Tanya jawab tentang “Tidak Ke Masjid Karena Takut Corona?” ini dijawab oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. Hafidzahullah.
Transkrip Tanya Jawab Tidak Ke Masjid Karena Takut Corona?
36:56 Dari Fulan, HSI 18134040
Ada orang yang mengatakan karena takut kepada selain Allah itu sebuah kesyirikan. Maka jangan takut pada virus corona. Dan orang tersebut menghina orang yang tidak ke masjid bahkan menghina para ulama yang memfatwakan masjid harus ditutup. Bagaimana cara terbaik untuk menerangkan rasa takut yang sebenarnya, ustadz? Dan apakah juga termasuk mengolok-olok para ulama yang membatalkan keislaman seseorang?
Dijawab oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A Hafidzahullah
Salah orang yang mengatakan bahwasanya orang yang tidak ke masjid karena berpegang dengan dalil, berpegang dengan kaidah, kemudian dikatakan dia takut terhadap corona. Kita semuanya beriman dengan takdir Allah ‘Azza wa Jalla. Saya, antum dan semuanya sebagai orang yang beriman, beriman dengan takdir Allah. Bahwasanya kematian kita, musibah kita, ini semuanya sudah dituliskan Allah ‘Azza wa Jalla. Itu semuanya kita beriman. Namun di waktu yang sama, kita juga diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk mencari sebab-sebab keselamatan.
Jadi apa yang kita lakukan ini bukan karena melaksanakan perintah selain Allah, bukan. Ini juga kita melaksanakan agama. Kita melakukan demikian berdasarkan agama, berdasarkan dalil, berdasarkan kaidah-kaidah umum. Sehingga kita mengambil kesimpulan atau para ulama berfatwa bahwasanya kita sementara ini shalat di rumah. Karena diantara kaidahnya:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat”
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memudharati diri sendiri dan tidak boleh memudharati orang lain.”
Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Hendaklah engkau lari dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana larinya dirimu dari harimau.”
Ini semuanya ada dalam yang tadi, apakah kita katakan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengatakan: “Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta.” Apakah kita berani mengatakan beliau adalah seorang penakut? Atau menyuruh kita untuk menjadi orang yang penakut? Tidak ada di antara kita yang mengatakan demikian. Ini bukan karena takut dengan penyakit tadi, ini perintah agama.
Semuanya kita akan meninggal dunia. Baik dengan corona atau selain corona. Tapi ini perintah agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mensyariatkan. Yang dilakukan oleh para ulama, yang difatwakan oleh mereka, yang dilakukan oleh para saudara kita yang mereka melakukan sementara ibadah shalat mereka di rumah, ini bukan karena takut sebagaimana yang dituduhkan. Tapinya ini adalah usaha.
Dan kita tahu dan sadar bahwasanya usaha terkadang berhasil, terkadang tidak. Mungkin saja kita 24 jam berada di rumah, tiba-tiba ternyata dia terkena corona juga, ini mungkin. Bukan Sesuatu yang mustahil. Karena yang kita lakukan ini adalah usaha biasa kita sebagai seorang manusia. Mungkin saja usaha tadi berhasil dan mungkin saja kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki usaha tadi tidak berhasil, sehingga tetap saja corona itu sampai kepada tubuh kita. Wallahu Ta’ala A’lam.
Apakah mencela ulama mengeluarkan dari Islam?
Kalau mencela ulamanya karena agama yang dia sampaikan, maka para ulama menjelaskan ini bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Tapi kalau mencela ulama karena fisiknya, karena mungkin ada seorang ustadz, seorang ulama yang jelek mukanya atau pendek dia misalnya, dia mencelanya karena dia pendeknya dan seterusnya, maka ini nggak mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Dalam hal ini, mencela karena keputusannya untuk menutup masjid, tidak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, kemudian jamaahnya mencela habis-habisan imam shalatnya, ustadz yang tidak pintar, ustadz yang bodoh dan seterusnya. Di sini tidak sampai kepada kekurufan, dia tidak sampai mencela Islam yang dia bawa. Jadi tidak sampai kepada kekufuran.
Ini adab yang tidak pantas kepada para ulama kita. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak tahu hak ulamanya.”
Tidak tahu hak ulamanya, sehingga dia mencela ulama yang menurut dia berfatwa dengan fatwa yang salah. Ini sudah adab yang tidak baik dan ini bukan termasuk pengagungan terhadap ilmu. Termasuk pengagungan terhadap ilmu dan agama adalah kita mengagungkan orang yang diagungkan oleh Allah atau yang diberikan kehormatan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan para ulama.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
Sehingga kita sebagai seorang muslim harus menghormati sesuatu yang Allah berikan kedudukan. Termasuk diantaranya adalah para ulama. Bukan justru kita malah menghinanya. Kalau memang kita punya pendapat yang lain, karena di sana ada -mungkin- ulama yang lain yang mengatakan demikian dan demikian. Diharuskan kita tetap untuk menjaga kehormatan para ulama. Tidak boleh kita menghinakan mereka. Kita katakan mereka adalah ulama Ahlus Sunnah, kita akui tentang keilmuannya, amalannya, tapi dalam masalah ini ana berpendapat dengan pendapat yang lain. Demikian seharusnya yang dia lakukan. Adapun seseorang kemudian menghina para ulama, mengatakan mereka ini penakut atau ulama-ulama yang palsu dan seterusnya, maka ini tidak dibenarkan. Wallahu a’lam.
Video Tanya Jawab Tidak Ke Masjid Karena Takut Corona?
File: 20200425 Ustadz Abdullah Roy – Halaqah Ramadhaniyah – Episode 2.mp3
Video: https://www.facebook.com/hsi.abdullahroy/videos/159866438756585
Komentar