Kajian Mengikhlaskan Niat Kepada Allah Ketika Menuntut Ilmu ini merupakan adab pertama dari kajian 15 Adab di Majelis Ilmu. Disampaikan oleh Ustadz Muhamad Nuzul Dzikri Hafidzahullah di Masjid Al-Barkah Cileungsi pada tahun 1433 H / 2012 M.
Adab di Majelis Ilmu
Menit ke-2:19 Setelah kita membahas beberapa hal yang berkaitan dengan kata pengantar atau mukaddimah tentang materi yang berjudul adab dan akhlak ini, pada kesempatan malam hari ini kita akan mulai menapaki dan melangkah adab demi adab yang ada di dalam syariat Islam. Dan adab yang pertama yang saya pilih untuk membuka rangkaian adab dan akhlak yang ada di dalam syariat Islam adalah adab dan akhlak yang berkaitan dengan majelis ilmu.
Bagaimana seorang muslim, bagaimana seorang penuntut ilmu, ia beradab dan berakhlak di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika ayat-ayat Al-Qur’anul Karim dibacakan di hadapannya, disampaikan dan dijabarkan di hadapannya? Dan bagaimana ia beradab di hadapan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Jadi sekali lagi, adab dan akhlak yang pertama kali kita akan angkat, yang kita pelajari bersama (baik yang berbicara maupun yang mendengarkan) adalah adab dan akhlak yang berkaitan dengan majelis ilmu.
Kita akan mulai mengkaji adab demi adab dalam majelis ilmu. Apa yang harus kita persiapkan dan apa yang harus kita lakukan ketika kita melangkahkan kaki ke majelis ilmu? Dan apa yang harus kita lakukan ketika sudah berada di majelis ilmu tersebut?
Majelis ilmu adalah tempat yang tidak bisa dipisahkan dengan seorang muslim, apalagi orang yang berusaha mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena di dalamnya kita mengenal ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, di dalamnya kita mengetahui sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita mengetahui sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita mengetahui gerak-gerik beliau, sikap beliau, perbuatan beliau, dan betapa indahnya syariat yang beliau ajarkan kepada umatnya.
1. Mengikhlaskan Niat Kepada Allah
Menit ke-4:57 Sebuah adab yang sangat terkenal, adab yang sangat masyhur di tengah-tengah kaum muslimin, yaitu mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hendaknya seorang muslim ketika ia melangkah ke sebuah masjid untuk menghadiri majelis ilmu atau ke tempat-tempat lain dimana ilmu itu diajarkan, hendaklah ia benar-benar menancapkan keikhlasan di dalam hatinya. Tidaklah ia pergi kecuali hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghilangkan kebodohan di dalam dirinya dan di dalam hati orang-orang sekitarnya. Ia niatkan untuk mengamalkan ilmu tersebut, ia niatkan untuk mengamalkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupannya, keluarganya, lingkungan terdekatnya, sampai pada tatanan masyarakatnya.
Oleh karena itu ia akan menjaga niatnya tersebut sehingga tidak ternodai oleh noda-noda seperti seperti riya‘, sum’ah (yaitu seseorang beramal dan memperlihatkan atau memperdengarkan amalnya agar dipuji oleh orang lain). dab inilah yang dijelaskan oleh para ulama.
Jadi sebelum kita berbicara adab yang lain, bagaimana cara duduknya, bagaimana menyimak di majelis ilmu, yang pertama kali yang harus kita tetapkan dulu adalah untuk apa kita hadir ke tempat ini? Untuk apa kita mengkaji Al-Qur’anul Karim? Untuk apa kita membahas sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Inilah metoda para ulama.
Oleh karena itu tidak heran hadits yang ditulis oleh Al-Imam Bukhari untuk membuka ribuan hadits yang beliau cantumkan dalam Shahih Bukhari adalah hadits tentang niat.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى،
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan ada dan tergantung niatnya dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya tersebut.”
Dan itupun yang dilakukan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Arbain An-Nawawiyah, dalam kitabnya Riyadhus Shalihin. Itupun yang dilakukan oleh Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam kitabnya Umdatul Ahkam dan para ulama yang lain. Mereka memulai buku beliau dengan hadits tentang niat. Hal ini sebagai peringatan bagi kita, pesan moral untuk kita agar setiap menuntut ilmu hendaknya mengikhlaskan niatnya ketika mendatangi majelis-majelis ilmu agama.
Oleh karena itu marilah kita mengikhlaskan niat tersebut. Karena untuk apa kita jauh-jauh datang dari rumah ke tempat yang mulia ini? Untuk apa kita menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan Al-Qur’an itu dikaji kalau niat kita tidak ikhlas? Ingatkah kita tentang analogi atau contoh yang dibawakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang masalah niat? Setelah Nabi memberikan sebuah kaidah, menjelaskan sebuah prinsip bahwa setiap amal tergantung niatnya dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya, beliau memberikan sebuah contoh. Dan yang menariknya, amal yang dijadikan contoh adalah hijrah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang hijrah untuk Allah dan RasulNya, ia akan mendapatkan Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrah untuk dunia yang ingin ia capai atau wanita yang ia ingin nikahi, maka ia hanya mendapatkan apa yang ia niatkan tersebut.”
Allahu Akbar.. Contoh yang beliau angkat adalah hijrah. Sebuah amal yang tidak ringan, amal yang membuat seseorang harus mengorbankan perasaannya. Bagaimana tidak korban perasaan? ia harus meninggalkan kampung halamannya, ia harus meninggalkan saudara-saudaranya, ia harus meninggalkan keluarganya bahkan orang tua atau anaknya. Ibadah yang sangat sulit, ibadah yang menuntut seseorang mengorbankan hartanya. Ia harus meninggalkan rumahnya, ia harus meninggalkan tanahnya, ia harus meninggalkan hewan-hewan ternaknya. Ibadah yang menuntut seseorang untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Subhanallah.
Apalagi pada zaman sahabat dulu, mereka berhijrah dari Mekah. Dan kita tahu bersama tanah di Mekah, khususnya yang di sekitar Masjidil Haram nilainya sangat amat tinggi, itu mereka tinggalkan untuk Allah, mereka tinggalkan dalam rangka hijrah. Jadi tanah di sekitar Masjidil Haram, tanah di Mekah, itu lebih mahal daripada tanah di kampung tengah, lebih mahal daripada tanah di Jalan Sudirman, lebih mahal daripada tanah di Jalan Permata Hijau, lebih mahal daripada tanah di daerah Menteng, di daerah Pondok Indah. Itu mereka tinggalkan dalam rangka hijrah. Dan apa yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
“Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia (tidak ada Allah di dalam hatinya, artinya dia tidak menginginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala) atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia tidak mendapatkan kecuali yang ia niatkan.”
Allahu Akbar.. Ibadah yang sangat luar biasa ini tidak akan dianggap oleh Allah kalau niat kita tidak ikhlas. Apalagi yang modalnya jauh di bawah hijrah. Oleh karena itu ikhlaskan niat. Khususnya dalam mempelajari ilmu agama. Ingatlah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam Ahmad:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ia tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidaklah ia tuntut untuk mendapatkan sebongkah dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Allahu Akbar.. Ini adalah hadis yang menjelaskan pentingnya niat.
Oleh karena itu bersungguh-sungguhlah dalam menjaga niat. Karena pasti dan kita memastikan bahwa setiap kita akan diuji tentang niat-niaat kita. Dan semakin lama kita menuntut ilmu, semakin besar godaan untuk tidak ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini sudah terbukti. Sufyan Ats-Tsauri yang mengatakan:
ما عالجت شيئاً أشد من نيتي فإنها تتقلب عليّ
“Aku tidak pernah mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku. Karena niat adalah amalan hati dan hati itu berbolak-balik.”
Jadi kalau Sufyan Ats-Tsauri, ulama besar saja mengatakan demikian, apalagi kita? Dan apabila niat kita melenceng, maka datangnya kita ke majelis ilmu hanya akan menjadi bencana bagi kita.
Al-Imam Hammad bin Salamah mengatakan:
من طلب الحديث لغير الله ، مكر به
“Barangsiapa yang menuntut ilmu hadits bukan karena Allah, maka Allah akan membuat makar kepada dirinya.”
Subhanallah.. Allah akan membuat makar kepada diri kita. Jadi setiap kita yang datang ke sini, baik yang berbicara maupun yang mendengarkan, kalau niatnya tidak ikhlas, maka siap-siap saja menerima hukuman dari Allah, siap-siap saja menerima bencana dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Makanya tidak heran bagaimana para ulama benar-benar menekankan masalah ini. Bahkan seorang ulama besar bernama Al-Imam Ibnu Abi Hamzah pernah mengatakan:
وددت لو أنه كان من الفقهاء من ليس له شغل إلا أن يعلم الناس مقاصدهم في أعمالهم ويقعد للتدريس في أعمال النيات ليس إلا، فإنه ما أتي كثير من الناس إلا من تضييع ذلك
“Aku sangat ingin apabila ada salah satu pakar fiqih yang tidak punya aktivitas kecuali mengajarkan manusia tentang masalah niat/keikhlasan. Dan ia duduk mengajarkan manusia hukum-hukum yang berkaitan dengan niat/keikhlasan. Ia tidak mengajarkan kecuali hal itu saja. Karena banyaknya musibah yang menimpa manusia itu karena lalai dalam menjaga keikhlasan.”
Banyaknya musibah yang menimpa manusia itu karena lalai dalam menjaga keikhlasan.
Bayangkan, jadi jangan pernah merasa bosan mempelajari masalah keikhlasan. Jangan mengatakan: “Materinya ikhlas lagi, ikhlas lagi, saya sudah pernah mempelajari ikhlas.” Ingat hadirin sekalian, ikhlas itu bukan hanya sekadar permainan kata-kata, ikhlas itu bukan hanya sekedar retorika lisan, namun ikhlas adalah amalan hati yang sangat sulit untuk dikendalikan. Jangan kita, lihat bagaimana Imam Ibnu Abi Hamzah mengatakan demikian.
Jangan sekali-kali bosan mengkaji masalah keikhlasan. Orang yang bosan, orang yang jenuh, orang yang tidak tertarik membahas keikhlasan, ini salah satu tanda-tanda dia tidak ikhlas. Kita tahu bersama apa yang dikatakan Al-Imam Hasan Al-Bashri dalam riwayat Imam Bukhari, beliau mengatakan:
ما خافه إلا مؤمن ، ولا أمنه إلا منافق
“Tidak ada yang takut terhadap riya’ (ketidakikhlasan) kecuali orang-orang mukmin. Dan tidak ada satupun orang yang merasa aman dari ketidakikhlasan kecuali di dalam hatinya ada benih-benih kemunafikan.”
Jadi orang mukmin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, orang yang mengaji, orang yang menuntut ilmu agama, mereka adalah orang yang senantiasa waspada, jangan-jangan saya tidak ikhlas. Oleh karena itu pelajari, mujahadah (bersungguh-sungguh) untuk meluruskan niat dan berdoa kepada Allah agar kita mendapatkan hati yang ikhlas.
Dalam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari kesyirikan yang berpotensi aku lakukan padahal aku sudah mengetahuinya dan aku beristighfar kepada diriMu dari kesyirikan yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)
Catat baik-baik, minta kepada Allah setiap hari, khususnya di waktu-waktu mustajab. Karena keikhlasan adalah intisari agama kita.
Itulah adab yang pertama. Dan saya tidak memperpanjang adab ini karena sudah lebih dari satu kali kita kaji. Dan pun juga telah dikaji oleh para Ustadz-Ustadz kita yang lain. Jazakumullahu Khairan.
Selanjutnya: 2. Bersemangat menghadiri majelis-majelis ilmu
Mp3 Kajian Mengikhlaskan Niat Kepada Allah Ketika Menuntut Ilmu
Podcast: Download (Duration: 41:42 — 12.0MB)
Sumber: radiorodja.com
Silahkan dibagikan, semoga bermanfaat dan menjadi pembuka pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..
Komentar