Tulisan tentang “Materi 56 – Perkataan Ulama tentang Tawadhu’ (part 2)” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.
Sebelumnya: Materi 55 – Perkataan Ulama tentang Tawadhu’
Materi 56 – Perkataan Ulama tentang Tawadhu’ (part 2)
Kita masih melanjutkan perkataan para ulama salaf tentang tawadhu’. Agar kita benar-benar paham apa itu makna tawadhu’ dalam mempraktekkannya di kehidupan sehari-hari.
Di antaranya Al-Fudhail bin ‘Iyadh (Arab: الفضيل بن عياض) Rahimahullah pernah ditanya tentang apa itu tawadhu’? Dia menjawab:
يخضع للحقِّ، وينقاد له، ويقبله ممَّن قاله
“Dia tunduk kepada kebenaran, dan dia taat kepada kebenaran, dan dia menerima kebenaran tersebut dari siapa yang mengucapkannya.”
Tawadhu’ itu seseorang yang mementingkan Al-Haq, meskipun datang dari orang yang lebih rendah daripada dia, kalau ini kebenaran maka dia terima. Meskipun datang dari musuhnya. Misalnya dia tidak suka dengan orang ini/ orang ini benci sama dia, tapi orang itu ternyata mengucapkan kebenaran, maka dia harus tunduk karena hatinya tahu bahwa dia harus tunduk kepada kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Maka dia harus tunduk kepada kebenaran tersebut.
Tidak seperti sebagian orang ketika datang kebenaran dari lawan debatnya misalnya, dari musuhnya misalnya, dia tidak bisa terima, hatinya tinggi, dia merasa kalau dia tunduk kepada kebenaran berarti dia rendah di bawah lawan debatnya tersebut. Sehingga akhirnya dia mengangkat suara. Padahal dia tahu bahwasanya apa yang diucapkan oleh lawan debatnya tersebut benar. Akhirnya dia putar kanan putar kiri tidak mau terima. Ini bukan tawadhu’ namanya, hatinya penuh dengan kesombongan.
Perkataan yang lain dari Ibnul Mubarak (Arab: ابن المبارك) Rahimahullahu Ta’ala, beliau berkata:
رأس التَّواضُع أن تضع نفسك عند مَن هو دونك في نعمة الدُّنْيا حتى تُعْلِمه أن ليس لك بدنياك عليه فضل
“Puncak daripada tawadhu’ yaitu engkau memposisikan dirimu di depan orang yang dunianya lebih sedikit daripada engkau (lebih miskin) tapi engkau tidak merasa tinggi di hadapan dia. Sehingga kau memberitahu kepada dia bahwasanya kekayaanmu tidak membuat engkau lebih tinggi daripada dia.”
Karena kita tahu bahwasanya yang dinilai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketakwaan, bukan bagusnya pakaian, bukan bagusnya mobil, bukan bagusnya tas, bukan bagusnya sepatu, bukan bagusnya dompet, bukan indahnya rumah dan kendaraan, bukan.
Oleh karenanya Ibnul Mubarak memandang kalau engkau tawadhu’ -meskipun engkau lebih kaya daripada dia- maka ketika engkau duduk dengan dia, ketika bercengkrama dengan dia, jangan kau tunjukan kau lebih tinggi daripada dia.
Seperti sebagian orang ketika dia berbicara maka dia mengatakan: “Saya punya ini, saya punya anu,” Subhanallah dia banggakan dirinya dengan apa yang dia miliki sehingga semakin menyedihkan orang di hadapan dia. Dia ingin menunjukkan “Saya lebih hebat daripada kamu,” orang tawadhu’ bukan demikian. Meskipun dia punya harta lebih banyak, dia berusaha memposisikan dirinya lebih rendah daripada orang yang lebih miskin daripada dia agar dia memberi tahu orang miskin tersebut bahwasanya “Saya tidak tidak lebih hebat daripada engkau di sisi Allah hanya karena dengan dunia. Dunia tidak menjadikan aku lebih hebat daripada engkau.”
Tentu mempraktekkan perkataan Ibnul Mubarak ini sulit. Tapi kita berusaha, berjuang, jangan sampai harta memperdayakan kita sehingga kita merasa kita lebih hebat dari seseorang. Gara-gara mobil mewah yang kita miliki, gara-gara sepeda motor yang kita miliki, gara-gara jam tangan yang kita miliki, gara-gara pakaian yang lebih indah yang kita miliki dan yang lainnya.
Justru ketika kita tahu orang tersebut mungkin lebih miskin daripada kita, kita berusaha untuk merendah di hadapan dia, dan ini adalah puncak daripada tawadhu’, kata Ibnul Mubarak Rahimahullahu Ta’ala.
Di antara perkataan para salaf tentang tawadhu’, yaitu dari Yahya bin Al-Hakam bin Abil Al-Ash (Arab: يحيى بن الحكم بن أبي العاص), dia berkata kepada Abdul Malik: “Lelaki mana yang lebih afdhal?” Maka Abdul Malik berkata:
مَن تواضع عن رفعة
“Seseorang yang tawadhu’ padahal kedudukan dia tinggi.”
Yaitu seseorang yang bisa merendahkan dirinya meskipun kedudukannya tinggi, baik itu dari nasabnya atau dari hartanya atau dari jabatannya.
Dan di antara orang yang paling hebat adalah:
وزهد على قُدْرَة
“Yang bisa zuhud meskipun dia mampu.”
Intinya dia mengatakan bahwa lelaki yang terbaik adalah seorang yang tawadhu’. Padahal dia mampu untuk tinggi, mampu untuk hebat, tapi dia tawadhu’.
Jadi bukan tawadhu’ terpaksa. Ada orang yang memang tidak punya kemampuan kemudian tawadhu’, memang kendaraannya murahan maka dia tawadhu’, memang jam tangannya murahan, dia mau sombong tapi tidak bisa sehingga dia tawadhu’. Ini tawadhu’ terpaksa. Karena memang tidak bisa dia sombongkan dan dia banggakan.
Kita berbicara tentang seseorang yang dia punya sebab-sebab/yang memang tinggi kedudukannya. Memang dia anak orang kaya misalnya, memang dia anak pejabat misalnya, memang dia nasabnya tinggi, mungkin dia orang alim, mungkin dia orang hebat, tapi dia tawadhu’.
Allahu Akbar, ini orang yang sangat luar biasa yang menunjukkan hatinya bersih dari segala bentuk kesombongan.
▬▬•◇✿◇•▬▬
Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Materi 56 – Perkataan Ulama tentang Tawadhu’ (part 2)” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Baarakallahu fiikum..
Komentar