisa bertawakal dengan tawakal yang sempurna kalau dia meyakini bahwa yang mengatur semua urusan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun yang terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karenanya kalau kuat dalam hatinya keyakinan seperti ini, maka dia akan mudah bertawakal. Dia tahu bahwasanya semua selain Allah ini hanyalah sebab, yang menentukan akibat semuanya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apapun yang terjadi di alam semesta ini hanyalah sebab, yang menentukan akibatnya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, ketika dia meyakini akan hal ini, penyandaran hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat kuat.

Demikian juga seorang tidak mungkin bertawakal kecuali dia memiliki keimanan kepada tauhid Al-Asma’ wa Shifat dengan iman yang baik. Makanya di antara nama Allah adalah Al-Wakil (Yang Maha Mengurusi hamba-hambaNya).

Makanya di dalam Al-Qur’an datang sekitar 5 ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا

“Dan cukuplah Allah sebagai wakilmu (yaitu Yang Maha Mengurusmu).” (QS. Al-Ahzab[33]: 3)

Dalam ayat yang lain:

وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلًا

“Dan cukuplah Rabbmu sebagai wakil.” (QS. Al-Isra'[17]: 56)

Kemudian juga dalam ayat-ayat yang lain:

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Adalah sebaik-baik penolong dan sebaik-baik pemegang urusan.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 173)

Ketika seseorang meyakini nama Allah Al-Wakil, dia tahu bahwasanya Allah-lah sebaik-baik pemegang urusan. Kalau begitu kita mau serahkan urusan kepada siapa? Kita mau serahkan urusan kepada manusia, kepada makhluk, kita menyadarkan hati kita kepada makhluk, tentu tidak, jangan!

Maka tatkala kita tahu Allah “sebaik-baik pemegang urusan,” maka kita serahkan urusan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adalah suatu kehinaan jika seorang hamba menyerahkan urusannya kepada hamba yang semisalnya. Makanya di antara doa Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرَفَةَ عَيْنٍ، ولا أقل من ذلك

“Ya Allah, jangan Engkau serahkan urusanku kepada diriku meskipun hanya sekejap mata.” HR. Abu Dawud

Semua yang ada di hadapan kita berupa usaha, mungkin bos kita, dokter, semuanya itu bukanlah tempat kita menyerahkan urusan. Urusan kita, kita serahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah sebaik-baik pemegang urusan.

Kapan seorang bersandar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusannya, maka sungguh dia telah mengalami الخذلان (ditinggal oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sungguh dia telah bersandar kepada sesuatu yang sangat lemah.

Maka seseorang tidak bisa bertawakal kecuali dia meyakini nama Allah Al-Wakil.

Kemudian seorang tidak mungkin bisa bertawakal dengan baik kecuali dia juga mengamalkan tauhid Al-Uluhiyah. Dia tahu bahwasanya tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ibadah. Dan ibadah tersebut adalah ibadah hati. Sebagaimana pernah kita sebutkan, Al-Imam Ahmad rahimahullahu ta’ala mengatakan:

التوكل عمل القلب

“Tawakal adalah amalan hati.”

Dan ini salah satu bentuk tauhid Al-Uluhiyah, yaitu meyakini bahwasanya hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang semata-mata berhak untuk kita menyerahkan segala urusan dengan sepenuh hati. Hanya Allah yang semata-mata kita bisa serahkan kepasrahan kita, kepercayaan kita, hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karenanya, barangsiapa yang bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu hatinya bersandar kepada selain-Nya, dia telah melakukan kesyirikan. Tinggal dilihat apakah syirik kecil atau syirik besar.

Makanya orang yang pakai jimat dikatakan dia terjerumus dalam kesyirikan karena dia tawakal kepada jimat yang tidak berhak untuk dijadikan tempat untuk bertawakal. Penyadaran hati hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Itulah pengamalan dari tauhid Al-Uluhiyah, bahwa di antara ibadah adalah menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari sini kita tahu bahwasanya benar perkataan Ibnu ‘Abbas rahimahullahu ta’ala :

التَّوَكُّلُ عَلَى اللَّهِ جِمَاعُ الْإِيمَانِ

“Bahwasanya tawakal kepada Allah adalah pengumpul seluruh keimanan.”

Karenanya dalam ayat-ayat yang lain juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan tawakal dengan keimanan. Seperti perkataan Nabi Musa ‘Alaihis Salam kepada kaumnya:

يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ

“Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah, maka hendaknya kalian bertawakal kepada Allah jika kalian adalah muslimin.” (QS. Yunus[10]: 84)

Perhatikanlah bagaimana Nabi Musa ‘alaihissalam mempersyaratkan “Kalau kalian beriman, buktinya adalah tawakal.”

Kemudian juga dalam surat yang lain, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Dan sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah yang jika disebutkan ‘Allah’, maka akan takut hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, akan bertambah keimanan mereka. Dan mereka bertawakal kepada Allah.” (QS. Al-Anfal[8]: 2)

Di sini juga digandengakan iman dengan tawakal.

Inilah, tawakal adalah puncak daripada keimanan, bahkan dia mengumpulkan segala bentuk iman. Termasuk tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah dan tauhid al-asma’ wa shifat.

Perhatian Materi 41 – Tawakal sebagai Pengumpul Iman

⚠️ Note: Kalau team UFA merevisi audionya, insyaAllah catatan ini juga akan direvisi sesuai dengan audio yang baru.

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: