Riyadhush Shalihin Bab 146 : Disunnahkannya Bertanya kepada Keluarga Orang Sakit tentang Keadaannya

Riyadhush Shalihin Bab 143 : Disunnahkannya Berjabat Tangan Saat Berjumpa
Riyadhush Shalihin Bab 147 : Disunnahkan Berpesan kepada Keluarga Orang Yang Sakit dan Orang Yang Mengurusnya

Kitab Riyadhush Shalihin Bab 146
Oleh: Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.

Riyadhush Shalihin Bab 146 : Disunnahkannya Bertanya kepada Keluarga Orang Sakit tentang Keadaannya

Menit ke-10:00 Hadits nomor 910

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah keluar dari tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau sakit yang akhirnya mengantar kepada wafatnya. Orang-orang bertanya, “Wahai Abul Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pagi ini?” Ali menjawab, “Alhamdulillah, pagi ini beliau sembuh.” (HR. Bukhari)

Subhanallah, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk membesuk orang sakit, tetapi semua orang bisa berniat untuk membesuk. Dan amalan itu tergantung niatnya. Ada kondisi di mana orang sakit tidak mau atau tidak boleh dibesuk. Apa yang perlu dilakukan? Kadang, kondisi seseorang sangat kritis atau tidak nyaman, sehingga jika dibesuk justru membuatnya tambah parah. Dalam kondisi seperti itu, kita tidak perlu memaksa untuk membesuk, tetapi bisa bertanya kepada keluarganya agar mereka tahu ada yang peduli di luar sana.

Boleh juga mengirim salam kepada yang sakit jika tidak bisa berkunjung langsung. Jadi, tidak selalu kunjungan fisik yang penting, tapi perhatian dan niat baik dari kita juga bernilai. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu keluar dari rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di pagi hari, tidak disebutkan kapan keluarnya, mungkin pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal, hari wafatnya beliau. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak lagi shalat berjamaah di masjid sejak malam Jumat, dan sejak itu Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menggantikannya sebagai imam.

Pada pagi hari Senin itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka tirai antara rumah dan masjid, dan tampak keceriaan di wajah beliau saat melihat umatnya melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau menutup kembali tirai tersebut. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bahkan sempat meminta izin kepada Nabi untuk pergi ke rumah salah satu istrinya, dan Nabi mengizinkannya. Kondisi Nabi yang terlihat segar pagi itu membuat Ali bin Abi Thalib menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah sembuh.

Namun, kita tidak pernah tahu kapan ajal datang. Berapa banyak orang yang terlihat membaik, tetapi kemudian meninggal dunia. Ajal tidak mengenal kondisi fisik; berapa banyak orang yang sehat meninggal sebelum yang sakit.

Rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecil, tidak cukup untuk banyak orang. Di masa kini, dengan adanya teknologi, kita bisa bertanya lebih mudah melalui telepon, “Bisa dibesuk atau tidak?” Jika tidak, kita bisa sekadar mengirim salam dan doa untuk kesembuhan. Jangan ragu untuk bertanya kepada keluarganya tentang kondisi orang yang sakit, meski tidak bisa membesuk langsung. Hal ini bisa memberikan motivasi kepada keluarga dalam merawat yang sakit. Barakallahu fikum.

Menit ke-17:10 Hadits nomor 911

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ketika itu bersandar padaku, mengucapkan: ‘اللهم اغفر لي وارحمني وألحقني بالرفيق الأعلى’ (Allahumma ighfirli warhamni wa alhiqni birrafiqil a’la) yang artinya ‘Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, dan pertemukan aku dengan para Nabi di surga yang tertinggi.'” (Muttafaq ‘Alaih)

Terkadang seseorang merasa bahwa waktunya sudah dekat, terlihat dari tanda-tanda yang mungkin tidak kita sadari. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan kejadian hari Senin, tanggal 12 Rabiulawal, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang bersandar di antara leher dan pangkuannya. Rasulullah berdoa meminta ampunan kepada Allah, meskipun beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun sebagai manusia yang paling mulia dan telah diampuni dosanya, tetap memohon ampunan kepada Allah. Ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa tidak ada yang boleh merasa suci. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di akhir hayatnya masih memohon ampunan dan rahmat Allah. Beliau berkata, “اللهم اغفر لي وارحمني وألحقني بالرفيق الأعلى” (Allahumma ighfirli warhamni wa alhiqni birrafiqil a’la) yang artinya, “Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan para Nabi di surga yang tertinggi.”

