Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan ini adalah apa yang bisa kami ketik dari tabligh akbar yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafidzahumullahu Ta’ala.
A. Mukaddimah Tabligh Akbar Tentang Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan
Alhamdulillah segala puji kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kita memohon isti’anah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kita bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejahatan jiwa kita dan dari kejelekan amalan-amalan kita.
Sesungguhnya barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak akan ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya.
Dan kita bersaksi pula bahwasanya tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan Rasul Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau, serta sahabat beliau seluruhnya.
Kaum mukminin sekalian, para ikhwah sekalian, para hadirin sekalian..
Ini merupakan waktu yang penuh barokah. Kita berkumpul pada saat ini di Masjid Istiqlal yang InsyaAllah Allah beri berkah terhadap masjid ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pahala dan ganjaran kepada pengurus Masjid ini yang telah memberikan kesempatan bagi kita untuk berkumpul dalam rangka menuntut ilmu bekerja sama dengan Radio Rodja.
Oleh karena itu semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi crew Radio Rodja dan pengurus masjid ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua.
Demikian juga Syaikh berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ganjaran dan pahala yang besar kepada para hadirin sekalian, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu, yang tua maupun yang anak-anak, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua.
Para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Pertemuan kita kali ini, Syaikh akan membahas tentang sebab-sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Dan sebelum Syaikh menyampaikan muhadharah beliau pada kesempatan kali ini, beliau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kita tahu semua bahwasanya segala perkara di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, segala keputusan adalah keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita semua bertawajjuh mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah menjadikan kita termasuk orang-orang berbahagia dan Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menempuh jalan-jalan kebahagiaan, dan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari jalan-jalan yang bisa menghantarkan kepada kecelakaan dan semoga kita bukan termasuk dari orang-orang yang celaka.
1. Kebahagiaan merupakan harapan setiap manusia
Para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Kebahagiaan merupakan harapan setiap manusia. Setiap orang bertujuan dan berharap untuk mendapatkan kebahagiaan. Setiap orang selalu mencari-cari yang namanya kebahagiaan dan selalu mencarinya. Dan setiap orang tentunya tidak ingin menjadi orang yang sengsara dan celaka.
Oleh karena itu setiap orang menjauhi jalan-jalan atau thariqah yang bisa mengantarkan kepada kecelakaan. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat, bahwasanya cara pandang orang itu beraneka ragam. Oleh karena itu beragam pula tata cara orang dalam mencari kebahagiaan. Di antara manusia ada yang mencari kebahagiaan dengan menempuh jalan yang justru jalan tersebut akan mengantarkan dia kepada kebinasaan dan kesengsaraan. Dia ingin mencari kebahagiaan justru terlantarkan kepada kesengsaraan.
Di antara manusia ada yang mencari kebahagiaan dengan melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal-hal yang telah diperingatkan oleh Allah dan RasulNya. Di antara orang ada yang mencari kebahagiaan dengan minum khamr, dia menyangka jika dia sudah minum khamr kemudian mabuk dia akan mendapatkan kebahagiaan. Sebagian orang ada yang mencari kebahagiaan dengan mengkonsumsi narkoba, dia menyangka dengan mengkonsumsi narkoba maka dia pun akan bahagia. Orang seperti ini tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Akhir dari kehidupannya akan terjerumus dalam kesengsaraan.
Dan di antara manusia ada yang mencari kebahagiaan pada jalan-jalan yang lain; kemaksiatan, mereka menyangka semakin terjerumus dalam kemaksiatan akan semakin banyak kebahagiaan yang akan mereka peroleh. Namun Syaikh mengingatkan bahwasanya kemaksiatan itu tidaklah menambah kepada kita kecuali kegelapan, dan kemaksiatan itu tidak akan menambahkan dalam hati kita kecuali kesengsaraan. Dan tidak mungkin kemaksiatan akan mendatangkan kebahagiaan. Kalau mendatangkan kebahagiaan, itu hanyalah kebahagiaan fatamorgana.
Dan di antara manusia ada yang menyangka bahwasanya kebahagiaan terdapat pada harta yang banyak. Maka dia berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Karena cara pandang dia bahwasanya kebahagiaan terdapat pada harta yang berlimpah. Bahkan dia tidak peduli, dia menempuh, dia mencari harta dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apakah dengan praktik riba, yang penting harta saya banyak. Apakah dengan cara menipu orang lain, atau dengan melakukan praktik-praktik perdagangan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan di antara manusia pula ada yang mencari kebahagiaan dengan berbuat dzalim kepada orang lain, dengan mengganggu orang lain. Jika ada orang lain terdzalimi oleh dia, dia merasa bahagia, bahagia dengan penderitaan orang lain, bahagia dengan menggangu orang lain. Demikianlah para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita melihat manusia yang beraneka ragam ini juga memiliki cara pandang yang beraneka ragam dalam mencari kebahagiaan.
Namun ingat, tidak akan bisa seorangpun memperoleh kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan dan thariqah yang telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya, jalan yang lurus yang bisa benar-benar menghantarkan kepada kebahagiaan.
Menit ke-18:26 Tadi yang telah kita sebutkan tentang berbagai model manusia yang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam rangka mencari kebahagiaan. Kalau kita tanya mereka, apa yang kalian harapkan dari ini semua? Kenapa minum khamr, kenapa mengkonsumsi narkoba? Kenapa mengumpulkan harta? Kalau kita tanya mereka, jawaban mereka semua sama, yaitu “Kita sedang mencari kebahagiaan. Kita ingin menentramkan hati kita, kita ingin membuat pikiran kita tenang, kita ingin menghilangkan kesedihan, kita ingin menghilangkan gundah-gulanah yang terdapat dalam hati kita.”
Semuanya ingin memperoleh kebahagiaan, semuanya ingin hidup tentram. Dan setiap dari mereka masing-masing mempunyai visi dan cara pandang tersendiri dan mereka meyakini cara pandang tersebut. Bagi yang meyakini harta akan membawa kebahagiaan, dia akan berpegang teguh dengan cara yang dia tempuh. Namun kenyataannya jalan untuk mencari kebahagiaan menurut mereka banyak dan masing-masing berkeyakinan dengan jalan yang ditempuhnya. Akan tetapi -kata Syaikh hafidzahullah- bahwasanya tidak seorangpun dari mereka akan berhasil memperoleh kebahagiaan kalau tidak menempuh jalan yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Memang benar, di antara mereka ada yang mendapatkan kebahagiaan dan kelezatan tatkala melakukan kemaksiatan, tatkala melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi ingatlah kelezatan tersebut hanyalah sementara dan setelah itu akan datang kesedihan yang bertubi-tubi, yang terus menerus, gundah-gulanah, kebimbangan yang tidak henti-hentinya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
تَفنى اللَذاذَةُ مِمَّن نالَ صَفوَتَها مِنَ الحَرامِ وَيَبقى الإِثمُ وَالعارُ
“Kelezatan yang diperoleh oleh orang yang melakukan keharaman itu akan sirna, kemudian yang tersisa hanyalah kehinaan dan kerendahan.”
تُبقي عَواقِبَ سوءٍ في مَغَبَّتِها، لا خَيرَ في لَذَةٍ مِن بَعدِها النارُ
“Dan yang tersisa hanyalah dampak negatif (keburukan), dan tidak ada kebaikan pada suatu kelezatan yang setelah itu akan menjerumuskan ke dalam api neraka.”
2. Kebahagiaan ditangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menit 22:35 Seorang muslim yang telah diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah diberi bashirah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan telah diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dilapangkan dadanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengetahui dengan ilmu, dia yakin bahwasanya kebahagiaan itu ditangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mungkin diperoleh kecuali dengan menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalimat yang ringkas ini, bahwasanya kebahagiaan di tangan Allah dan tidak bisa diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada Allah, hendaknya kita hafalkan dengan sebaik-baiknya. Kita hafalkan kalimat ini dan kita ajarkan anak-anak kita, dan kita sebarkan di pengajian-pengajian, dan kita sebarkan di sekolah-sekolah, kita sebarkan kepada kerabat-kerabat kita, kepada orang-orang yang kita cintai, bahwasanya kebahagiaan di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bisa diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun yang akan beliau sampaikan dalam muhadzarah ini, itu hanyalah penjelasan dari kalimat yang ini. Penjelasan tentang bahwasanya kebahagiaan hanyalah di tangan Allah dan tidak bisa diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada Allah. Dan beliau akan menyebutkan dalil-dalil yang akan menunjukkan kalimat yang ringkas ini.
Menit 26:39 Seorang muslim sangat yakin dengan penuh keyakinan bahwasanya segala perkara di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sangat yakin bahwasanya apa saja yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti terjadi dan perkara apa saja yang tidak dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti tidak terjadi.
Kita seluruh muslim yakin bahwasanya segala perkara yang terjadi itu semuanya atas takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, semuanya atas keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki masyiah nafidzah, segala kehendak Allah pasti terjadi. Dan kehendak Allah meliputi segala yang terjadi di atas alam semesta ini. Tidak ada seorangpun yang bisa menolak dan tidak ada seorangpun yang bisa protes dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan di antara syair yang pernah dimainkan tentang masalah ini adalah syair yang pernah dilantunkan oleh Al-Imam Syafi’i Rahimahullah dalam sebuah baitnya, dimana beliau pernah berkata:
ما شئت كان وإن لم أشأ, وما شئت إن لم تشأ لم يكن
“Ya Allah, apa saja yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak mau dan apa saja yang aku maui jika Engkau tidak menghendaki tidak akan terjadi.”
خلقت العباد لما قد علمت، ففي العلم يجري الفتى والمسن
“Engkau menciptakan para hamba berdasarkan ilmu Engkau dan berjalan dalam ilmuMu (keputusan/takdirMu) baik pemuda maupun orang tua.”
على ذا مننت وهذا خذلت، وذلك أعنت وذا لم تعن
“Si fulan Engkau berikan karunia, yang satunya Engkau hinakan dia, yang satunya Engkau tolong dia, yang satunya Engkau tidak tolong.”
فمنهم شقي ومنهم سعيد، ومنهم قبيح ومنهم حسن
“Di antara mereka ada yang sengsara dan diantara mereka ada yang bahagia, Di antara mereka ada yang jelek dan di antara mereka ada yang baik.”
Ini semua menunjukkan bahwasanya segala perkara ditangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu jika seorang muslim yakin dan beriman terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yakin bahwasanya segala keputusan berada di keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan segera bertawajjuh kepada Allah, meminta kepada Allah, merengek-rengek kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dimasukkan ke dalam barisan orang-orang yang berbahagia, agar dimudahkan oleh Allah dalam menempuh jalan-jalan orang yang penuh kebahagiaan, dan dia hendaknya berusaha untuk mengambil sebab agar menjadi orang-orang yang berbahagia.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾
“Barangsiapa yang dia memberi dan kemudian bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membenarkan surga atau janji-janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan jalannya kepada jalan yang baik.” (QS. Al-Lail[92]: 5-7)
Menit ke-31:09 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ﴿١٢٣﴾
“Dan jika datang kepada kalian petunjuk dariKu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara.” (QS. Tha-ha[20]: 123)
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
“Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatKu, maka dia akan mendapatkan kehidupan yang menyengsarakan, kehidupan yang sempit.” (QS. Tha-ha[20]: 124)
Inilah keputusan Allah, inilah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, barangsiapa yang mengikuti jalanNya, tidak akan tersesat, akan mendapatkan hidayah, tidak akan sengsara, akan mendapatkan kebahagiaan.
Kemudian kebahagiaan akan doa peroleh secara terus-menerus. Dia bahagia di dunia, kebahagiaan yang tidak putus-putus, apalagi di akhirat kelak, mendapatkan kebahagiaan yang abadi.
Adapun orang yang berpaling dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan hidup di atas muka bumi ini kecuali dengan hati yang sengsara, dengan kehidupan yang sempit, meskipun hartanya banyak, meskipun istananya banyak, tetapi dia akan hidup dengan penuh kesengsaraan, penuh dengan kesedihan yang tidak pernah putus-putus, dan akhirat kelak lebih sengsara lagi.
B. Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan
1. Al-Qur’an merupakan sumber kebahagiaan
Menit ke 33:23 Wahai kaum muslimin, para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Syaikh menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an merupakan sumber kebahagiaan. Maka barangsiapa yang ingin memperoleh kebahagiaan, maka hendaknya dia mencari kebahagiaan tersebut dalam Al-Qur’an dan dalam sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Nabi Muhammad adalah Rasul yang telah terpilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
“Dan barangsiapa mengikuti petunjukKu, tidak akan sesat dan tidak akan sengsara (yaitu akan bahagia)”
Maksud “petunjukKu” adalah Al-Qur’an. Demikian juga Allah menyuruh kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ وَالْحِكْمَةِ
“Dan ingatlah apa yang telah kalian baca di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (QS. Al-Ahzab[33]: 34)
Menit ke-36:41 Para hadirin yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ini kepada umat manusia agar mereka bisa memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu Al-Qur’an tanpa kita ragukan bahwasanya dia benar-benar merupakan sebuah kitab yang menjelaskan akan kebahagiaan. Barangsiapa yang ingin memperoleh kebahagiaan, maka dia akan dapatkan dalam Al-Qur’an.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Allah melapangkan dada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Allah melapangkan dada para sahabat sehingga mereka pun berpegang dengan Al-Qur’an, maka tatkala itu orang-orang musyrikin mulai gerah dan mulai tidak senang dengan apa yang mereka lihat, yaitu tatkala para sahabat bisa berbahagia dengan Al-Qur’an.
Maka orang-orang musyrikin mulai mencela Al-Qur’an, mulai memberi sifat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sifat-sifat yang jelek, demikian juga memberi sifat kepada Al-Qur’an dengan sifat-sifat yang jelek. Mereka mencetuskan propaganda bahwasanya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad kecuali untuk menjadikan Nabi Muhammad dalam keadaan sengsara. Dan mereka mengatakan bahwasanya Al-Qur’an itu hanyalah kitab dusta yang dibuat-buat oleh Si Muhammad, sehingga Al-Qur’an tidaklah diturunkan kepada Muhammad kecuali hanya mendatangkan kesengsaraan.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat untuk membantah persangkaan mereka, membantah propaganda mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
طه ﴿١﴾ مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ ﴿٢﴾
“Tidaklah Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada engkau (wahai Muhammad) kecuali agar engkau tidak sengsara.” (QS. Tha-ha[20]: 2)
Maksudnya adalah Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepada engkau (wahai Muhammad) kecuali agar engkau berbahagia.
Oleh karena itu para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang berbahagia, maka hendaknya dia menjadi orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an. Dan siapa mereka yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَـٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ…
“Dan orang-orang yang Kami berikan kepada mereka al-Kitab dan mereka membaca al-Kitab tersebut dengan sebenar-benar bacaan, itulah orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah[2]: 121)
“Baca dengan sebaik-baiknya,” maksudnya yaitu membaca Al-Qur’an, memahami Al-Qur’an, berusaha memahami makna-makan ayatnya dan berusaha untuk mengamalkannya. Orang yang seperti itu, yang membaca Al-Qur’an dengan benar, tidak cuma sekedar baca, tetapi dibaca, dipahami dan berusaha untuk mengamalkannya, itulah orang-orang yang berbahagia.
Menit ke-40:23 Syaikh menjelaskan bahwasanya bukan maksud dari penjelasan kita yaitu seorang yang ingin berbahagia harus hafal Qur’an, tidak disyaratkan orang yang berbahagia harus hafal Qur’an, karena tidak semua orang mudah untuk bisa menghafal Qur’an 30 juz.
Akan tetapi maksudnya seorang yang ingin bahagia, maka ia menjadi Ahlul Qur’an. Apa itu dia Ahlul Qur’an? yaitu dia senantiasa terikat dengan Al-Qur’an, menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, senantiasa berkesinambungan terikat dengan Al-Qur’an dan penerapan Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, dan senantiasa berusaha untuk memahami ayat-ayatnya, dan berusaha untuk mengamalkan seluruh ayat dalam Al-Qur’an. Karena Syaikh menjelaskan, semakin banyak dia mengambil bagian dalam memahami dan pengamalan Al-Qur’an, maka dia semakin banyak memperoleh bagian dalam kebahagiaan.
Menit ke-43:21 Jika seorang muslim membaca Al-Qur’an dan mengetahui bahwasanya kebahagiaan itulah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, bahwasanya kebahagiaan tidak bisa diperoleh kecuali dengan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beramal shalih.
Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya Allah adalah penguasa alam semesta ini, pencipta alam semesta ini, Maha Esa dalam mengatur alam semesta ini, tidak ada satupun yang membantu Allah dalam menciptakan dan mengatur alam semesta ini, Dialah yang Maha Pemberi rezeki kepada hamba-hambaNya, dan Dialah yang memberi dan Dialah yang menolak, dan Dialah yang melapangkan rezeki dan Dialah yang menyempitkan rezeki, dan Dialah yang memuliakan seseorang dan Dialah yang menghinakan seseorang.
Dan mengimani bahwasanya segala perkara di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu kita beriman dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang indah dan kita beriman dengan sifat-sifat Allah yang tinggi.
Dan kita beriman bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah satu-satunya sembahan yang berhak kita serahkan ketundukan kita, yang berhak untuk diserahkan ibadah kita. Dan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berhak untuk diserahkan segala bentuk ibadah kepadanya.
Kemudian kita pun bertawajjuh, benar-benar meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai dengan ketundukan, perendahan, perengean di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan ketaatan-ketaatan yang mensucikan diri kita.
Inilah landasan atau intisari kebahagiaan. Beriman kepada Allah dan menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿٩٧﴾
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan shalih baik laki-laki maupun wanita dan dia dalam keadaan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Kami akan berikan kepada dia kehidupan yang penuh kebahagiaan dan Kami akan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas amalan perbuatan mereka.” (QS. An-Nahl[16]: 97)
Oleh karena itu, kebahagiaan tidaklah mungkin diperoleh kecuali dengan beriman kepada Allah dengan iman yang benar dan beramal shalih.
2. Beriman dan beramal shalih
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sesungguhnya kebahagiaan hanyalah diperoleh dengan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan amalan-amalan shalih yang bisa mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang perkaranya demikian, beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan perintah-perintah Allah, melakukan amalan-amalan shalih, maka dia adalah orang yang berbahagia.
Dan dalam permasalahan ini tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan, antara orang miskin maupun orang kaya, antara orang sakit ataupun orang sehat, barangsiapa yang beramal shalih dialah yang bahagia.
Bahagia kebahagiaan diperoleh dengan harta, bukan orang yang hartanya paling banyak maka dialah yang bahagia, bukannya orang yang paling sehat badannya maka dialah yang bahagia, tidak.
Oleh karena itu, kita dapati ada orang yang hartanya sangat banyak luar biasa, hartanya berlimpah ruah, akan tetapi dia tidak bahagia, hidupnya penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kesedihan, penuh dengan gundah-gulana, meskipun dia punya uang paling banyak. Bahkan dia tidak bisa tidur kecuali kalau sudah minum obat penenang. Banyak orang seperti ini. Hartanya berlimpah tapi tidak bisa tidur, hanya bisa tidur dengan meminum obat penanang.
Sebaliknya, kita dapati orang miskin yang tidak punya uang, namun kalau disuruh tidur di atas batu saja langsung tidur, tidak perlu obat penenang, tidak perlu tidur di atas kasur yang empuk, bahkan tidur di atas batu pun dia bisa tidur. Kenapa demikina? Jawabnya karena dia berbahagia.
Kemudian Syaikh juga mengingatkan bahwasanya kebahagiaan juga tidak diperoleh dengan kesehatan, bukan berarti orang yang paling bahagia yaitu orang yang badannya paling sehat, tubuhnya paling fit, atau paling atletis, bukan itu tanda kebahagiaan. Bisa jadi seseorang tubuhnya sehat namun jiwanya sakit, hatinya penuh dengan kesedihan, penuh dengan kesengsaraan, dengan kepedihan. Bahkan bisa jadi seorang dalam keadaan sakit yang parah, akan tetepi dia berbahagia. Dia berbahagia dengan kondisi yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dia.
Dan Syaikh menjelaskan tentang sebuah kisah yang sangat menakjubkan yang pernah dia alami. Kata beliau bahwa sekitar tahun lalu, ada seorang pemuda yang nelpon beliau ingin bertanya suatu permasalahan agama. Maka pemuda ini berkata: “Ya Syaikh, sebelum saya bertanya, saya ingin mengenalkan diri saya kepada Anda.” Kata Syaikh: “Silahkan.” Kata dia: “Umur saya 27 tahun dan saya terkena penyakit stroke. Tidak ada tubuh saya yang bisa bergerak kecuali hanya kepala saya. Suruh badan tidak ada yang bisa bergerak.”
Kemudian Syaikh bertanya kepada dia: “Wahai Pemuda, Anda tinggal dimana? Saya ingin ziarah menemui Anda.”
Akhirnya dia kabarkan tinggal di tempat tertentu, akhirnya Syaikh pun menziarahi orang ini, datang ke rumahnya, menziarahi dia kemudian berbicara dengan dia sekitar selama satu setengah jam. Dia menceritakan bahwasanya dia terkena penyakit seperti ini karena asalnya ada kecelakaan mobil sehingga dia lumpuh total kecuali kepalanya kepalanya yang masih bisa digerakkan. Ini yang menarik perhatian Syaikh, apa kata orang yang kondisinya seperti ini? Tangannya tidak bisa digerakkan, kakinya tidak bisa digerakan, hanya kepalanya yang bisa dia gerakkan dan lisannya yang bisa dia ucapkan. Apa dia katakan?
“Wahai Syaikh, Demi Allah saya ini sekarang dalam keadaan berbahagia sekali. Dulu waktu saya masih jalan, saya berjalan kesana kemari ingin mencari kebahagiaan, namun tidak saya dapatkan. Justru saya mendapatkan kebahagiaan tatkala saya sakit seperti ini.”
Lihatlah kebahagiaan tidak diperoleh dengan kesehatan, tetapi kebahagiaan diperoleh dengan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu sungguh benar sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عَجَباً لأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ للْمُؤْمِن
“Sungguh mengherankan perkara seorang mukmin, seluruh perkaranya baik, dan tidak bisa memperoleh kondisi seperti ini kecuali seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Kalau dia diberikan anugrah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun bersyukur kepada Allah dan itulah yang terbaik bagi dia.”
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ
“Dan jika dia ditimpa dengan kesulitan, ditimpa dengan musibah, ditimpa dengan kemudzaratan, dia bersabar, dan itu yang terbaik bagi dia.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tatkala bergelimang diatas kenikmatan atau tatkala ditimpa dengan musibah, baik dalam keadaan sulit ataupun dalam keadaan lapang, maka dia senantiasa berbahagia. Kenapa? Karena kehidupannya selalu penuh dengan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika dia diberi kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia bersyukur, dia mengetahui bahwasanya nikmat yang dia peroleh semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun mendapatkan pahala orang-orang yang bersyukur. Dan jika seorang mukmin diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, diberi kesulitan, diberi kemudzaratan, maka dia bersabar. Dia mengetahui bahwasanya apa yang menimpanya itu adalah keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia bersabar, maka dia pun akan memperoleh pahala orang-orang yang sabar.
Maka kedua-duanya, baik yang dapat kenikmatan atau pun yang sedang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka sama-sama merasakan manisnya iman dalam hati mereka.
Oleh karena itu Syaikh menjelaskan bahwa para ulama berselisih pendapat mana yang lebih afdhal, mana yang lebih mulia, apakah orang yang kaya bersyukur atau seorang yang miskin namun bersabar? Karena dua-duanya merasakan kebahagiaan. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah pernah ditanya tentang masalah ini, maka dia mengatakan: “Yang paling afdhal diantara mereka adalah yang paling bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Jika si miskin dan si kaya sama dalam ketakwaan, maka sama-sama juga mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi kembalinya adalah kepada keiamanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
C. Tanda-Tanda Kebahagiaan
1. Tiga tanda-tanda kebahagiaan
Menit ke-1:00:57 Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, mungkin kita bisa simpulkan bahwasanya ada tiga perkara yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan yang tiga perkara ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah, bahwasanya tiga perkara tersebut adalah tanda-tanda kebahagiaan, alamatnya orang yang bahagia seperti apa? Yaitu:
- Bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- Bersabar
- Istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kenapa tiga perkara ini? Karena setiap mukmin dalam menjalankan kehidupannya di atas muka bumi ini, dia hanya berpindah daripada satu dari tiga perkara yang tidak bisa dia hindarkan. Kalau dia tidak sedang berada diatas kenikmatan, dia sedang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kesulitan, dengan kemudharatan, atau mungkin dia terjerumus dalam dosa atau yang dia lakukan atau maksiat yang dia langgar. Dan kita tahu semua bahwasanya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ
“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan.” (HR. Ibnu Majah)
Oleh karenanya seorang mukmin tidak mungkin terlepas dari tiga kondisi ini. Kalau tidak mendapatkan kenikmatan, sedang diuji oleh Allah dengan kesulitan atau sedang melakukan dosa.
- Jika seorang mukmin mendapatkan kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia mengetahui bahwasanya nikmat tersebut semata-mata dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini salah satu dari tanda kebahagiaan.
- Jika seorang mukmin diberi kesulitan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ditimpa dengan musibah, dia yakin bahwasanya ini semua adalah dari sisi Allah, keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia bersabar, maka dia telah melaksanakan tanda kedua orang yang berbahagia.
- Dan jika seorang mukmin terpengaruh dengan hawa nafsunya sehingga terjerumus dalam kemaksiatan, maka dia sadar bahwa sesungguhnya dia telah melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun segera beristighfar, minta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia pun telah mendapatkan tanda kebahagiaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menit ke-1:08:52 Para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Tiga perkara tadi yang telah kita sebutkan tentang syukur, sabar dan istighfar, itu semuanya kembali kepada apa yang telah kita jelaskan di awal muhadzarah. Bahwasanya landasan atau pokok daripada kebahagiaan adalah beriman kepada Allah dan mengamalkan amalan shalih.
2. Iman merupakan tempat kembali
Oleh karena itu iman merupakan tempat kembali setiap muslim. Dalam segala kondisi seorang muslim hendaknya kembali kepada keimanannya. Jika seorang muslim dalam menjalankan kehidupannya di atas muka bumi ini berjalan di bawah cahaya keimanan, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan setiap saat, apapun kondisinya dia kembali kepada keimanan, menempuh jalan dengan cahaya keimanan, maka dia akan senantiasa mendapatkan kebahagiaan. Kenapa? Karena imannya akan menunjukkan dia kepada kebahagiaan. Semakin banyak ia ingin memperoleh kebahagiaan, maka hendaknya dia berusaha untuk semakin mematangkan imannya. Karena kadar kebahagiaan didapatkan sesuai dengan kadar keimanan.
Syaikh menjelaskan bahwasanya iman merupakan tempat kembali bagi seorang muslim dalam segala kondisi. Dan ucapan “iman merupakan tempat kembali bagi seorang muslim dalam segala kondisi” ini butuh dengan penjelasan yang panjang.
Contoh, jika seorang muslim diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian dia pun taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia kembali kepada keimanan dia, dia ingat imannmya, iman yang memberi petunjuk kepada dia bahwasanya ketaatan yang dia peroleh ini semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia menjadi orang taat bukan karena kepintarannya, bukan karena kecerdasannya, bukan karena kehebatan dia, tapi imannya memberitahu sama dia bahwa kamu itu bisa taat kepada Allah karena Allah yang memberi nikmat kepada engkau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ
“Kalau bukan karena karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalau bukan karena kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kamu, maka tidak akan ada seorang pun dari kalian yang akan suci jiwanya selama-lamanya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan siapa saja yang dia kehendaki.” (QS. An-Nur[24]: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberi tahu kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Aku akan menambahkan kenikmatanKu kepada kalian.” (QS. Ibrahim[14]: 7)
Kemudian contoh yang berikutnya, jika seorang muslim terjerumus dalam dosa, tenggelam dalam kemaksiatan, dia kemudian sadar dan kembali kepada imannya, dia cek imannya, apa sih yang diberitahukan oleh imannya? Maka imannya memberitahu kepada dia bahwasanya sesungguhnya engkau telah berbuat salah, engkau telah melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka imannya pun mengingatkan dia bahwasanya engkau masih memiliki Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, maka dia segera bertaub, segera kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan langsung dia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian juga jika seorang hamba diberi kenikmatan anugrah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berupa anak-anak yang baik atau diberi perdagangan yang berhasil atau diberi rumah yang lapang, maka apa yang diberitahukan imannya? Imannya menigingatkan dia bahwa semua kenikmatan yang kau rasakan ini berupa anak-anak, berupa rumah yang indah, berupa perdagangan yang berhasil, itu semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun tahu bahwasanya apa yang dia lakukan bukan karena kecerdasan dia, bukan karena kehebatan dia, tapi semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh indah jika seorang muslim, tatkala dia sudah menjalankan kehidupannya di siang hari kemudian ingin tidur di malam hari, kemudian dia menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sebuah doa yang dibacakan oleh Nabi tatkala hendak tidur, mengingatkan kita akan bagaimana kondisi kita. Apa diantara doa Nabi tatkala hendak tidur?
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا
“Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi minum kepada saya, yang telah memberi makan kepada saya, yang telah menjaga saya, yang telah memberi tempat tinggal.”
Kita mengakui hari ini kita makan, Allah yang memberi makan, Allah yang telah memberi minum kepada kita, Allah yang telah menjaga kita, hari ini kita selamat karena Allah menjaga kita, hari ini kita bisa tidur di rumah adalah Allah yang membuat kita bisa menginap di rumah kita.
Kemudian kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam doanya:
فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِيَ لَهُ وَلاَ مُؤْوِيَ
“Betapa banyak orang yang tidak dijaga oleh Allah dan betapa banyak orang yang masih belum bisa tidur di rumah-rumah?” (HR. Muslim)
Itu yang kita renungkan tatkala kita sebelum tidur.
Oleh karena itu seorang muslim harusnya sadar dan ingat bahwasanya rumah yang dia tinggali, makanan yang dia makan, minuman yang dia minum, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu dalam satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ اْلأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشُّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha kepada hambaNya, dia makan makanan kemudian dia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia minum kemudian dia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Kemudian jika seorang hamba ditimpa dengan suatu musibah, ditimpa dengan suatu kesedihan, entah ada kerabatnya yang meninggal, entah harta yang dia kumpulkan bertahun-tahun tiba-tiba hilang dicuri orang, maka dia cek apa yang dikatakan oleh imannya, kembali kepada imannya. Imannya mengingatkan dia bahwasanya semua itu dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka bersabarlah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut atau rasa lapar atau hilangnya harta atau hilangnya jiwa atau hilangnya sawah ladang. Dan berilah kabar gembira terhadap orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah[2]: 155)
Oleh karena itu sesungguhnya kondisi seorang muslim dalam segala hal, tempat kembalinya adalah kepada iman. Maka imannya akan memberi petunjuk kepada dia. Dia ridha, atau dia sabar, jika ditimpa dengan musibah imannya akan mengantarkan dia segera bersabar dengan keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang hamba kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan beri petunjuk dalam hatinya.” (QS. At-Taghabun[64]: 11)
Seseorang berkata ini adalah tentang seorang laki-laki yang dia ditimpa musibah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian dia sadar bahwasanya musibah yang menimpanya itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka pun dia sabar dan dia pasrah.
Oleh karena itu hendaknya kita orang-orang yang beriman kembali kepada keimanan dalam segala kondisi dan segala keadaannya, baik kita sedang dalam keadaan diberi kenikmatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau sedang ditimpa musibah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, jikalau kita kembali kepada keimanan kita, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan, kita akan dapatkan tuma’ninah, ketenangan, ketentraman yang didapatkan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّـهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّـهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
“Itulah orang-orang yang beriman dan tenang hati mereka. Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati itu akan tenang.” (QS. Ar-Ra’d[13]: 28)
3. Allah yang menanamkan keimanan dalam hati
Menit ke-1: 23: 32 Kemudian suatu nasihat yang sangat berharga bagi kita semua, Syaikh menjelaskan kepada kita semua bahwa hendaknya kita berhati-hati. Jika salah seorang dari kita diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Alhamdulillah senang untuk mengamalkan amalan shalih, tatkala diberi kenikmatan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tatkala diuji oleh Allah bersabar, tatkala melakukan kemaksiatan segera beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia bisa melakukan ini semua, bisa menjalankan tanda-tanda kebahagiaan, ingatlah dan berhati-hatilah bahwasanya semua itu semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan dalam banyak ayat bahwasanya keimanan yang kita rasakan, yang telah membuat kita bersabar telah ditimpa musibah, iman yang membuat kita bersyukur tatkala diberi kenikmatan, tatkala berdosa kita beristighfar. Iman tersebut yang tanamkan dalam jiwa kita hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ ﴿٧﴾ فَضْلًا مِّنَ اللَّـهِ وَنِعْمَةً…
“Akan tetapi Allah lah yang telah yang telah menjadikan kalian cinta kepada keimanan, Allah lah yang telah menjadikan iman itu indah di hati-hati kalian dan Allah yang telah membuat kalian benci terhadap kekufuran, benci terhadap kefasikan, benci terhadap kemaksiatan, orang yang seperti inilah yang mengikuti jalan yang lurus. Ini semua karunia dan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Hujurat[49]: 7-8)
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا ۖ قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم ۖ بَلِ اللَّـهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ﴿١٧﴾
“Mereka menyebut-nyebut ‘Kita sekarang Islam’, menyebut-nyebut seakan-akan itu suatu kebanggaan bagi mereka. Maka Allah tegur, ‘Wahai Muhammad, katakanlah kepada mereka: ‘Janganlah kalian merasa punya andil tatkala kalian menjadi orang Islam, tetapi yang membuat kalian Islam adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika memang kalian benar-benar jujur.’” (QS. Al-Hujurat[49]: 17)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ
“Kalau ukan karena karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kasih sayang Allah kepada kalian, selamanya tidak seorangpun dari kalian yang akan suci jiwanya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensucikan siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur[24]: 21)
4. Hat-hati penyakit ujub
Seluruh ayat ini mengingatkan kepada kita bahwasanya taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala seorang ditimpa musibah bersabar, tatkala mendapatkan kenikmatan bersyukur, tatkala berdosa kemudian beristighfar, saat orang-orang terjerumus kedalam kemaksiatan dia bisa terhindar, ingatkah semua itu semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau Allah tidak menanamkan iman dalam hati kita, maka tidak akan ada yang bisa selamat dari itu semua.
Oleh karena itu Syaikh mengingatkan, ini nasihat yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan sampai seorang tatkala bisa melakukan itu semua, kemudian ia menganggap dirinya: “Saya ternyata hebat, setiap terkena musibah sabar, setiap dikasih nikmat bersyukur, setiap berdosa beristighfar. Ternyata saya hebat.” Jangan sampai dia memandang dirinya suatu yang hebat. Dan ini penyakit ujub (kagum dengan diri sendiri) namanya.
Apakah ujub tersebut dalam masalah ibadah, hebat dia bisa rajin shalat malam, dalam masalah ilmu saya bisa punya ilmu, saya mudah menghafal, saya kalau dakwah mudah diterima oleh masyarakat. Kalau dia sampai ujub seperti itu, menganggap dirinya hebat, menganggap dirinya “Waw”, maka celaka dia, binasa dia.
Demikian juga masalah harta, saya Alhamdulillah masih muda sudah punya harta banyak, kerja sedikit juga dapat banyak uang, lupa kalau itu semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena kecerdasannya. Masih banyak orang yang lebih cerdas daripada dia. Namun yang memberikan kenikmatan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau seseorang sudah ditimpa dengan penyakit ujub, maka dia akan menggeret amalannya dalam kebinasaan, dalam kerusakan. Oleh karena itu ingatlah penyakit ujub adalah suatu yang menghancurkan. Dan amalan yang selama ini dilakukan akan sia-sia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa kita mengingat bahwasanya apa yang kita rasakan baik kenikmatan iman ataupun kenikmatan dunia semata-mata karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu kata para ulama bahwasanya betapa banyak ketaatan yang ternyata merupakan sebab menjerumuskan orang untuk masuk dalam neraka. Dan betapa banyak perbuatan dosa maksiat ternyata merupakan sebab seseorang masuk dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagaimana jika seorang ternyata dia melakukan ketaatan kemudian dia ditimpa dengan penyakit ujub. Entah ketaatan dalam ibadah, entah ketaatan dalam ilmu, entak ketaatan dalam dakwah, kemudian ditimpa dengan penyakit ujub. Timbul dalam hatinya: “Saya memang berhak untuk dapat ini, memang saya hebat, maka pantas kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kenikmatan tersebut kepada saya, kalau yang lain kurang pantas.” Ketaatan yang dia lakukan justru menjadi sebab dia untuk masuk neraka. Kenapa? Karena dia telah terkena dengan penyakit ujub. Apakah kita lupa dengan suatu hadits yang sangat mengerikan yang mengingatkan kita bahwasanya yang pertama kali dinyalakan api neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tiga orang. Siapa? Mereka semua orang yang melakukan ketaatan; orang yang mujahid, orang yang ahli ilmu (pandai berdakwah), kemudian orang yang suka bersedekah (dermawan), mereka itu yang pertama kali masuk kedalam api neraka. Kenapa? Karena mereka ditimpa dengan penyakit-penyakit hati, baik riya’ (ingin pujian manusia) atau karena ujub (kagum dengan dirinya sendiri).
Oleh karena itu para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika niat telah berubah, yang tadinya ikhlas, kemudian tatkala melakukan ketaatan kagum dengan diri sendiri, berubah niatnya menjadi ujub, menjadi riya’, maka ini akan mengantarkan seseorang masuk ke dalam api neraka jahanam.
Kemudian sebaliknya, bisa jadi dosa mengantarkan orang ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana bisa demikian? Jika seseorang terjerumus dalam dosa, kemudian dia sadar bahwasanya dia telah melakukan kesalahan, kemudian dia pun merengek dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia sadar bahwasanya kalau dosa saya banyak maka saya harus banyak beramal shalih agar Allah merahmati saya, maka dia pun perbanyak ibadahnya, dia perbanyak amalnya, dia tidak sama sekali ditambah dengan penyakit ujub, dia merasa rendah karena banyak dosa.
Perasaan seperti ini kemudian sikapnya yang banyak melakukan amal shalih, menjadikan dia akhirnya dimasukkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke dalam surga. Kenapa? Dia selalu takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lihat juga: Hati-Hati Ada Ahli Ibadah Masuk Neraka!
Oleh karena itu sebuah kalimat indah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam sebagian kitabnya. Perhatikan perkataan Ibnul Qayyim ini:
علامة السعادة أن يكون حسنات العبد خلف ظهره، وسيئاته نصب عينيه
“Tanda kebahagiaan seseorang, kalau dia menjadikan kebaikannya seluruhnya di belakang punggungnya (tidak pernah dia tengok-tengok) dan dia menjadikan kemaksiatannya di hadapan matanya (selalu kelihatan di hadapan dia).”
Itu tanda kebahagiaan.
وعلامة الشقاوة أن تكون سيئات العبد خلف ظهريه، وحسناته نصب عينيه
“Dan alamat kesengsaraan/kebinasaan/kecelakaan, kejelekan-kejelekan dia letakkan di belakang, adapun kebaikannya diletakkan di hadapan matanya.”
Setiap hari dia lihat kebaikan yang pernah dia lakukan. Ini musibah, para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, musibah sebenar-benar musibah yang merupakan malapetaka yang luar biasa.
Oleh karena itu kita dapati seseorang duduk bersama saudara-saudaranya, bersama teman-temannya, kebaikan mulai dia ingat-ingat: “Bukankah saya yang pernah begini? Bukankah saya yang pernah mengajarkan ini? Bukan saya pernah bersedekah ini? Bukankah saya yang pernah berdakwah di sana? Bukankah saya yang begini? Bukankah saya yang begitu?” Itu yang dia ingat, adapun kejelekannya dia lupa semua. Maka dia pun dimasuki oleh setan dan dia pun mencari pujian dari manusia. Orang seperti ini ditimpa dengan penyakit ujub, semua amalan dia, sedekah dia, bangunan yang telah dia bangun, dakwah yang telah dia bina, hilang semua sia-sia disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya, jika seseorang menjadikan kejelekannya di hadapan matanya, kemudian dia lupa dengan kebaikan-kebaikannya. Kebaikan yang kita lakukan sudah kita lupakan, urusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang kita pikirkan dosa-dosa kita bagaimana? Kebaikan kita tidak tahu diterima oleh Allah, wallahu a’lam, tapi dosa-dosa kita dihadapan kita ini jelas. Oleh karena itu kita menjadikan dosa-dosa kita di hadapan mata kita, kemudian senantiasa kita beristighfar dan ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka siapa yang kondisinya seperti ini, dosa-dosanya di hadapan dia dan kebaikannya di belakang dia, maka dia akan terhindar dari penyakit ujub dan merupakan sebab yang bisa memasukkan dia ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan tanda kebahagiaan seorang dan alamat akan kebahagiaan seorang hamba.
5. Memperhatikan adab-adab Islami
Menit ke-1: 39: 42 Para hadirin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, diantara hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan, yaitu memperhatikan adab-adab Islami, akhlak yang Islami, tatkala bermuamalah dengan manusia, memperhatikan bagaimana adab-adab dan akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala bermuamalah dengan masyarakat. Bukankah Nabi kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Oleh karena itu tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang timbangan amalan yang paling memberatkan timbangan kebaikan, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Bertakwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi)
Itu berat sekali timbangannya disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu akhlak yang mulia merupakan tanda kebahagiaan. Orang yang memiliki akhlak mulia jelas dia orang yang berbahagia, hatinya tenang, dia berbahagia. Oleh karena itu jika dia bermuamalah dengan orang lain, berbicara dengan saudaranya, maka dia berbicara dengan kalimat yang lembut, dengan kalimat-kalimat yang indah, yang menyenangkan hati seseorang, dia berusaha untuk menolong hati orang lain, selalu ingin membantu orang lain, dan dia menjauhkan dirinya dari perkataan yang keras, perkataan yang kotor, perkataan yang menyakitkan hati orang lain, dia berusaha menjauhkan lisannya dari perkataan-perkataan yang bisa menyakiti hati saudaranya.
Jika seorang terlepas darinya akhlak yang mulia, jauh dari akhlak yang mulia, mulutnya kotor, maunya ditolong tapi tidak mau menolong orang lain, sombong tidak mau bantu orang lain, tidak mau mengalah sama orang lain, suka melaknat orang lain, suka memaki orang lain, menyakiti hati orang lain, hilang dari dia akhlak yang mulia, ketahuilah orang ini tidak berbahagia, orang ini sengsara sebenarnya. Makanya keluar seperti itu, orang itu sengsara. Yang lebih menderita lagi bukan dia saja yang sengsara, orang di sekitarnya juga sengsara, istrinya menderita, anak-anaknya juga menderita karena akhlak bapaknya yang kurang ajar, teman-teman menderita, semua orang menjauh dari dia. Tapi kalau dia berakhlak mulia, dia bahagia dengan akhlak mulia, dengan perkataan yang lembut, tutur kata yang indah, dengan sikap suka membantu orang lain, maka dia bahagia dan orang di sekitarnya juga bahagia, istrinya paling bahagia, anak-anaknya paling bahagia, sahabatnya paling bahagia. Itu semua karena temannya bahagia, tutur kata temannya indah, berfikir dulu sebelum ngomong, bukan ngomongnya ceplas-ceplos menyakiti hati orang lain. Oleh karena itu, maka hendaknya kita berhias dengan akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
6. Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kemudian Syaikh mengingatkan bahwasanya kalau kita berakhlak mulia di hadapan manusia, maka hendaknya kita lakukan semua itu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kararena barangsiapa tidak melakukan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan menderita.
Tidakkah engkau ingat? Jika seandainya engkau bertemu dengan seseorang, dia akhlaknya baik, beradab dalam berkata, engkau akan dapati bahwasanya engkau tenang dan senang duduk sama dia. Bahkan engkau akan berangan-angan untuk duduk lebih lama sama dia Kenapa? Karena engkau menikmati akhlaknya yang indah tersebut, engkau merasa bahagia duduk sama dia. Sebaliknya, jika engkau duduk sama orang yang akhlak yang buruk, lisannya kotor, ngomongnya kasar, merendahkan orang lain, maka engkau seakan-akan menyesal duduk sama dia. Kenapa? Karena yang kita rasakan api kecelakaan, api penderitaan yang dia rasakan dari hatinya ikut terkena kepada kita.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ.
“Bukanlah seorang beriman orang yang lisannya suka mencela, suka melaknat, berkata-kata kotor, berkata-kata buruk.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya)
Itu bukan sifat orang mukmin. Kalau ada orang seperti ini, maka imannya dipertanyakan.
Orang yang ikhlas akan bahagia. Kenapa? Karena dia tidak peduli dengan komentar manusia, yang penting dia beramal karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mau dibilang “kamu kok shalatnya jelek, kamu kok sedekahnya sedikit, kamu kok dakwahnya tidak berhasil” dia cuek, amalannya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia tidak terpengaruh dengan komentar manusia. Kalau ada yang memuji juga dia cuek, kalau ada yang cela pun dia cuek.
Adapun orang yang dia beramal karena manusia, dia akan sedih dan merasakan penderitaan. Karena kalau orang kalau tidak puji dia, dia akan menderita, “Kapan saya dipuji?” Jika ternyata orang itu tidak memuji dan malah mencela, semakin menderita lagi. Kalaupun dipuji dia akan menunggu-nunggu kapan saya dipuji lagi, menderita dengan penderitaan terus. Hal ini karena dia memperhatikan komentar manusia. Oleh karena itu tatkala kita berakhlak mulia, ingatlah kita amalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ada sebuah perkataan Syaikhul Islam yang sangat indah yang merupakan aset yang sangat berharga, dimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata:
السعادة في معاملة الخلق أن تعاملهم لله، فترجو الله فيهم ولا ترجوهم في الله
“Dan kebahagiaan tatkala engkau bermuamalah dengan masyarakat hendaknya engkau bermuamalah dengan mereka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan engkau mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun harus merendah di hadapan mereka, meskipun harus membantu mereka.”
Jadi ketika kita berbuat baik kepada mereka, karena mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan sebaliknya, engkau seakan-akan membantu mereka karena Allah, ternyata engkau menginginkan sesuatu. Ada udang di balik batu. Berbuat baik, senyum-senyum, menceritakan dakwahnya, ternyata ada udang di balik batu, ini tidak disukai oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan tidak disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وتخافه فيهم ولا تخافهم في الله
“Engkau tatkala bermuamalah dengan manusia yang lain, hendaknya engkau takut kepada Allah.”
Tatkala bermuamalah takut, jangan sampai berbuat keburukan sama orang lain. Bukan sebaliknya, justru takut kepada manusia dan melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وتحسن إليهم رجاء ثواب الله لا لمكافأتهم
“Dan hendaknya engkau berbuat baik kepada mereka karena mengharapkan pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan mengharapkan balasan dari mereka.”
وتكف عن ظلمهم خوفاً من الله لا منهم
“Dan hendaknya engkau mencegah dirimu dari berbuat kedzaliman kepada manusia karena takut kepada Allah, karena takut adzab Allah, karena takut siksa Allah, bukan karena takut dari cercaan mereka, bukan karena takut dari omongan mereka, tetapi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ini merupakan kalimat yang sangat indah luar biasa. Oleh karena itu jika seorang hamba beramal, melakukan akhlak yang baik karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Engkau melakukan amalan apa saja dan tidaklah engkau berharap kecuali wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan engkau tidak mengganggu orang lain dengan model gangguan apa saja, tidaklah engkau melakukannya karena takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
D. Penutup Kajian Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan
Menit ke-1: 50: 29 Para hadirin yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syaikh akan menutup pengajian yang penuh pelajaran bagi kita semua dengan menyebutkan beberapa perkara yang telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad yang beliau menyebutkan bahwasanya perkara-perkara ini merupakan sebab tenangnya dada.
1. Sebab lapangnya dada
Lapangnya dada itu merupakan kebahagiaan, karena kebahagiaan kembali kepada hati. Kalau hati seseorang tenang, hati seseorang lapangan, maka dia akan bahagia. Dan Ibnul Qayyim di dalam Kitab Zaadul Ma’ad menyebutkan perkara-perkara tersebut dan dia menjelaskan dengan penjelasan yang singkat. Namun Syaikh hanya menyebutkan poin-poin tersebut tanpa menyebutkan penjelasan Ibnul Qayyim Rahimahullah. Dan beliau berharap para ikhwah sekalian bisa baca langsung kitab Zaadul Ma’ad atau beliau berharap ada sebagian penuntut ilmu yang menerjemahkan Zaadul Ma’ad yang berkaitan dengan masalah ini kemudian bisa diambil manfaat oleh kaum muslimin seluruhnya. Perkara-perkara tersebut adalah:
- Tauhid
Tauhid bisa mendatangkan kebahagiaan. Dan semakin kuat tauhid seseorang dan semakin sempurna tauhid seseorang, maka akan semakin lapang dadanya dan semakin berbahagia.
- Ilmu
Dengan ilmu, hati seseorang akan menjadi lapang. Bahkan akan bisa melapangkan hatinya lebih dari perkara-perkara dunia yang bisa melapangkan hatinya. - Kembali kepada Allah
Kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlari menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bernikmat-nikmat dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. - Senantiasa mengingat Allah
Senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala hal, di tempat mana saja berada, dalam kondisi apa saja, ingatlah selalu Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan mendatangkan kebahagiaan. - Memberi manfaat
Memberi manfaat kepada orang lain, berbuat baik kepada orang lain, membantu mereka, memberi manfaat kepada mereka, apakah dengan harta, apakah membantu mereka dengan kedudukan kita, apakah membantu mereka dengan jasad kita atau dengan bantuan-bantuan dengan model yang lain. - Keberanian
Orang yang berani hatinya adalah lapang. - Menghilangkan penyakit-penyakit hati
Menghilangkan penyakit-penyakit hati dari sifat-sifat yang tercela, ini merupakan sebab dari kebahagiaan. Segala penyakit hati berusaha kita keluarkan, ini akan mendatangkan kebahagiaan. - Meninggalkan sikap berlebih-lebihan
Meninggalkan sikap berlebih-lebihan dalam memandang, jangan suka memandang perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya, jangan suka bicara-bicara yang tidak ada manfaatnya, kelebihan ngomong, kelebihan memandang, kelebihan tidur, sering ngobrol, sering makan, sering minum, lebih daripada yang seharusnya, ini akan mendatangkan kesengsaraan. Untuk mendatangkan kebahagiaan, jauhi sifat-sifat ini.
Demikianlah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan insyaAllah bisa kita baca langsung dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.
2. Doa menghilangkan kesedihan
Terakhir, kita tutup dengan sebuah doa yang sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, dimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Jika suatu kesedihan seorang menimpa hamba atau rasa gundah gulana menimpa seorang hamba kemudian dia berdoa:
اَللَّهُمَّ إنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدلٌ فِيَّ قَضَاؤكَ، أسْألُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أوْ أنزَلْتَ فِي كِتَابِكَ، أوْ عَلَّمْتَهُ أحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِندَكَ، أن تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي وَغَمِّي
“Ya Allah, aku adalah hambaMu, dan anak dari bapak yang juga ciptaanMu, dan anak dari ibu yang ciptaanMu juga. Sesungguhnya ubun-ubunku berada di tanganMu, dan hukumMu berlaku kepadaku, dan keputusanMu merupakan adil yang berlaku pada diriku; Aku memohon kepadaMu dengan semua namaMu yang Engkau telah menamai diriMu dengannya atau yang telah Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhlukMu atau yang telah Engkau sembunyikan di dalam ilmu ghaib milikMu; Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku dan penghilang kesedihanku dan pelenyap rasa resahku dan kegundahanku”
Kalau dia baca doa seperti ini:
إِلَّا أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَأَبْدَلَهُ فَرَحًا
“Maka Allah akan menghilangkan kesedihan dia dan Allah akan menggantikan dengan rasa kebahagiaan dalam hatinya.” (HR. Ahmad)
Barangsiapa membaca doa ini, dia akan dapati di sana ada empat perkara yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Pertama, seorang yang ingin bahagia dengan mengamalkan doa ini, hendaknya dia mentahqiq, mewujudkan ubudiyah (peribadahan dan perhambaan) dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sabda Nabi: “Saya ini adalah anak dari seorang hambaMu yang itu juga anak dari hambaMu dan itu juga anak dari seorang wanita yang Engkau ciptakan.” Ini menunjukkan bahwa saya seorang hamba yang butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, doa ini mengajarkan kepada kita untuk beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman dengan keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam doa tadi, kata Rasulullah: “Sesungguhnya hukumMu Ya Allah pasti berlaku kepadaku dan keputusanMu itu pasti adil dalam diriku.”
Ketiga, bertawassul dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam doa tadi: “Aku memohon kepadaMu dengan semua namaMu yang Engkau telah menamai diriMu dengannya…” Ini semua menunjukkan tawasul dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keempat, memberikan perhatian yang lebih terhadap Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah kitab yang akan mendatangkan kebahagiaan. Karena dalam hadits tadi Rasulullah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an itu akan menenangkan hati dan akan memberi cahaya dalam hati hati kita.
Demikianlah empat perkara yang terkandung dalam doa ini, dan kita tutup pengajian kita ini dengan berdoa kepada Alalh Subhanahu wa Ta’ala, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberi taufik kepada kita semua. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita orang-orang berbahagia dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita mudah dalam menempuh jalan-jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang sengsara dan menjauhkan kita dari jalan-jalan yang mengantarkan kepada kesengsaraan.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar dan Maha Melihat dan Maha Sayang kepada hamba-hambaNya. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengabulkan doa-doa.
Demikian saja,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
E. Video Tabligh Akbar Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan
Mari turut menyebarkan catatan kajian “Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan” ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Barakallahu fiikum..
Komentar