Tulisan tentang “Materi 69 – Tawadhu’ Tidak Merasa Besar Diri di Hadapan Orang Lain” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.
Sebelumnya: Materi 68 – Tawadhu’ Terhadap Orang Miskin
Materi 69 – Tawadhu’ Tidak Merasa Besar Diri di Hadapan Orang Lain
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Mulai saat ini kita akan bahas tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan praktik nyata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap sikap tawadhu’. Dan kita tahu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah إمام المُتواضعين (imamnya para orang-orang yang tawadhu’). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempraktikkan contoh-contoh terindah yang akan kita lewati insyaAllah mulai pertemuan kali ini.
Di antara contoh praktik nyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tawadhu’ adalah sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu, dan hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah dalam sunannya dan dishahihkan oleh Syaikh Albani Rahimahullahu Ta’ala.
Abu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَكَلَّمَهُ فَجَعَلَ تُرْعَدُ فَرَائِصُهُ
“Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu dia berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka tiba-tiba dia gemetar ketakutan,”
Dia ketakutan karena berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memiliki karismatik yang luar biasa. Orang itu ketakutan ketika berbicara dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada dia:
هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Tenangkan dirimu, aku bukan raja, aku hanyalah seorang anak dari wanita yang memakan daging yang diberi garam dan dikeringkan (makanan biasa).” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan tentang bagaimana tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kita tahu banyak raja atau banyak penguasa yang justru ingin membesarkan diri mereka di hadapan rakyatnya. Maka dicitrakan, kemudian dipuji-puji, disanjung-sanjung, sehingga semakin ditakuti, semakin karismatik di hadapan rakyatnya. Sampai akhirnya banyak di antara mereka yang sombong dan angkuh.
Lihatlah Fir’aun yang mengatakan kepada rakyatnya:
أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَٰذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِن تَحْتِي
“Bukankah aku pemilik kerajaan Mesir, sungai-sungai mengalir di bawah kakiku?” (QS. Az-Zukhruf[43]: 51)
Dia ingin menunjukkan kehebatan dia, bahkan sampai akhirnya melampaui batas, dia berkata:
أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى
“Aku adalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi.” (QS. An-Nazi’at[79]: 24)
Dan demikianlah banyak dari penguasa yang justru ingin meniupkan dalam pikiran rakyatnya bahwasanya dia adalah orang yang hebat, dia adalah orang yang sangat mulia dan yang lainnya. Dan demikianlah kondisi dari sebagian raja dan sebagian penguasa.
Dan demikian juga seseorang ketika ingin menonjolkan dirinya, dia mengatakan: “Aku adalah anak dari pangeran tertentu, aku adalah anak dari jagoan ini, aku adalah anak dari si fulan, si fulan,” menisbahkan dirinya kepada kakeknya atau kepada bapaknya atau kepada moyangnya, untuk menunjukkan kehebatannya.
Tapi lihatlah apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika orang yang datang kepada beliau ini berbicara dengan gemetar, daging yang ada di antara lambung dan belikatnya bergetar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menenangkan orang ini. Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pertama:
هَوِّنْ عَلَيْكَ
“Tenangkan dirimu.. (santai saja berbicara denganku, tidak perlu gemetar).”
Sebagian orang malah bangga kalau ada orang yang gemetar di depan dia. Berarti orang ini takut sama dia, berarti dia hebat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengatakan: “Tenangkan dirimu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ
“Saya bukan raja, (tidak perlu takut seperti itu berbicara denganku).”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Aku adalah putra dari seorang wanita…”
Tidak seperti tadi saya katakan: “Aku adalah putra dari raja ini/ pangeran ini/ nenek moyangku ini/ bapakku ini/ kakekku ini,” justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan dirinya kepada seorang wanita. Karena wanita bukanlah sesuatu yang perlu dibangga-banggakan, wanita makhluk yang lemah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Aku adalah anak dari seorang wanita yang makan Al-Qadid.”
Al-Qadid yaitu daging yang dikeringkan. Artinya bukan makan daging yang baru dipotong, daging segar, berbangga-bangga makan daging ini dan itu, tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin orang itu tenang, maka beliau mengatakan: “Ibuku juga adalah wanita biasa yang makan daging yang dikeringkan.” Ini adalah makanan orang sederhana yang tidak bisa tiap hari makan daging yang segar, maka harus dipotong, dikeringkan, dimakan di waktu-waktu susah, makan daging yang diasinkan.
Ini menunjukkan bagaimana tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar orang ini menjadi tenang di hadapan beliau dan bisa berbicara dengan beliau dengan tenang. Karena dia ketakutan melihat karismatik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Seakan-akan kalau bahasa kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Saya ini sama seperti yang lainnya,” kalau kita orang Indonesia: “Saya ini hanyalah putra seorang wanita yang memakan beras,” artinya memakan makanan biasa.
Inilah tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika ada orang yang gemetaran dan kagum dengan karismatik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menenangkan dirinya.
Inilah salah satu dari sikap tawadhu’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadapi orang yang gemetar ketika berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan mengangkat-angkat dirinya, bahkan merendahkan dirinya agar orang yang berbicara di depan dengan beliau tenang di hadapannya.
▬▬•◇✿◇•▬▬
Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Materi 69 – Tawadhu’ Tidak Merasa Besar Diri di Hadapan Orang Lain” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Baarakallahu fiikum..
Komentar