Tulisan tentang “Materi 70 – Tawadhu’ Ketika Berkunjung dan Menghadiri Undangan” ini adalah catatan yang kami tulis dari Audio kajian khusus peserta WAG UFA OFFICIAL yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A. Hafizhahullah.
Sebelumnya: Materi 69 – Tawadhu’ Tidak Merasa Besar Diri di Hadapan Orang Lain
Materi 70 – Tawadhu’ Ketika Berkunjung dan Menghadiri Undangan
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Kita masih membahas hadits-hadits tentang tawadhu’, yaitu bagaimana praktik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang tawadhu’.
Hadits berikutnya, dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu:
أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ
“Bahwasanya neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memakan makanan yag dibuat oleh nenek tersebut.”
فَأَكَلَ مِنْهُ
“Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memenuhi undangan dan makan dari makanan tersebut.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
قُومُوا فَلَأُصَلِّيَ لَكُمْ
“Ayo bangun, saya akan shalat untuk kalian.”
Anas berkata:
فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ
“Maka aku pun menuju ke hashir (semacam tikar) yang sudah kehitam-hitaman karena terlalu lama dipakai.”
فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ
“Maka aku pun mencipratkan air kepada tikar tersebut.”
Yaitu untuk agar melicinkan atau melembutkan tikar yang kehitam-hitaman tersebut karena terlalu lama di pakai.
فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di atas tikar tersebut.”
وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا
“Maka aku dan anak yatim berada di shaf pertama di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian di belakang kami ada nenek tua.”
فَصَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
“Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat untuk kami dua rakaat kemudian beliau pun pergi.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan tentang tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kita tahu Anas bin Malik adalah pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Ummu Sulaim (ibunya Anas bin Malik) Radhiyallahu ‘Anha ketika Nabi hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah, maka dia pun membawa putranya diserahkan kepada Nabi untuk menjadi khadim (pembantu) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Anas bin Malik pun menjadi pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sekitar 9 atau 10 tahun sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.
Yang menjadi perhatian kita, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perhatian kepada pembantunya. Anas bukan siapa-siapa, pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian pembantunya tersebut punya nenek yang bernama Mulaikah (ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Ummu Sulaim sendiri, ada yang mengatakan Mulaikah) yang kemudian mengundang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk makan makanan.
Ini padahal bukan undangan walimatul ‘ursy. Kita tahu bahwasanya undangan yang wajib untuk dipenuhi adalah undangan walimatul ‘ursy (pesta pernikahan). Adapun acara-acara lain selain pernikahan maka tidak wajib.
Tapi lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu tawadhu’nya, yang mengundang adalah nenek dari rumah pembantunya, kemudian hanya makanan sekedarnya, bukan makanan yang mewah. Makanya dikatakan لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ (makanan yang dibuat oleh nenek tua), tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tawadhu’nya pergi ke rumah tersebut agar menyenangkan hati mereka, hati sang pembantu (Anas bin Malik Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu).
Kemudian bukan cuma itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanfaatkan kunjungannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dari makanan tersebut, dan ini juga adalah bentuk tawadhu’, kemudian setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil manfaat dari kunjungan tersebut dengan mengajari mereka shalat. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Berdirilah, aku akan shalat untuk kalian.”
Nabi memanfaatkan waktu untuk mengajari mereka tentang cara shalat. Kita tahu namanya wanita mungkin jarang melihat bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat. Kesempatan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke rumahnya, maka Nabi ajarkan bagaimana cara shalat.
Kemudian juga Anas berkata: “Maka aku pun mengambil tikar yang sudah kehitam-hitaman.” Tikar itu sudah lama, mungkin kurang bersih atau terlalu lama dipakai atau dibiarkan sehingga menjadi kehitam-hitaman.
Anas melanjutkan: “Kemudian aku pun percikkan air,” mungkin tadinya keras agar menjadi agak lembut. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di atas tikar tersebut. Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tawadhu’.
Artinya tidak dihadirkan di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tikar yang baru, yang lunak, yang lembut, yang halus, tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah meskipun tikar sudah lama, bahkan sudah kehitam-hitaman. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun shalat di atas tikar tersebut.
Ini hadits yang menunjukkan tentang tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bagaimana beliau mendatangi rumah pembantunya, bahkan mengajarkan ilmu, sengaja untuk memberikan faedah kepada mereka, shalat di atas tikar yang lama.
Kemudian setelah itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi dan seharusnya demikian. Yaitu ketika seorang bertamu, maka secukupnya karena masing-masing punya kegiatan, yang penting sudah memenuhi undangan mereka.
Oleh karenanya disebutkan di antara ulama yang tawadhu’ -saya pernah mendengar cerita- adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, yaitu gurunya Syaikh Al-‘Utsaimin, Rahimahullahu Ta’ala. Beliau di kampungnya, hampir seluruh orang-orang di kampungnya pernah dia kunjungi rumahnya.
Bagaimana tawadhu’nya beliau datang ke rumah Si Fulan, kemudian nanti lain waktu datang ke rumah tangga yang lain. Karena dahulu memang rumah tidak begitu banyak. Tapi intinya beliau tawadhu’ dengan kesibukannya yang luar biasa masih sempat untuk mengunjungi rumah orang-orang di kampungnya. Hal itu tentu menyenangkan mereka.
Ini juga saya dengar tentang Syaikh Jibrin Rahimahullahu Ta’ala, saya dengar dari sopirnya langsung yang merupakan orang Indonesia. Yaitu tentang bagaimana Syaikh Jibrin yang mempunyai jadwal untuk acara makan malam atau walimah, dan itu jadwalnya sangat padat. Setiap hari beliau datang ke rumah orang yang punya acara.
Beliau diundang dan beliau datang. Tentu ini menunjukkan bahwasanya tawadhu’ beliau memenuhi undangan yang tidak mesti orang-orang besar, tidak mesti orang-orang pejabat. Siapa saja bisa mengundang beliau, kalau beliau ada waktu, maka beliau akan datang.
Demikianlah tawadhu’nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tawadhu’nya para ulama.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita sifat tawadhu’. Wallahu A’lam Bishshawab.
▬▬•◇✿◇•▬▬
Mari turut menyebarkan catatan kajian tentang “Materi 70 – Tawadhu’ Ketika Berkunjung dan Menghadiri Undangan” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Baarakallahu fiikum..
Komentar