Para ulama menjelaskan bahwa “al-Rafiq al-A’la” bisa berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala, di mana Rasulullah ingin berdampingan dengan-Nya. Sebagaimana dalam kisah istri Firaun yang meminta dibangunkan rumah di sisi Allah. Makna kedua, al-Rafiq al-A’la bisa merujuk kepada para Nabi yang telah mendahului beliau dan juga para malaikat di surga.

Setelah berdoa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjuk dengan tangannya hingga tangan beliau lemas, yang menandakan bahwa beliau telah wafat. Ini mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini, meskipun beliau adalah Nabi, makhluk yang paling dicintai oleh Allah, beliau tetap harus menghadapi kematian.

Allah telah menetapkan kematian bagi setiap makhluk-Nya, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar[39]: 30)

Begitu pula dengan kita, semua sedang menunggu waktu yang telah ditetapkan. Barakallah fikum.

Menit ke-22:07 Hadits nomor 912

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelang wafat. Di sisinya terdapat sebuah gelas berisi air, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gelas tersebut, kemudian membasuh wajahnya dengan air sambil berucap, ‘اللهم أعني على سكرات الموت’ (Allahumma a’inni ‘ala sakaratil maut) yang artinya, ‘Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut.'” (HR. Tirmidzi)

Ini adalah peristiwa lain yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kemungkinan, kejadian ini juga terjadi pada hari Senin, tanggal 12 Rabiulawal. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadapi kematian. Seseorang tidak tahu kapan dia meninggal kecuali memang sudah mendekati kematian.

Seringkali, keluarga tidak mengetahui kapan seseorang akan meninggal dunia. Kadang-kadang, keluarga sudah mempersiapkan diri karena melihat kondisi yang semakin parah, bahkan mulai membahas proses setelah kematian. Namun, ternyata bisa jadi sembuh. Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an,

…وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا…

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman [31]: 34).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasukkan tangannya ke dalam gelas besar dan mengusap wajahnya dengan air beberapa kali. Beliau kemudian memohon kepada Allah agar dibantu dalam menghadapi kesulitan sakaratul maut. Aisyah radhiyallahu ‘anha, setelah menyaksikan proses pencabutan nyawa Rasulullah, menyadari betapa sakitnya sakaratul maut, bahkan untuk seorang Nabi. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar bahwa seseorang meninggal dengan mudah, Aisyah tidak terkejut, karena bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengalami sakit yang parah sebelum wafat.

Sakaratul maut adalah bagian dari ujian Allah untuk menghapus dosa-dosa seseorang. Sabar adalah kunci dalam menghadapi ujian ini—sabar ada tiga, yaitu dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan, dan sabar menghadapi musibah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh dengan bersabar dalam menjalani perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya, dan bersabar dalam menghadapi sakit sebelum wafat. Bahkan, sakit beliau sangat parah sehingga beliau tidak dapat ke masjid, padahal rumahnya bersebelahan dengan masjid.

Sakit yang dirasakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi bukti betapa beratnya sakaratul maut. Karena itu, kita diminta untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi segala ujian, termasuk saat sakaratul maut.

Riyadhush Shalihin Bab 147 : Disunnahkan Berpesan kepada Keluarga Orang Yang Sakit dan Orang Yang Mengurusnya Untuk Berbuat Baik Kepadanya…

Menit ke-28:00 Hadits Nomor 913

Diriwayatkan oleh Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhuma. Bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan hamil karena zina. Dia berkata, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan suatu perbuatan yang mengharuskan diberlakukannya hukuman had pada diriku. Karenanya, berlakukanlah hukuman itu kepadaku.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian memanggil wali wanita tersebut dan bersabda, “Perlakukan dia dengan baik. Dan jika telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.” Wali wanita itu segera melaksanakan perintah Nabi.

Setelah wanita itu melahirkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta supaya wanita tersebut dihadirkan. Kemudian, diikatkan kain pada tubuhnya dan beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Setelah wanita tersebut meninggal, beliau menshalatkan jenazahnya. (HR. Muslim)

*Wasiat kepada Keluarga dan Perawat Orang Sakit*

Disunahkan untuk berpesan kepada keluarga orang yang sakit dan kepada orang yang merawatnya agar berbuat baik serta bersabar dalam menghadapi kesulitan yang ada. Musibah tidak hanya menimpa orang yang sakit, tetapi juga dirasakan oleh yang merawat. Kadang kala, perawat harus menemani di rumah sakit, meninggalkan keluarga, dan pekerjaan. Oleh karena itu, penting untuk memberikan motivasi, bukan hanya kepada yang sakit, tetapi juga kepada perawatnya. Mereka perlu diingatkan bahwa waktu yang digunakan dan harta yang dikeluarkan untuk merawat, semuanya akan diperhitungkan di sisi Allah.

Dalam bab ini, dianjurkan untuk memberikan wasiat kepada keluarga dan perawat orang sakit agar tetap berbuat baik dan bersabar menghadapi kesulitan. Hal ini juga berlaku pada orang yang sudah dekat dengan ajalnya, seperti dalam hukuman had dan semisalnya. Artinya, kita harus berusaha berbuat baik kepada mereka dan memberikan wasiat untuk terus berbuat baik kepada orang tersebut.

Sebagai contoh, dokter sering memanggil keluarga pasien setelah memeriksa kondisi yang sakit. Biasanya, dokter akan memberikan nasihat, seperti mengatakan bahwa penyakitnya sudah parah dan membutuhkan perhatian khusus, serta meminta agar keluarga bersabar dalam merawat orang tua atau saudaranya. Dokter akan memberikan wasiat kebaikan agar mereka tetap bersabar.

Ada kisah seorang anak yang merawat ibunya selama sepuluh tahun. Awalnya, dia dengan tulus merawat ibunya. Namun, pengaruh dari lingkungannya, termasuk istrinya atau keluarga lain, membuat anak tersebut merasa lelah dan mulai mengeluh. Keluarga lain tidak mau ikut merawat, sehingga terjadi keributan. Akhirnya, ibunya dirawat oleh kakaknya, tetapi hubungan antara anak dan ibu ini sudah rusak. Dua bulan setelah dirawat oleh kakaknya, sang ibu meninggal dunia, sementara anak yang merawatnya selama sepuluh tahun berakhir dalam keadaan durhaka.

Kita harus mengingatkan keluarga dan perawat untuk bersabar dan menghindari mengeluh, karena amalan seseorang dihitung berdasarkan penutupnya. Jika seseorang memulai dengan bakti namun mengakhiri dengan keluhan dan durhaka, maka yang dihitung adalah akhir dari amalannya. Sebaliknya, jika seseorang memulai dengan durhaka dan akhirnya berbakti, maka yang dihitung adalah baktinya. Oleh karena itu, motivasi dan pengingat akan pahala bagi keluarga dan perawat sangat penting, bukan hanya untuk yang sakit saja.

Dalam hadits Imran bin Hushain disebutkan kisah seorang wanita yang datang mengakui kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia telah berzina. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan wanita itu untuk pulang terlebih dahulu. Ungkapan yang sering kita dengar di masyarakat adalah bahwa laki-laki yang berzina harus bertanggung jawab, terutama jika wanita tersebut hamil. Banyak orang yang berpikir bahwa pernikahan adalah solusi dari perzinaan, padahal yang sebenarnya diperlukan adalah taubat.

Wanita yang hamil dari hasil zina tersebut datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengakui dosanya, meminta agar hukuman ditegakkan atas dirinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bertanya dengan siapa ia berzina, karena anak yang lahir dari zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, tetapi kepada ibunya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil keluarga wanita tersebut dan berpesan agar mereka berbuat baik kepadanya. Hukuman hanya berlaku pada wanita itu, bukan kepada janinnya, karena anak zina tidak berdosa.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan keluarga wanita tersebut untuk menjaga dan memperlakukannya dengan baik selama masa kehamilan. Setelah anaknya lahir, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh wanita itu untuk menyusui anaknya hingga selesai masa penyapihan. Setelah masa penyapihan berakhir, wanita itu kembali kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan hukuman rajam pun dilaksanakan. Dalam pelaksanaan hukum rajam ini, wanita tersebut dipakaikan pakaian yang kencang agar auratnya tidak terbuka. Ia kemudian dirajam hingga meninggal dunia, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatinya.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Khalid bin Walid atau Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagaimana beliau bisa menshalati wanita yang telah berzina. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa beliau tidak melihat pada dosa zinanya, tetapi pada taubatnya. Wanita tersebut telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, niscaya cukup untuk mengampuni dosa-dosa mereka.

Jadi, ingat bahwa kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada keluarga yang sakit dan memotivasi mereka agar tidak berputus asa, karena sejatinya tidak ada yang mustahil bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Barakallah fiikum.

Menit ke-40:20 Hadits Nomor 914

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau tengah sakit panas atau demam. Aku memegang beliau dan berkata, ‘Sungguh badan engkau ini benar-benar panas.’ Maka beliau bersabda, ‘Benar, sungguh aku menderita sakit panas seperti panas yang dialami dua orang (dua kali lipat) di antara kalian.'” (Muttafaq ‘alaih)

Di sini, Al-Imam Nawawi menyebutkan bab yang berkaitan dengan orang yang sakit. Terkadang, orang yang sakit merasakan sakit yang membuatnya mengerang, merintih, atau mengeluh. Pembahasannya adalah apakah diperbolehkan mengucapkan, “Aduh, aku sakit,” atau “Parah sekali sakitku ini.”

Dari hadits ini, dijelaskan bahwa selama ucapan tersebut bukan dalam rangka marah atau menolak takdir Allah Azza wa Jalla, maka diperbolehkan. Ada orang yang mengeluh karena tidak menerima takdir. Ia mungkin berkata, “Kenapa aku harus sakit?” Itu yang tidak diperbolehkan. Namun, jika seseorang hanya mengungkapkan rasa sakitnya tanpa bermaksud menentang takdir, maka hal itu diperbolehkan.

Juga penting untuk membaca doa ketika sakit, seperti “Bismillah” tiga kali, kemudian membaca, “A’udzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru” (Aku berlindung kepada Allah dengan kemuliaan-Nya dan kekuatan-Nya dari penyakit yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan) tiga kali.

Yang tidak diperbolehkan adalah mengeluh atau menunjukkan kekecewaan kepada Allah Azza wa Jalla. Tingkatan yang paling rendah adalah marah-marah, baik secara lisan maupun di dalam hati, seperti menunjukkan kekecewaan terhadap takdir Allah. Sedangkan tingkatan yang diperbolehkan adalah sabar, ridha, dan bahkan syukur.

Hadits ini berkaitan dengan sakit yang dialami Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelang wafatnya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu membesuk dan menyentuh beliau sehingga merasakan panasnya yang sangat tinggi, bahkan disebutkan bahwa panasnya dapat dirasakan di atas selimut. Ketika Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa panas beliau sangat tinggi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Benar, aku diberikan penyakit panas ini sebagaimana dua orang dari kalian mengalaminya.”

Subhanallah, pahala bagi orang yang sabar menghadapi sakit sangat besar, karena memang tidak mudah menerima penyakit, apalagi penyakit yang membahayakan atau dapat mengancam masa depan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi.

Menit ke-45:55 Hadits Nomor 915

Dari Sa’id bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah datang menjengukku ketika aku sakit keras. Aku berkata, ‘Sesungguhnya sakitku ini sangat keras, sebagaimana engkau saksikan. Aku memiliki harta yang cukup banyak, tetapi tidak ada seorang pun yang menjadi ahli warisku kecuali anak perempuanku.'” Kemudian dia menyebutkan hadits selengkapnya. (Muttafaq ‘alaih)

Sa’ad bin Abi Waqqas pernah dibesuk oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat sakit keras. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi di Makkah, ketika Fathu Makkah. Saat itu, Sa’ad hanya memiliki satu anak perempuan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian mendoakan Sa’ad agar sembuh, dan setelah kejadian ini, Sa’ad dikaruniai banyak anak. Menurut riwayat, sebelum wafat, jumlah anak Sa’ad mencapai tujuh belas orang, padahal sebelumnya hanya satu anak perempuan.

Hadits ini menunjukkan bahwa boleh seseorang menceritakan penyakitnya yang parah, asalkan tidak dalam konteks mengeluh berlebihan atau menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah ‘Azza wa Jalla.

Menit ke-49:52 Hadits Nomor 916

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata, Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Aduh, sakit sekali kepalaku!” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berkata, “Aduh, kepalaku juga.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits ini, diceritakan bahwa menjelang akhir hayat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersama para sahabat menguburkan jenazah di Baqi. Ketika pulang, Aisyah mengeluh sakit kepala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun merespons dengan mengungkapkan hal yang sama. Kemudian beliau berkata kepada Aisyah, “Apa yang akan membahayakanmu jika engkau meninggal lebih dulu? Aku yang akan memandikanmu, mengafanimu, dan menshalatimu.” Namun, ternyata yang wafat lebih dulu adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan Aisyah.

Hadits ini menunjukkan bahwa mengeluh tentang rasa sakit, seperti mengungkapkan sakit kepala, diperbolehkan selama tidak berlebihan atau dengan niat menolak takdir Allah. Ungkapan seperti ini bisa bermanfaat bagi orang yang mendengarnya, agar mereka mengetahui kondisi saudaranya dan bisa memberikan pertolongan yang diperlukan. Namun, ada juga penyakit yang terlihat dari raut wajah tanpa perlu diungkapkan, sehingga orang lain dapat segera mengetahui bahwa seseorang sedang tidak sehat.

Kesimpulannya, mengungkapkan rasa sakit diperbolehkan, asalkan bukan dengan teriak-teriak dan bukan untuk menolak takdir atau marah terhadap ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla.

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: