Penjelasan Kitab Tauhid Aswaja ini adalah catatan dari pembahasan “Kitab Tauhid” Bab pertama dengan judul asli adalah “Hakikat Tauhid dan Kedudukannya”
Pembahasan Kitab Tauhid Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Kita sekarang berada dipengajian untuk membaca kitab yang penuh berkah, kitab yang sangat baik tentang permasalahan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang kita tahu bahwa tauhid merupakan tujuan yang tertinggi, maksud yang paling mulia secara mutlak. Oleh karenanya Syaikh ingin mengingatkan kepada seluruh pendengar tentang suatu faidah yang sangat agung yang seseorang harus mengerti akan faidah ini. Bahwasanya belajar tentang tauhid dan pembahasan tentang tauhid untuk mengenal tauhid harus dibangun diatas dalil dari Al-Quran maupun sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak boleh ada pembicaraan sedikitpun tentang tauhid tanpa dalil.
Oleh karenanya tauhid telah dijelaskan dengan sangat gamblang di Al-Quran dan sunnah. Dan para ulama telah memberi perhatian yang besar untuk menjelaskan tentang tauhid. Yaitu melalui dalil-dalil baik Al-Quran maupun dari sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maksudnya yaitu ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yang mereka membangun tauhid mereka diatas dalil.
Kitab yang ada di hadapan kita ini adalah karya dari Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala. Ini merupakan kitab yang penuh berkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kitab ini mendatangkan manfaat yang sangat besar dan betapa banyak orang-orang mendapatkan faidah dari kitab ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan mereka untuk mendapatkan faidah dari kitab ini dan Allah menghendaki kebaikan bagi mereka.
Kitab ini merupakan kitab yang terbaik yang ditulis tentang masalah tauhid. Karena Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -semoga Allah memperbesarkan ganjaran kepada beliau-, beliau telah menjelaskan dalam kitab beliau ini penjelasan tauhid yang sangat gamblang dan sangat-sangat jelas. Yaitu apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba, dan Allah menciptakan para hamba untuk bertauhid. Oleh karenanya, karena tauhid ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul dan karena tauhid juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitabNya.
Selain menjelaskan tentang tauhid dalam kitab beliau, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan tentang perkara-perkara yang bertentangan dengan tauhid atau yang bisa menghilangkan tauhid. Yaitu berupa syirik akbar (syirik besar) atau perkara-perkara yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid seperti syirik kecil maupun bid’ah-bid’ah dan akibat dari timbulnya perkara-perkara ini.
Oleh karenanya, jadilah kitab ini merupakan kitab yang sangat agung dalam pembahasannya. Yang memberikan faidah yang sangat besar dalam menjelaskan tentang tauhid. Oleh karenanya hendaknya kita memberi perhatian yang besar terhadap kitab ini. Perhatian khusus untuk mempelajari kitab ini. Karena banyak sekali faidah besar yang terdapat dalam kitab ini.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah memberikan ganjaran yang besar kepada Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala atas apa yang telah beliau jelaskan dan faidah yang telah beliau berikan. Beliau telah memberi nasihat, beliau telah memberi pengarahan kepada umat ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan amalan beliau ini menjadi pemberat timbangan kebaikan beliau.
Kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah memberi kepada kita manfaat, agar kita bisa mengambil faidah dari kitab ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan juga bisa melakukan amal yang shalih, mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mendengar dan juga maha mengabulkan permohonan hamba-hambaNya.
Penjelasan Kitab Tauhid (شَرْحُ كِتَابِ التَّوْحِيْدِ)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu Ta’ala membuka kitab tauhidnya dengan perkataan: “بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Membuka kitab beliau dengan mengucapkan “bismillah” adalah bentuk meneladani Al-Quran dan juga meneladani sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan “bismillah” atau al-basmalah merupakan kalimat isti’anah. Yaitu Perkataan yang menunjukkan permohonan pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya بِ (dengan) dalam kalimat bismillah berkaitan dengan suatu pekerjaan yang terhapuskan atau yang ditakdirkan. Maksudnya tatkala Syaikh mengatakan بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ artinya “dengan nama Allah”, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka aku menulis. Aku menulis kitab ini dengan mengharapkan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu makna bismillah.
Kemudian Syaikh mengatakan, “kitabut tauhid“. Maksudnya yaitu bahwa kitab yang saya tulis ini dalam rangka untuk menjelaskan tentang tauhid. Oleh karenanya kitab ini mengumpulkan tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan tauhid, kemudian juga menjelaskan tentang hak-hak tauhid dan juga memperingatkan tentang hal-hal yang bisa menafikan atau menghilangkan tauhid dari asalnya atau hal-hal yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid.
Setelah itu Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah membawakan beberapa ayat yang menjelaskan tentang tauhid. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan bahwasannya tauhid merupakan tujuan yang paling agung, tujuan yang paling utama. Oleh karenanya, dikarenakan tauhid lah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhlukNya, karena tauhid lah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul, karena tauhid lah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitabNya.
Adapun ayat yang pertama yang dibawakan oleh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwasanya tujuan diciptakannya manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dan tidak ada serikat bagiNya dan meninggalkan seluruh peribadatan kepada selain Allah. Ini tujuan penciptaan manusia dan jin sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini. Yaitu untuk beribadah kepada Allah semata, tidak berbuat syirik kepadaNya dan meninggalkan seluruh peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dan menciptakan jin agar mereka menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan makna firman Allah ” إِلَّا لِيَعْبُدُونِ” (kecuali untuk mereka menyembahKu), artinya agar mereka mentauhidkan Aku. Dan seluruh perintah dalam Al-Quran untuk beribadah artinya perintah untuk bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan manusia begitu saja. Tidak diperintahkan, tidak dilarang:
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah seorang manusia menyangka dia akan dibiarkan begitu saja?” (QS. Al-Qiyamah[75]: 36)
Perintah untuk bertauhid dan larangan untuk melakukan kesyirikan. Oleh karenanya Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada Allah saja. Sementara padahal Allah Maha kaya. Allah tidak butuh dengan ibadah mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan amalan-amalan mereka. Dan seluruh mereka (hamba-hamba Allah) adalah fakir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala sisi.
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan firman Allah berikutnya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh kami telah mengutus bagi setiap umat seorang Rasul yang mereka menyuruh kepada kaumnya, ‘sembahlah Allah saja dan tinggalkanlah thaghut’” (QS. An-Nahl[16]: 36)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya tujuan diutusnya para Rasul adalah menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agar mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata dan meninggalkan thaghut.
Maka seluruh Rasul yang diutus kepada umatnya, mereka menyeru kaumnya atau menyeru umatnya untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan agar memurnikan agama semata-mata hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya mereka berkata, ” أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ (sembahlah Allah saja/tauhidkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala)”, ” وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ (tinggalkanlah para thaghut)”. Dan thaghut dalam bahasa Arab berarti ‘melampaui batas’. Adapun yang dimaksud dengan thaghut yaitu seluruh perkara yang seorang hamba melampaui batas baik terhadap orang yang diikuti atau ditaati atau diibadahi.
Kemudian Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah membawakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah semata dan agar kalian berbakti dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua kalian.” (QS. Al-Isra'[17]: 23)
Adapun makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala وَقَضَىٰ رَبُّكَ, artinya yaitu Rabbmu memerintahkan atau mewasiatkan melalui lisan-lisan para RasulNya agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini dalil bahwasannya mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan agama hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan perkara yang paling wajib dan merupakan tujuan yang paling tinggi. Kalau kita perhatikan ayat ini isinya Allah buka dengan bertauhid kemudian Allah melanjutkan wasiat untuk berbakti kepada orang tua dan beberapa perkara-perkara yang Allah perintahkan. Lalu Allah mulai dengan tauhid, ini menunjukkan bahwasanya tauhid merupakan perkara yang paling agung atau yang paling utama karena wasiat Allah dibuka dengan tauhid dan tidaklah dibuka dengan yang pertama kecuali dengan wasiat yang paling agung.
Kemudian, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Jangan engkau mensekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan hendaknya kalian benar-benar berbakti kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa'[4]: 36)
Dalam ayat ini juga Allah memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata. Karena Dia lah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Esa dalam menciptakan, Maha Esa dalam memberi rezeki dan Maha Esa dalam memberi karunia. Maka wajib bagi para hamba untuk mengesakan Allah dalam peribadatan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Esa dalam penciptaan, tidak ada yang menciptakan kecuali Allah, tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah kepada para hamba, tidak ada yang memberi nikmat, anugrah kepada pada hamba kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah lah juga Maha Esa dalam peribadatan. Maka para hamba tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka harus menyembah kepada Allah saja dan tidak boleh mensekutukan Allah sama sekali.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا, “jangan berbuat syirik”. Ini merupakan penggabungan diantara dua rukun tauhid. Karena kita tahu rukun tauhid dibangun diatas An-Nafi (penafian) dan Itsbat (penetapan). Seperti kalimat La Ilaha Illallah (kalimat tauhid). La Ilaha (tidak ada sesembahan) ini adalah penafian. Illallah (kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala), ini adalah penetapan bahwasanya penyembahan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga dalam firman Allah ini. وَاعْبُدُوا اللَّـهَ (sembahlah Allah), ini adalah penetapan. وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا (dan jangan berbuat syirik sama sekali).
Kemudian, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,” (QS. Al-An’am[6]: 151)
Ayat ini juga semakna dengan ayat-ayat sebelumnya, menjelaskan tentang agungnya tauhid. Dan bahwasannya tauhid merupakan tujuan yang paling utama, kewajiban yang paling wajib. Di sini Allah berfirman: “Katakanlah kepada orang-orang Musyrik yang mereka menyembah kepada selain Allah, ‘Kemarilah, aku membacakan kepada kalian apa yang Rabb kalian haramkan kepada kalian. Yaitu aku kabarkan kepada kalian tentang ayat yang diturunkan kepadaku yang Allah haramkan kepada kalian. Isinya adalah jangan kalian berbuat syirik sama sekali kepada Allah Subhana wa ta’ala.'”
Artinya Allah mewasiatkan kepada kalian agar jangan berbuat syirik sama sekali. Ini menunjukkan bahwasannya menjauhkan diri dari kesyirikan dan mewujudkan tauhid merupakan perkara yang sangat wajib yang telah Allah wajibkan kepada hamba-hambaNya. Karena tauhid adalah perkara yang paling agung dan kesyirikan merupakan dosa yang paling besar.
Kemudian Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan perkataan Ibnu Mas’ud Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu yang dia berkata:
(( مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي عَلَيْهَا خَاتَمُهُ، فَلْيَقْرَأْ قَوْلَهُ تَعَالَى : )قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ(إِلَى قَوْلِهِ : )وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا( [الأنعام :151-153] الآية ))
“Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu ‘Alahi wa Sallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah ( Muhammad ) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain.”
Seakan-akan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa inilah wasiat Nabi yang terakhir. Kalau ini merupakan wasiat Nabi yang terakhir, maka tidak akan berubah dan tidak akan diganti. Wasiat tersebut isinya adalah tauhid.
Kemudian Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan salah satu hadits yang sangat agung. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Muadz bin Jabal Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu. Beliau berkata:
كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ. قَالَ: فَقَالَ: يَا مُعَاذُ! أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ وما حقُّ العبادِ عَلَى الله؟ قَالَ قُلْتُ: الله وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «فَإِنَّ حَقَّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللّهِ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً. وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً» قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ! أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: «لاَ تُبَشِّرْهُمْ. فَيَتَّكِلُوا
“Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku: “wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda: “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya: “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang? beliau menjawab: “Jangan engkau lakukan itu, karena khawatir mereka nanti bersikap pasrah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menjelaskan sebagaimana perkara yang telah kita jelaskan tentang keagungan tauhid. Tauhid merupakan hak Allah terhadap para hambaNya. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala ingin menjelaskan tentang agungnya hak Allah kepada para hamba, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan metode tanya jawab. Dengan metode tanya jawab ini, lebih mengena dalam hati Muadz bin Jabal Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu dan faidahnya lebih tertancap dalam dada Muadz bin Jabal Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu.
Maka Nabi bertanya, “Tahukah engkau apa itu hak Allah terhadap para hamba?” Maksudnya yaitu Allah mewajibkan kepada para hamba untuk melakukannya kepada Allah. Karena itu adalah hak Allah. Allah telah menciptakan mereka, maka Allah mempunyai hak atas mereka. Yaitu mereka harus beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik sama sekali.
Adapun hak para hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu hak yang Allah wajibkan kepada diriNya. Tidak ada yang mewajibkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi Allah mewajibkan hal ini kepada Allah sendiri karena Allah ingin memberikan karunia, Allah ingin memberikan nikmat kepada hambaNya dan karena kebaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala Muadz tidak mengetahui hak Allah terhadap hamba dan hak hamba terhadap Allah, maka Muadz berkata, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Ini merupakan adab yang indah dari Muadz bin Jabal. Dan ini merupakan pelajaran bagi siapa saja bahwasannya jika dia tidak mengetahui tentang jawaban sesuatu maka hendaknya ia mengatakan, “Allah yang lebih mengetahui.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akhirnya menjelaskan hak Allah terhadap para hamba. Yaitu hendaknya mereka mentauhidkan Allah, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu mereka menjauhi segala bentuk kesyirikan. Baik kesyirikan yang besar maupun kesryirikan yang kecil. Baik kesyirikan yang banyak maupun sedikit jangan didekati. Ini adalah hak Allah terhadap para hambaNya.
Adapun hak hamba terhadap Allah sebagaimana telah lalu penjelasannya, yaitu hak yang Allah wajibkan kepada diriNya sendiri. Tidak ada seorangpun yang bisa mewajibkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi Allah mewajibkan diriNya untuk berbuat baik kepada para hambaNya. Yang tidak berbuat syirik maka Allah tidak akan mengadzabnya sama sekali. Dengan syarat tidak berbuat syirik sama sekali, Allah berikan hak ini kepada mereka karena karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena kebaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian Muadz bin Jabal setelah mendengar penjelasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, “Apakah saya sampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang tentang keutamaan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bahwasannya Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sama sekali?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Janganlah engkau mengabarkan kepada mereka tentang keutamaan berpegang teguh dengan tauhid.” Kenapa? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Nanti mereka akan bersandar dengan keutamaan ini dan mereka tidak melakukan amalan.”
Di sini dalil bahwasanya boleh seseorang menyembunyikan sebagian ilmu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada Muadz agar tidak perlu dikabarkan kepada orang-orang. Khawatir mereka bersandar kepada keutamaan tauhid dan lupa untuk beramal.
Tapi ingat, yang diperbolehkan untuk disembunyikan adalah yang berkaitan dengan keutamaan. Bukan tentang hukum dan amal. Kalau masalah hukum dan masalah amal-amal tertentu, maka dia tidak boleh disembunyikan. Tetapi yang dimaksud adalah kalau ada keutamaan-keutamaan tertentu yang bisa membuat orang salah paham akhirnya bertawakal atau bersandar kepada keutamaan tersebut dan lupa untuk beramal, maka ini yang boleh disembunyikan.
Kesimpulan Kitab Tauhid Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Kesimpulan dari pembukaan kitab tauhid dan penyampaian diawal dari kitab tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu, yaitu beliau ingin menjelaskan tentang keagungan tauhid. Dimana beliau buka dengan beberapa ayat, kemudian beliau tutup dengan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu yang tadi telah kita sampaikan.
Semua dalil-dalil ini, baik Al-Quran maupun hadits menjelaskan tentang agungnya tauhid. Bahwasannya tauhid merupakan tujuan yang paling utama, tujuan diciptakannya makhluk adalah untuk tauhid. Dan bahwasanya Allah mengutus para Rasul adalah juga untuk tauhid.
Oleh karenanya tauhid merupakan kewajiban agama yang paling utama. Dan dia adalah yang harus didahulukan daripada yang lainnya. Tauhid merupakan hak Allah terhadap para hamba. Dan dia merupakan kewajiban yang paling terwajib secara mutlak.
Oleh karenanya ayat-ayat ini semua menjelaskan tentang keagungan tauhid. Dan kita tahu bahwasanya kedudukan tauhid dalam agama ibarat seperti akar pada pohon atau seperti pondasi terhadap bangunan. Tidak ada pohon tanpa akar. Pohon tidaklah terbangung kecuali di atas akar dan bangunan tidak mungkin terbangun kecuali di atas pondasi. Demikian juga agama tidak mungkin terbangun kecuali di atas tauhid.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita semua termasuk ahli tauhid dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menegarkan kita diatas mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mendengar dan maha mengabulkan permohonan hamba-hambaNya.
Catatan Kitab Tauhid Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Rekaman Ahad sore, 7 Rajab 1436 / 26 April 2015. Hakikat Tauhid dan Kedudukannya.
Komentar
[…] Catatan sebelumnya: 1# Penjelasan Kitab Tauhid Aswaja […]