Riyadhush Shalihin Bab 147 : Disunnahkan Berpesan kepada Keluarga Orang Yang Sakit dan Orang Yang Mengurusnya

Riyadhush Shalihin Bab 143 : Disunnahkannya Berjabat Tangan Saat Berjumpa
Riyadhush Shalihin Bab 146 : Disunnahkannya Bertanya kepada Keluarga Orang Sakit tentang Keadaannya

Kitab Riyadhush Shalihin Bab 147
Oleh: Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.

Riyadhush Shalihin Bab 147 : Disunnahkan Berpesan kepada Keluarga Orang Yang Sakit dan Orang Yang Mengurusnya Untuk Berbuat Baik Kepadanya…

Menit ke-28:00 Hadits Nomor 913

Diriwayatkan oleh Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhuma. Bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan hamil karena zina. Dia berkata, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan suatu perbuatan yang mengharuskan diberlakukannya hukuman had pada diriku. Karenanya, berlakukanlah hukuman itu kepadaku.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian memanggil wali wanita tersebut dan bersabda, “Perlakukan dia dengan baik. Dan jika telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.” Wali wanita itu segera melaksanakan perintah Nabi.

Setelah wanita itu melahirkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta supaya wanita tersebut dihadirkan. Kemudian, diikatkan kain pada tubuhnya dan beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Setelah wanita tersebut meninggal, beliau menshalatkan jenazahnya. (HR. Muslim)

*Wasiat kepada Keluarga dan Perawat Orang Sakit*

Disunahkan untuk berpesan kepada keluarga orang yang sakit dan kepada orang yang merawatnya agar berbuat baik serta bersabar dalam menghadapi kesulitan yang ada. Musibah tidak hanya menimpa orang yang sakit, tetapi juga dirasakan oleh yang merawat. Kadang kala, perawat harus menemani di rumah sakit, meninggalkan keluarga, dan pekerjaan. Oleh karena itu, penting untuk memberikan motivasi, bukan hanya kepada yang sakit, tetapi juga kepada perawatnya. Mereka perlu diingatkan bahwa waktu yang digunakan dan harta yang dikeluarkan untuk merawat, semuanya akan diperhitungkan di sisi Allah.

Dalam bab ini, dianjurkan untuk memberikan wasiat kepada keluarga dan perawat orang sakit agar tetap berbuat baik dan bersabar menghadapi kesulitan. Hal ini juga berlaku pada orang yang sudah dekat dengan ajalnya, seperti dalam hukuman had dan semisalnya. Artinya, kita harus berusaha berbuat baik kepada mereka dan memberikan wasiat untuk terus berbuat baik kepada orang tersebut.

Sebagai contoh, dokter sering memanggil keluarga pasien setelah memeriksa kondisi yang sakit. Biasanya, dokter akan memberikan nasihat, seperti mengatakan bahwa penyakitnya sudah parah dan membutuhkan perhatian khusus, serta meminta agar keluarga bersabar dalam merawat orang tua atau saudaranya. Dokter akan memberikan wasiat kebaikan agar mereka tetap bersabar.

Ada kisah seorang anak yang merawat ibunya selama sepuluh tahun. Awalnya, dia dengan tulus merawat ibunya. Namun, pengaruh dari lingkungannya, termasuk istrinya atau keluarga lain, membuat anak tersebut merasa lelah dan mulai mengeluh. Keluarga lain tidak mau ikut merawat, sehingga terjadi keributan. Akhirnya, ibunya dirawat oleh kakaknya, tetapi hubungan antara anak dan ibu ini sudah rusak. Dua bulan setelah dirawat oleh kakaknya, sang ibu meninggal dunia, sementara anak yang merawatnya selama sepuluh tahun berakhir dalam keadaan durhaka.

Kita harus mengingatkan keluarga dan perawat untuk bersabar dan menghindari mengeluh, karena amalan seseorang dihitung berdasarkan penutupnya. Jika seseorang memulai dengan bakti namun mengakhiri dengan keluhan dan durhaka, maka yang dihitung adalah akhir dari amalannya. Sebaliknya, jika seseorang memulai dengan durhaka dan akhirnya berbakti, maka yang dihitung adalah baktinya. Oleh karena itu, motivasi dan pengingat akan pahala bagi keluarga dan perawat sangat penting, bukan hanya untuk yang sakit saja.

Dalam hadits Imran bin Hushain disebutkan kisah seorang wanita yang datang mengakui kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia telah berzina. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan wanita itu untuk pulang terlebih dahulu. Ungkapan yang sering kita dengar di masyarakat adalah bahwa laki-laki yang berzina harus bertanggung jawab, terutama jika wanita tersebut hamil. Banyak orang yang berpikir bahwa pernikahan adalah solusi dari perzinaan, padahal yang sebenarnya diperlukan adalah taubat.

Wanita yang hamil dari hasil zina tersebut datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengakui dosanya, meminta agar hukuman ditegakkan atas dirinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bertanya dengan siapa ia berzina, karena anak yang lahir dari zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, tetapi kepada ibunya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil keluarga wanita tersebut dan berpesan agar mereka berbuat baik kepadanya. Hukuman hanya berlaku pada wanita itu, bukan kepada janinnya, karena anak zina tidak berdosa.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan keluarga wanita tersebut untuk menjaga dan memperlakukannya dengan baik selama masa kehamilan. Setelah anaknya lahir, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh wanita itu untuk menyusui anaknya hingga selesai masa penyapihan. Setelah masa penyapihan berakhir, wanita itu kembali kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan hukuman rajam pun dilaksanakan. Dalam pelaksanaan hukum rajam ini, wanita tersebut dipakaikan pakaian yang kencang agar auratnya tidak terbuka. Ia kemudian dirajam hingga meninggal dunia, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatinya.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Khalid bin Walid atau Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagaimana beliau bisa menshalati wanita yang telah berzina. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa beliau tidak melihat pada dosa zinanya, tetapi pada taubatnya. Wanita tersebut telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, niscaya cukup untuk mengampuni dosa-dosa mereka.

Jadi, ingat bahwa kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada keluarga yang sakit dan memotivasi mereka agar tidak berputus asa, karena sejatinya tidak ada yang mustahil bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Barakallah fiikum.

Menit ke-40:20 Hadits Nomor 914

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau tengah sakit panas atau demam. Aku memegang beliau dan berkata, ‘Sungguh badan engkau ini benar-benar panas.’ Maka beliau bersabda, ‘Benar, sungguh aku menderita sakit panas seperti panas yang dialami dua orang (dua kali lipat) di antara kalian.'” (Muttafaq ‘alaih)

Di sini, Al-Imam Nawawi menyebutkan bab yang berkaitan dengan orang yang sakit. Terkadang, orang yang sakit merasakan sakit yang membuatnya mengerang, merintih, atau mengeluh. Pembahasannya adalah apakah diperbolehkan mengucapkan, “Aduh, aku sakit,” atau “Parah sekali sakitku ini.”

Dari hadits ini, dijelaskan bahwa selama ucapan tersebut bukan dalam rangka marah atau menolak takdir Allah Azza wa Jalla, maka diperbolehkan. Ada orang yang mengeluh karena tidak menerima takdir. Ia mungkin berkata, “Kenapa aku harus sakit?” Itu yang tidak diperbolehkan. Namun, jika seseorang hanya mengungkapkan rasa sakitnya tanpa bermaksud menentang takdir, maka hal itu diperbolehkan.

Juga penting untuk membaca doa ketika sakit, seperti “Bismillah” tiga kali, kemudian membaca, “A’udzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru” (Aku berlindung kepada Allah dengan kemuliaan-Nya dan kekuatan-Nya dari penyakit yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan) tiga kali.

Yang tidak diperbolehkan adalah mengeluh atau menunjukkan kekecewaan kepada Allah Azza wa Jalla. Tingkatan yang paling rendah adalah marah-marah, baik secara lisan maupun di dalam hati, seperti menunjukkan kekecewaan terhadap takdir Allah. Sedangkan tingkatan yang diperbolehkan adalah sabar, ridha, dan bahkan syukur.

Hadits ini berkaitan dengan sakit yang dialami Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelang wafatnya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu membesuk dan menyentuh beliau sehingga merasakan panasnya yang sangat tinggi, bahkan disebutkan bahwa panasnya dapat dirasakan di atas selimut. Ketika Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa panas beliau sangat tinggi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Benar, aku diberikan penyakit panas ini sebagaimana dua orang dari kalian mengalaminya.”

Subhanallah, pahala bagi orang yang sabar menghadapi sakit sangat besar, karena memang tidak mudah menerima penyakit, apalagi penyakit yang membahayakan atau dapat mengancam masa depan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi.

Menit ke-45:55 Hadits Nomor 915

Dari Sa’id bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah datang menjengukku ketika aku sakit keras. Aku berkata, ‘Sesungguhnya sakitku ini sangat keras, sebagaimana engkau saksikan. Aku memiliki harta yang cukup banyak, tetapi tidak ada seorang pun yang menjadi ahli warisku kecuali anak perempuanku.'” Kemudian dia menyebutkan hadits selengkapnya. (Muttafaq ‘alaih)

Sa’ad bin Abi Waqqas pernah dibesuk oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat sakit keras. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi di Makkah, ketika Fathu Makkah. Saat itu, Sa’ad hanya memiliki satu anak perempuan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian mendoakan Sa’ad agar sembuh, dan setelah kejadian ini, Sa’ad dikaruniai banyak anak. Menurut riwayat, sebelum wafat, jumlah anak Sa’ad mencapai tujuh belas orang, padahal sebelumnya hanya satu anak perempuan.

Hadits ini menunjukkan bahwa boleh seseorang menceritakan penyakitnya yang parah, asalkan tidak dalam konteks mengeluh berlebihan atau menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah ‘Azza wa Jalla.

Menit ke-49:52 Hadits Nomor 916

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata, Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Aduh, sakit sekali kepalaku!” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berkata, “Aduh, kepalaku juga.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits ini, diceritakan bahwa menjelang akhir hayat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersama para sahabat menguburkan jenazah di Baqi. Ketika pulang, Aisyah mengeluh sakit kepala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun merespons dengan mengungkapkan hal yang sama. Kemudian beliau berkata kepada Aisyah, “Apa yang akan membahayakanmu jika engkau meninggal lebih dulu? Aku yang akan memandikanmu, mengafanimu, dan menshalatimu.” Namun, ternyata yang wafat lebih dulu adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan Aisyah.

Hadits ini menunjukkan bahwa mengeluh tentang rasa sakit, seperti mengungkapkan sakit kepala, diperbolehkan selama tidak berlebihan atau dengan niat menolak takdir Allah. Ungkapan seperti ini bisa bermanfaat bagi orang yang mendengarnya, agar mereka mengetahui kondisi saudaranya dan bisa memberikan pertolongan yang diperlukan. Namun, ada juga penyakit yang terlihat dari raut wajah tanpa perlu diungkapkan, sehingga orang lain dapat segera mengetahui bahwa seseorang sedang tidak sehat.

Kesimpulannya, mengungkapkan rasa sakit diperbolehkan, asalkan bukan dengan teriak-teriak dan bukan untuk menolak takdir atau marah terhadap ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla.

Komentar

WORDPRESS: 0
DISQUS: