Permisalan Hadits Niat

Permisalan Hadits Niat

Khutbah Jumat Singkat Tentang Amalan Pembuka Rezeki
Khutbah Jumat: Ketika Iman Masuk ke Hati
Ceramah Singkat Tentang Empat Macam Manusia

Tulisan tentang “Permisalan Hadits Niat” ini adalah apa yang bisa kami ketik dari kajian yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafizhahumullahu Ta’ala.

Sebelumnya: Faedah Hadits Niat

Permisalan Hadits Niat

Ingatlah para pendengar rahimakumullah,

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى itu berbeda dengan إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. Jadi ini bukan pengulangan. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama;

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Itu untuk menjelaskan apa tujuan seseorang itu untuk beramal. Tujuannya untuk membedakan tujuan tatkala dia beramal. Adapun yang kedua; وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ini untuk menjelaskan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Balasan bagi seseorang tatkala beramal tergantung dari niatnya ketika dia beramal.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh untuk menjelaskan hadits ini. Sebagaimana perkataan orang-orang dengan permisalan maka pembicaraan akan semakin jelas.

Beliau memberikan permisalan tentang hijrah dalam sabdanya;

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،

“Barangsiapa yang hijrah (dari kota Mekah menuju kota Madinah) karena Allah dan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka hijrahnya itu karena Allah dan RasulNya (hijrah syar’i).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna Hijrah

Kita mengetahui bahwasanya hijrah (هجرة) dalam Bahasa Arab artinya meninggalkan. Bisa jadi dari tempat yang penuh ketakutan kepada tempat yang ada keamanan. Contohnya hijrah dari Mekkah ke Negeri Habasyah ketika di awal-awal Islam. Atau berhijrah dari negeri kafir kepada negeri Islam. Contohnya dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Atau hijrah dari negeri yang penuh kesyirikan kepada negeri yang Islam. Ini semua hijrah.

Namun kapan seseorang hijrah, melakukan ibadah yang sangat agung ini mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala? Jawabannya adalah tergantung niatnya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan;

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Barang siapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Coba perhatikan di sini. Di sini ada kalimat syarat dan kalimat jawab. Syaratnya adalah “Barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”. Jawabannya adalah “Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Ternyata syarat dan jawab itu sama. Asalnya syarat dan jawab itu ada perbedaan. Artinya “Barangsiapa yang melakukan demikian, maka akan mendapatkan demikian dan demikian.” Namun dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dengan lafal yang sama. “Hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” baik dalam syarat maupun dalam jawab.

Apakah ini ada pengulangan? Syaikh menjawab; tidak. Maksudnya barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni niat dan tujuannya dia berhijrah adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Maka jawabannya adalah, barang siapa yang hijrahnya demikian, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena niatnya yang benar. Yaitu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi tidak ada pengulangan.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya;

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Adapun barang siapa yang berhijrah karena perkara dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka balasannya tergantung apa yang diniatkan.”

Yang satu hijrah karena dunia. Tentunya mungkin dia adalah pedagang. Yang satunya berhijrah karena untuk menikahi seorang wanita. Kalau kita perhatikan dari yang telah disebutkan di awal pembahasan, bahwasanya yang pertama adalah hijrahnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Adapun yang kedua ini berhijrah karena dunia atau karena ingin menikah.

Kalau kita perhatikan kedua bentuk amalan ini, maka kedua amalannya sama. Yaitu sama-sama hijrah, keluar dari rumah mereka. Sama-sama mengangkut barang mereka, mengendarai kendaraan mereka, kemudian sama-sama berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dan sama-sama letih menjalankan amalan tersebut.

Akan tetapi yang satu mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan yang satunya tidak mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang membedakan adalah niat. Oleh karena itu, Syaikh menjelaskan bahwasanya ini hanya sekedar contoh yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikan. Kita dituntut untuk menqiyaskan/ menganalogikannya kepada setiap ibadah kita. Kalau benar maka ibadah kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau jika tidak, maka kita tidak akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi, contoh yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikan tadi bukanlah bermaksud untuk mencela perdagangan atau mencela orang yang menikah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya untuk menjelaskan perbedaan. Hijrah adalah merupakan salah satu dari amalan shalih. Barang siapa yang niat hijrahnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala,maka dia akan mendapat pahala. Adapun barang siapa yang hijrahnya karena untuk perkara yang lain bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga perkara-perkara yang lain. Barang siapa yang berdakwah, menyampaikan ceramah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun barang siapa yang berceramah/ memberikan pengajian agar terkenal, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Melafalkan Niat

Syaikh mengingatkan bahwasanya niat secara bahasa Itu artinya adalah tujuan. Dan tujuan itu tempatnya di hati. Oleh karena itu tidak perlu seorang melafalkan niat. Contohnya tatkala dia ingin mandi janabah. Karena dia ingin membedakan antara mandi janabah dengan mandi biasa, kemudian akhirnya dia melafalkannya. Tidak benar seperti itu. Jangan sampai dia pergi ke kamar mandi kemudian dia berkata نويت ان اغتسل لله تعالى “Saya berniat untuk mandi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sebab yang telah saya lakukan.” Kemudian dia memperinci, “Tadi saya begini dan begini, maka saya mandi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Tidak perlu seperti itu. Tidak perlu dia mengatakan demikian.

Demikian juga tatkala seseorang sedang makan sahur. Maka dia tidak perlu melafalkan niatnya dengan mengatakan, “Saya berniat untuk makan ini dan itu dalam rangka untuk puasa karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Tidak perlu melafalkan. Karena pertama, niat itu tempatnya di hati. Yang kedua adalah niat itu masalah antara engkau dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui isi hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tatkala seseorang mengatakan, “Saya berniat.” Dia mengabarkan kepada siapa sebenarnya tujuannya? Dia mengatakan tujuannya untuk mengabarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu tidak perlu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu.

Oleh karena itu, seluruh ulama melarang seseorang untuk melafalkan niat. Tidak perlu melafalkan niat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu dan isi hati manusia ketika dia sedang beramal.

Patokan Setiap Amalan

Syaikh mengatakan bahwasanya jika seseorang melafalkan niat, maka yang menjadi patokan bukan pada yang dilafalkan. Melainkan apa yang ada di hatinya yang menjadi patokan. Bukan berarti setiap orang yang mengatakan “Saya shalat, niat karena Allah untuk mencari wajah Allah.” akan otomatis shalatnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak demikian. Yang menjadi patokan adalah niat yang ada di dalam hatinya.

Maka jika seseorang mengatakan, “Saya berniat untuk mengamalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Kemudian dia mengeraskan suaranya dan didengar oleh orang banyak, tetapi dalam hatinya dia riya‘, ingin manusia memujinya. Makanya dia mengeraskan suaranya agar manusia memujinya. Tentunya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima amalan dari orang seperti ini. Karena yang menjadi patokan adalah niatnya yang terdapat di hati.

Kemudian beliau mengingatkan bahwa sebagian dari saudara-saudara kita, semoga Allah memberkati mereka dan memberi hidayah kepada mereka, mereka terbiasa melafalkan niat terutama ketika sedang ingin shalat. Sebagian orang yang berdiri di belakang imam untuk shalat, kemudian dia mengatakan, “Ushalli..” Kemudian dia sebutkan, “Saya shalat zuhur secara berjamaah, dan seterusnya.” Kemudian terkadang mereka memperinci, “Saya shalat zuhur secara berjama’ah di belakang imam ini.” Dan suaranya didengar oleh orang yang berada di sampingnya. Maka Syaikh menjelaskan bahwasanya ini tidak benar. Kita tidak perlu mentafsil (menjelaskan) seperti itu; “Saya berniat shalat zuhur empat raka’at..” Tidak perlu. Yang menjadi patokan adalah di hati.

Mengapa demikian? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan sama sekali. Tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melafalkan niat. Hadits yang lemah pun tidak ada. Apalagi hadits yang shahih. Demikian juga tidak diriwayatkan dari para sahabat. Sahabat yang jumlahnya begitu banyak, tidak ada seorang pun dari mereka yang melafalkan niat. Oleh karena itu, yang paling benar adalah kita mencontohi perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Ada sebuah kisah, seseorang yang akan shalat dan kemudian dia melafalkan niat. Dia mengatakan, “Saya berniat shalat ini secara berjama’ah di masjid ini di belakang imam ini.” Hal ini didengar oleh orang di sampingnya dan dia merasa terganggu. Maka dia pun ditegur oleh orang di sampingnya, “Kamu belum menyebutkan hari apa, jam berapa, tanggal berapa. Perinciannya masih kurang.” Ini semuanya merupakan kesalahan.

Oleh karena itu, kebahagiaan adalah tatkala kita mencontohi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Selama mereka tidak melafalkan niat, maka kita pun tidak melafalkan niat.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan para pendengar sekalian untuk mengambil faedah dari beliau pada pengajian-pengajian yang selanjutnya.

Mp3 Kajian Permisalan Hadits Niat

Mari turut menyebarkan tulisan tentang “Permisalan Hadits Niat” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: