Kitab Riyadhush Shalihin Bab 143
Oleh: Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.
Riyadhush Shalihin Bab 143 : Disunnahkannya Berjabat Tangan
Kita sampai di bab 143. Bab ini dinamakan oleh Imam Nawawi sebagai bab yang membahas tentang disunnahkannya berjabat tangan, yang maksudnya adalah dianjurkan untuk berjabat tangan saat berjumpa dan menunjukkan wajah yang ceria.
Ada orang yang ketika berjumpa, wajahnya sinis atau dingin. Mungkin itu tabiat atau bawaan lahir. Namun, bisa jadi karena ia sedang punya masalah atau bersedih. Namun, kita dianjurkan untuk berwajah ceria ketika berjumpa. Jika memang bawaan lahir seseorang adalah wajah yang dingin dan cemberut, itu bisa diubah. Seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya. Ungkapan yang mengatakan “saya sudah dari lahir seperti ini” adalah bentuk keputusasaan dan kesalahpahaman bahwa tabiat tidak bisa diubah. Padahal, tabiat bisa diarahkan menjadi lebih baik.
Ada orang yang kadang ceria, kadang cemberut. Namun, ada juga orang yang selalu tersenyum ketika bertemu. Sebagaimana Jarir bin Abdullah mengatakan, setiap kali Nabi ﷺ melihatnya, beliau selalu tersenyum. Apalagi jika ada unsur menggembirakan orang lain. Jika engkau berkumpul dengan orang yang gembira, engkau juga akan ikut gembira. Yang awalnya suntuk atau galau, akan berubah ketika bertemu orang lain yang mengucapkan “Ahlan wa Sahlan” sambil berjabat tangan.
Seharusnya, seorang muslim ketika berjumpa, berjabat tangan dan menunjukkan keceriaan. Namun, perlu diingat, berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu diharamkan. Tetapi, jika sesama mahram atau laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, maka dianjurkan berjabat tangan sambil menampilkan keceriaan, meskipun engkau sedang susah.
Ada orang yang selalu mengeluh, dari wajahnya terlihat ia sedang susah, akhirnya hidupnya penuh dengan kesusahan. Namun, ada orang yang berusaha untuk selalu ceria, dan Allah memberikan kegembiraan kepadanya.
Bab ini juga membahas tentang hukum mencium tangan orang shalih. Ternyata, hal itu diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Selain itu, juga dianjurkan mencium anak sebagai bentuk rasa sayang.
Ada pembahasan tentang memeluk orang yang baru datang dari safar (bepergian). Ketika kita lama tidak berjumpa dengan seseorang yang baru pulang dari safar, dianjurkan untuk berpelukan.
Kemudian, dibahas pula tentang dimakruhkannya membungkukkan diri. Hal ini perlu diperinci, karena kita sering melihat kebiasaan masyarakat di Indonesia yang membungkukkan diri, ada yang hingga seperti ruku‘, ada yang tidak sampai batasan ruku‘.
Apa hukumnya? Jika kita membaca bab yang ditulis oleh Imam Nawawi, beliau tidak mengharamkannya, tetapi melarangnya. Namun, larangan ini tidak sampai pada tingkatan haram, melainkan makruh.
sampai sini editnya
Menit ke-12:20 Hadits nomor 855
عن أبي الخطاب قتادة، قال: قُلْتُ لأَنَسٍ: أكَانَتِ المصَافَحَةُ في أصْحَابِ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم ؟، قَالَ: نَعَم.
Diriwayatkan dari Abu al-Khattab Qotadah. Ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Anas, apakah berjabat tangan biasa dilakukan di kalangan sahabat Rasulullah ﷺ?” Anas menjawab, “Ya.” (HR. al-Bukhari)
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah ﷺ ketika menjelaskan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Ketika ditanya siapa golongan yang selamat, beliau menjawab, “Golongan yang menjalankan Islam seperti yang aku jalankan bersama sahabatku.”
Pertanyaan Abu al-Khattab Qotadah rahimahullah terkait dengan mengamalkan sunnah yang telah diamalkan di masa Nabi ﷺ. Ini berbicara tentang Islam yang biasa, tidak berlebihan. Qotadah bertanya apakah pada masa sahabat Nabi ﷺ, berjabat tangan menjadi kebiasaan atau tradisi ketika mereka berjumpa.
Perlu diingat, berjabat tangan dianjurkan saat berjumpa, bukan setelah shalat. Setelah shalat, cukup dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” tanpa berjabat tangan. Namun, jika baru berjumpa, dianjurkan untuk berjabat tangan, sebagaimana yang menjadi sunnah di masa sahabat Nabi ﷺ.
Berjabat tangan ini bukan hanya tradisi atau budaya, tetapi sebuah syariat yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang, serta mendatangkan karunia dari Allah.
Menit ke-15:44 Hadits nomor 886
وعن أنس – رضي الله عنه – قَالَ: لَمَّا جَاءَ أهْلُ اليَمَنِ، قَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «قَدْ جَاءكُمْ أهْلُ اليَمَنِ» وَهُمْ أوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالمُصَافَحَةِ . رواه أَبُو داود بإسناد صحيح.
Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Ketika penduduk Yaman datang, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Penduduk Yaman telah datang kepada kalian. Mereka adalah orang yang pertama kali datang dengan berjabat tangan.'” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih, dan disahihkan oleh Al-Albani)
Hadits yang baru saja kita baca berkaitan dengan kedatangan penduduk Yaman. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa mereka adalah kaumnya Abu Musa al-Asy’ari. Mereka sangat gembira saat akan masuk ke Kota Madinah untuk bertemu dengan Nabi ﷺ. Mereka berkata, “Besok kita akan bertemu dengan orang-orang yang kita cintai,” maksudnya Nabi Muhammad ﷺ beserta para sahabat dan kaumnya.
Rasulullah ﷺ bersabda ketika mereka datang, “Penduduk Yaman telah datang kepada kalian, dan mereka adalah yang pertama kali membawa sunnah berjabat tangan.” Beberapa ulama menyebutkan bahwa ucapan “mereka adalah yang pertama kali membawa sunnah berjabat tangan,” ini adalah ucapan Anas bin Malik, seakan-akan sebelum itu, berjabat tangan belum menjadi kebiasaan di Madinah. Namun setelah kedatangan mereka, berjabat tangan menjadi sesuatu yang masyhur dan disyariatkan berdasarkan hadits.
Dalam perkembangan syariat agama Allah, ada tahapan-tahapan tertentu yang menjadikan suatu perbuatan menjadi wajib atau haram. Maka terkadang ada sebab turunnya ayat, ada pula sebab munculnya sabda Nabi ﷺ.
Setelah datangnya penduduk Yaman, penduduk Madinah pun saling berjabat tangan. Karena memang ada kebiasaan di mana orang-orang saat bertemu hanya berbincang tanpa berjabat tangan, padahal disunnahkan untuk berjabat tangan.
Menit ke-19:36 Hadits nomor 887
وعن البراءِ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا مِنْ مُسْلِمَينِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا». رواه أَبُو داود.
Dari Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah dua orang muslim berjumpa, lalu mereka saling berjabat tangan, melainkan akan diberikan ampunan kepada keduanya sebelum keduanya berpisah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang keutamaan berjabat tangan. Beliau mengatakan bahwa tidaklah dua muslim bertemu lalu berjabat tangan, kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berpisah.
Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk mengucapkan salam saat berjumpa, dengan wajah yang ceria. Jika engkau hanya berpapasan, maka tidak perlu berjabat tangan. Namun, jika engkau berhenti untuk berjumpa, maka lakukanlah yang dianjurkan Nabi ﷺ, yaitu berjabat tangan. Fadilahnya adalah diampuninya dosa-dosa keduanya sebelum mereka berpisah.
Selain itu, ada juga riwayat lain dari Al-Bazzar rahimahullah yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya seorang muslim apabila dia berjabat tangan dengan saudaranya, dosa-dosa mereka akan berguguran seperti bergugurnya daun-daun pohon.”
Riwayat lain dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu juga menyebutkan hal serupa, “Sesungguhnya seorang mukmin apabila berjumpa dengan mukmin lainnya, lalu ia mengucapkan salam, kemudian ia mengambil tangannya dan berjabat tangan, maka dosa-dosanya akan berserakan sebagaimana berserakannya daun-daun pohon.”
Subhanallah, inilah Islam yang mengajarkan cinta dan kasih sayang. Merajut keakraban dan ukhuwah. Islam mengajarkan agar seseorang tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari. Yang terbaik adalah orang yang pertama menyapa, apalagi dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan, maka dosa-dosa akan berguguran.
Kadang kala, sebagian dari kita merasa lebih suci dan enggan berbaikan, terutama ketika merasa telah banyak berbuat baik kepada orang lain. Namun, jika kita berharap balasan dari manusia, maka kita akan menderita di dunia dan akhirat, karena manusia tidak pandai bersyukur kepada Allah, lalu bagaimana dia akan pandai berterima kasih kepada kita? Oleh karena itu, berbuatlah karena Allah, dan jangan berharap balas budi dari manusia. Jika disakiti, maafkanlah, karena berharap pahala dari Allah dan dihapuskan dosa-dosa ketika berjabatan tangan.
Menit ke-1:34 Hadits nomor 888
وعن أنس – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رسولَ اللهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أخَاهُ، أَوْ صَدِيقَهُ، أينحَنِي لَهُ؟ قَالَ: «لاَ». قَالَ: أفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَيَأخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ». رواه الترمذي، وقال: «حديث حسن».
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau temannya, bolehkah ia membungkuk kepadanya?” Nabi ﷺ menjawab, “Tidak.” Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Lelaki itu bertanya, “Apakah boleh mengambil tangannya dan berjabat tangan dengannya?” Beliau menjawab, “Iya.” (HR. At-Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini hasan, dihasankan pula oleh Al-Albani)
Hadits ini berkaitan dengan membungkukkan badan saat bertemu. Dimana hadits ini diperselisihkan keshahihannya, walaupun disebutkan hasan berdasarkan beberapa syahidnya.
Dalam beberapa tradisi dan budaya, termasuk di Jepang dan Jawa, membungkuk dianggap sopan. Namun, ketika ditanya oleh seorang sahabat, Rasulullah ﷺ melarang membungkukkan badan saat bertemu dengan sesama Muslim.
Para ulama menjelaskan bahwa hukumnya adalah terlarang. Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah larangan ini sampai pada tingkat haram atau makruh. Ibnu ‘Allan Asy-Syafi’i mengatakan bahwa termasuk bid’ah yang diharamkan adalah menundukkan diri ketika berjumpa dengan model rukuk untuk makluk, dan dia mengagungkan makhluk itu seperti mengagungkan Allah, maka tidak diragukan lagi orang itu keluar dari Islam dan menjadi kafir dengan hal itu, sebagaimana kalau dia sujud untuk makhluk tersebut.
Ibnu Shalah Asy-Syafi’i mengatakan bahwa diharamkan sujud di hadapan makhluk dalam rangka mengagungkan orang tersebut. Walaupun niatnya buat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun berkaitan dengan Nabi Yusuf yang diceritakan bahwa saudara-saudaranya dan kedua orang tuanya sujud kepadanya, maka itu adalah syariat agama sebelum kita. Sebagaimana kita ketahui, para malaikat juga diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis Salam.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ mengatakan bahwa hukumnya makruh. Maka dalam bab yang kita bahas ini, disebutkan makruh, yaitu dimakruhkan untuk membengkokkan punggung dalam semua kondisi kepada siapa pun, berdasarkan hadis dari Anas yang telah kita baca sebelumnya.
Lalu, bagaimana dengan ucapan sahabat ini? Apakah dia merunduk kepada saudaranya? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “tidak” menurut Imam An-Nawawi, tidak ada yang menentang hadits ini. Jangan terkecoh dengan banyaknya orang yang melakukan perbuatan tersebut, terutama dari kalangan orang yang dianggap berilmu atau shalih. Artinya, ini sudah menjadi budaya di masa Imam An-Nawawi—sebuah tradisi untuk merunduk di hadapan pembesar atau tokoh agama.
Imam An-Nawawi mengatakan, kita tidak perlu terkecoh oleh hal tersebut (ini tidak layak dilakukan). Beliau menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak layak untuk dilakukan. Dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyyah, disebutkan bahwa merunduk, baik untuk pemimpin maupun orang lain, hukumnya makruh karena menyerupai perbuatan orang-orang Majusi.
Kemudian, Al-Bujairini juga mengatakan bahwa merunduk kepada makhluk, seperti yang dilakukan di hadapan para pembesar, hukumnya haram secara mutlak apabila maksudnya untuk mengagungkan mereka. Namun, jika niatnya adalah mengagungkan mereka seperti mengagungkan Allah Azza wa Jalla, maka perbuatan tersebut bisa berubah menjadi kekufuran.
As-Syarbini dalam kitabnya yang termasuk dalam mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa membengkokkan punggung untuk menghormati seseorang hukumnya makruh, adapun sujud kepada makhluk adalah haram.
Para sahabat Nabi ﷺ tidak melakukan hal ini kepada Nabi, padahal tidak ada manusia yang lebih mulia daripada beliau. Ini menunjukkan bahwa penghormatan yang diperbolehkan dalam Islam haruslah sesuai dengan syariat, dan tindakan yang makruh seharusnya ditinggalkan, bukan dipraktikkan atau dilestarikan.
Fatwa Lajnah Daimah menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan seseorang membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain, karena ini menyerupai rukuk, yang merupakan ibadah khusus kepada Allah. Dalam hadits Anas yang telah kita bahas sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang hal ini.
Dalam Kitab Al-Mausuah al-Fiqhiyyah disebutkan kesimpulan dari pendapat para ulama. Para ulama berkata bahwa yang menjadi budaya dan tradisi menundukkan kepala dan merunduk yang tidak sampai rukuk ketika berjumpa, maka ini tidak sampai pada tingkat kufur dan tidak haram. Tapi yang pantas seperti ini dimakruhkan (yang seharusnya ini ditinggalkan). Adapun kalau dia merunduk yang rundukannya sampai pada batas minimal rukuk (yaitu tangan bisa memegang lutut), kalau ini dilakukan tidak bermaksud untuk mengagungkan orang tersebut seperti mengagungkan Allah, maka perbuatan itu tidak sampai haram dan kafir, tetapi dimakruhkan dengan tingkatan makruh yang tinggi. Karena yang seperti ini banyak terjadi untuk makhluk. Sebagian berpendapat haram walaupun dia tidak bermaksud mengagungkan orang itu. Karena kondisi rukuk ini tidak disyariatkan kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka hendaklah kita berusaha untuk meningggalkan tradisi dan budaya yang seperti ini. Fatwa-fatwa dari ulama Syafi’iyyah yang merupakan madzhab panutan di negeri kita dapat menjadi pertimbangan agar merubah tradisi dan budaya menjadi lebih baik lagi. Kita melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.
Menit ke-39:15 Hadits nomor 889
وعن صَفْوَانَ بن عَسَّالٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ يَهُودِيٌّ لِصَاحِبِهِ: اذْهَبْ بِنَا إِلَى هَذَا النَّبيِّ، فَأتَيَا رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – فَسَألاهُ عَنْ تِسْعِ آياتٍ بَيِّنَاتٍ … فَذَكَرَ الْحَدِيث إِلَى قَوْلهِ: فقَبَّلا يَدَهُ وَرِجْلَهُ، وقالا: نَشْهَدُ أنَّكَ نَبِيٌّ. رواه الترمذي وغيره بأسانيد صحيحةٍ.
Dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang Yahudi berkata kepada sahabatnya, “Mari kita pergi menemui Nabi ini.” Maka keduanya mendatangi Rasulullah ﷺ dan menanyakan kepada beliau mengenai sembilan ayat yang nyata. Kemudian Shafwan menyebutkan hadits ini sampai pada ucapan: kemudian keduanya mencium tangan dan kaki beliau seraya berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi.” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Komentar